Siapa yang tak tahu Kartini kawan? Ya, dia yang selama
ini kita kenal dengan namanya yang harum, lama kita klaim sebagai “Ibu” kita,
seorang putri sejati sampai konon katanya memiliki cita-cita luhur untuk Indonesia.
Tapi tidakkah kawan sadari bahwa semua yang melekat di memori kolektif bangsa Indonesia
tentang Kartini sangat terlalu berlebihan? Pernahkah kalian sadari siapa
sebenarnya Kartini?
Mendengar kata “Kartini” tentunya kita tergiring
fikiran kepada sesosok perempuan yang merepresentasikan emansipasi. Emansipasi
adalah spirit kesetaraan perempuan dengan laki-laki dari berbagai segi :
sosial, psikologis ,budaya, ekonomi, dll. Spirit emansipasi bagi kaum ekstrimis penentang kesetaraan diartikan
sebagai perjuangan posisi perempuan untuk setara dengan laki-laki dari berbagai
aspek. Bahkan, salah arti dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap
laki-laki.
Padahal, emansipasi yang asli tak mesti diartikan
seperti itu. Spirit emansipasi adalah perlwanan terhadap budaya “kolot” yang
tak memberikan banyak hak kebebasan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri
dan spirit tentang penghilangan diskriminasi bagi perempuan.
Kembali kepada Kartini, seorang yang katanya putri
sejati telah melekat diingatan kita sebagai sosok yang mengeliminasi perjuangan
wanita-wanita lain pada jamannya. Bahkan, saya cukup gerah –salah satu alasan saya
menulis ini- dengan bentuk propaganda “Kartini” di berbagai media sampai memiliki
hari sendiri, yakni 21 April 2012. Tapi siapa Kartini kawan? Siapa dia sehingga
begitu dielukan oleh bangsa Indonesia, sampai
perlu kiranya semua orang mengucapkan “selamat hari Kartini”?
Kita coba lagi buka fikiran kita, tentang kejanggalan
propaganda Kartini yang sebegitu hebatnya tertanam dalam hati bangsa Indonesia.
Tahukah kawan, propaganda Kartini, cerita heroik –really?- Kartini, dan
berbagai spirit yang melahirkan emansipasi kaum perempuan dengan identifikasi
kata Kartini adalah kebohongan sejarah? Sungguh kawan, ini hanya konspirasi
yang sangat rapih dan sampai kita luput menyadari bahwa ini terlalu berlebihan,
terlalu dusta!
Beginilah ceritanya kawan. 1908 kira-kira tahunnya.
Tahun itu, merupakan tahun kecemasan bagi pemerintahan Hindia Belanda yang
menjajah Indonesia. Cemasnya bukan tak beralasan, karena waktu itu semakin
kuatnya pemerintahan penjajah digoyang oleh gerakan menyeluruh dari kaum
perempuan pribumi. Gerakan itu dinamai oleh Hindia belanda sebagai gerakan Holistisme
khas Islam.
Gerakan yag cukup deras di penghujung abad ke-19 itu
tentu membuat cemas para penjajah. Begitu cemasnya para penjajah terhadap
“pemberontak” perempuan bukan karena mereka mengangkat senjata atau bambu
runcing. Mereka sangat cemas karena waktu itu para perempuan pribumi
“memberontak” melalui senjata intelektual. Kertas dan pena!
Salah satunya ialah epos “La-Galigo” yang ditulis oleh Siti Aisyah We Tenriolle. Seorang
putri intelek yang berasal dari Sulawesi Selatan ini pernah membuat sejarawan
Belanda BF Matthes terpesona karena pelangi sastra yang mengandung kritik dan
pemberontakan melalui tulisan. Tak hanya nilai-nilai nasionalisme yang
disuarakan, tapi juga nilai-nilai Islam yang menyeluruh.
Pemerintahan Hindia Belanda lebih gerah lagi, ketika
Siti Aisyah We Tenriolle mendirikan sekolah modern yang terbuka untuk lelaki
maupun perempuan. Ini sebuah kemajuan intelektual bangsa Indonesia yang lebih
visioner dan “real action” ketimbang Kartini
yang hanya bisa “curhat” kepada para
sahabatnya (tentunya, jika kala itu ada Facebook atau Twitter, Kartini adalah
gadis alay yang suka katarsis).
Ketika gerakan Siti Aisyah dan juga diikuti oleh
perempuan-perempuan lain yang “memberontak” di daerah-daerah lain, seperti Dewi
Sartika, Sultanah Safiatuddin, Nyi Endang Darma, dll. Maka, semakin cemaslah
para penjajah. Maka, pada saat itu, Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat
pemerintahan Hindia Belanda, merasa harus segera bertindak untuk menghentikan
semua “kekacauan” tersebut.
Sedikit diceritakan, C.Snouck Hurgronje adalah seorang
yang pernah mengaku masuk Islam. Tak hanya mengaku, dia pernah berguru di
Al-Azhar Kairo. Bahkan Snouck pernah berganti nama menjadi Abdul Ghaffar dan
pernah juga dianggap sebagai Syekh Islam Jawa. Benarkah dia pengikut agama Islam?
Jelas tidak! Dia hanya berpura-pura masuk Islam, mencari ilmu Islam dengan
tujuan untuk mengahancurkan gerakan Islam. Bahkan, menurut PSJ Van Koningsveld
dalam bukunya Snouck Hurgronje en Islam,
disebutkan bahwa dia adalah seorang orientalis Yahudi yang merupakan pengikut
dari seorang agamawan Yahudi Ignaz Goldzhier.
Kembali pada “kekacauan” tadi, akhirnya Snouck
Hurgronje mencari celah bagaimana menghentikan pergerakan nasionalisme pribumi
dengan corak Islam yang kental. Akhirnya
dia bertemu dengan JH Abendanon (salah satu yang pernah membukukan surat-surat Kartini),
untuk meminta pendapatnya bagaimana menghentikan pergerakan wanita nasionalisme
Islam. Abendanon, yang waktu itu dekat dengan Kartini, dan sering-surat menyurat
dengannya membisikkan untuk menjalankan taktik propaganda yang mengeliminasi
suara-suara kaum wanita nasionalisme Islam.
Pilihan mereka jatuh pada Kartini! Kenapa Kartini?
Karena, dia adalah salah seorang wanita “katarsis” yang dibesarkan oleh
pendidikan Hindia Belanda. Melalui cara mengagung-agungkan surat Kartini kepada
sahabatnya yang dianggap “tidak seberapa” pengaruhnya kepada pemerintahan
Hindia Belanda, Abendanon dan Snouck mempropagandakan Kartini untuk meredam
suara perjuangan para wanita nasionalis Islam.
Tujuan Snouck lainnya adalah untuk mengkultuskan atau
mensucikan didikan Hindia Belanda sehingga menjadikan didikan Islam sebagai
didikan yang primitif! Bahkan Snouck mengatakan “Pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan adalah langkah
penting untuk menjauhkan mereka dari Islam.”
Propagandapun dijalankan dengan mengusung tajuk
“Emansipasi” dan perjuangan kaum perempuan melalui surat. Propaganda, yang
sejak berabad-abad lalu dikatakan sebagai senjata paling berbahaya di dunia
sejajar dengan Psikologi, sungguh ampuh menjadikan bangsa Indonesia sesat di
lorong kegelapan sejarah. Habis Gelap Terbitlah Terang tak cocok menggambarkan Kartini!
Tapi, Habis Gelap, Terbitlah Sesat! Sesat fikir, sesat sejarah, menjadi korban
pembodohan kaum penjajah dan orientalis Yahudi.
Akhirnya, hingga sampai saat inipun kita masih
terjajah! Ini bukan merupakan abitrer! Tapi benar, kita masih terjajah oleh
kesesatan-kesesatan warisan penjajah. Betapa tidak kawan, coba masuki alam
bawah sadar kalian, dan rasakan betapa kuatnya tertanam dalam diri kita dan
para generasi bangsa tentang keagungan Kartini yang tak lebih dari sebuah
warisan kedustaan dan penyesatan fikiran.
Terlebih itu, tajuk yang Kartini bawa tentang
emansipasi yang sangat Absurd dan Paradoks! Lihat lebih dalam ke alam bawah
sadar kita, bahwa kita sebenarnya sedang luluh lantah bagaikan Hirosima di masa
45, karena kita selama bertahun-tahun di bom dengan senjata paling berbahaya di
dunia : Psikologi Propaganda tentang Kartini dan berbagai kesesatannya.
Heran kiranya kita, kaum intelektual masih percaya
terhadap takhayul heroisme Kartini dan Emansipasinya. Heran, jika kita
mahasiswa Psikologi, tidak dapat menangkap bahwa gembar-gembor Kartini merupakan
intrik dan indoktrinasi propaganda yang ditanamkan kedalam jiwa kita melalui
“diseminasi” kebohongan yang menyesatkan.
Sekarang, kawan, kita kaum Intelektual, berhentilah
mengagung-agungkan Kartini! Percayalah, dia bukan putri sejati, melainkan alat
Cristiaan Snouck Hurgronje, untuk menjauhkan generasi bangsa Indonesia dengan
heroisme gerakan Holistis khas Islam di penghujung abad 19. Juga, sebagai alat
para Yahudi untuk membodohi kita.
Sekian tulisan saya kawan, mudah-mudahan ini
menjadikan kita tak hanya “Pintar” tapi juga “Tercerahkan”! Saya tutup tulisan
saya dengan kutipan dari Dr.Aib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda : “Dalam Perlombaan bersaing melawan Islam,
bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan barat
akan keluar sebagai pemenang.”
Terima Kasih!
21 April 2012, di pagi yang memuakkan melihat televisi
yang mengagung-agungkan hari Kartini!
(Sumber:
Tandi Skober ,Pikiran Rakyat dan berbagai sumber lainnya)