Berbicara
tentang kita, kawan! Satu pernyataan yang seolah hilang dalam pusaran buih
ombak. Bersuara sekejap, lalu hilang tertelan kesunyian. Berbicara tentang kita
berarti menggali lebih dalam tentang diri yang telah tenggelam di alam bawah
sadar. Introspeksi, sebuah kata klise namun tahukah bahwa ini adalah cikal
bakal dari lahirnya berjuta-juta teori psikologi.
Sebuah
kata yang perlu kita munculkan di alam sadar kita dan digenggam dengan kuat :
Introspeksi. Introspeksi adalah sebuah metode yang dipakai Wilhem Wundt, untuk
membidani lahirnya psikologi eksperimental. Meskipun Wundt membantah metode ini
dengan nama baru namun dengan substansi yang sama : Retrospeksi.
Introspeksi
berasal dari dua suku kata : Intra yang berarti dalam dan Spectare yang berarti
melihat. Lebih suka saya artikan sebagai “Mawas Diri”, meski secara istilah
diartikan sebagai melihat kedalam diri. Kata ini telah dijadikan sebagai metode
untuk melahirkan teori psikologi, meski kedudukannya hanya dijadikan penguat
untuk mengevaluasi kebenaran yang muncul dalam teori-teori eksperimental.
Kedudukan
introspeksi selalu di subordinatkan dan diragukan keabsahannya oleh berbagai
ahli. Posisi penghayatan diri kepada pengalaman-pengalaman yang telah dilalui
dikaburkan maknanya dengan sebuah keyakinan baru bahwa hal ini terlalu
subjektif. Subjektifitas selalu dilabeli stigma bagi kalangan yang menuhankan
metode objektif. Padahal, dirinya sendiri berarti mengingkari eksistensi
dirinya sebagai makhluk berfikir.
Tak
dapat dipungkiri, bahwa objektifitas adalah sebuah pengingkaran. Manusia tak
bisa mengelak dari subjektifitas. Karena, subjek adalah induk dari lahirnya
objektifitas-objektifitas yang munafik. Pun dengan introspeksi, sebuah metode
ampuh yang menjadi induk berbagai pemikiran brilian ikut di justifikasi sebagai
sebuah kesalahan dan jauh dari kevalidan.
Para
gerombolan munafik yang menuhankan metode objektif adalah kaum behavioral.
Mereka mengingkari introspeksi sebagai suatu cara untuk melahirkan sebuah ilmu.
Mereka berkeyakinan bahwa permasalahan ilmiah dalam psikologi harus dilandasi
oleh sesuatu yang dapat diukur dan harus objektif. Akhirnya, metode-metode
mereka hanya berakhir di tong sampah ketika dibenturkan dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan.
Bahkan,
keangkuhan mereka memposisikan manusia tak lebih sebagai tikus-tikus latih atau
bahkan anjing-anjing liar yang perlu dikondisikan seperti apa yang mereka mau.
Ketika menjawab akan pertanyaan siapakah manusia? Atau siapakah dirinya? Tak
pernah dijawab tegas, hanya penjelasan-penjelasan yang jauh panggang dari api.
Introspeksi,
patutnya segera disakralkan. Karena introspeksi merupakan kontemplasi diri yang
merupakan proses menuju kebenaran yang hakiki.
Erwin Ariyanto mengungkapkan hal ini dengan ungkapan yang menyentuh: “Sebuah kapal yang akan
berlayar pasti membutuhkan petunjuk arah. Namun tak kalah pentingnya adalah
selalu mengetahui posisi yang benar ketika di lautan lepas. Karena sedikit
kekeliruan membuat kapal tersesat dan kehilangan arah.”
Mengeliminasi
Introspeksi dalam setiap diskursus keilmuan hanyalah menempatkan fenomena pada
posisi yang bisa diukur dan terfokus pada perilaku semata. Artinya, ilmu tak
lebih dari sebuah kuantitas namun tak lekat dengan situasi riil kehidupan. Ini
berarti mengesampingkan kesadaran dan sensasi dari setiap ilmu. Mungkin inilah
yang menjadikan ilmu sebegitu membosankannya karena terlalu jemu dengan
kuantitas dan rumus-rumus baku.
Sejak zaman
Sokrates, Introspeksi telah digunakan sebagai metode dari ilmu-ilmu yang
dilahirkannya. Meskipun metode ini klasik, namun kemanjuran dari metode ini
sungguh perlu dihidupkan kembali. Betapa tidak, kita telah lihat realitas
keilmuan yang maha objektif, telah menjauhkan diri kita dari kemanusiaan. Ilmu
kita telah menjauhkan diri kita dari realitas-realitas kemanusiaan disekitar.
Suatu bukti nyata,
bahwa ilmu yang kita fahami hanya tersandar dilorong-lorong sepi yang jauh dari
kenyataan. Ilmu yang didapat tak lebih dari sekadar pengetahuan-pengetahuan
yang terjerembab dalam jurang kepicikan. Bahkan kita sering bertanya, ilmu mana
yang kita ketahui dapat diaplikasikan di dunia nyata. Atau, bagaimana kita
menerapkan apa yang kita tahu dalam praktik-praktik kehidupan.
Introspeksi,
sebuah metode yang lahir di Leipzig, Jerman pada tahun 1897 tak boleh lekang
ditelan zaman. Apa yang Wundt lahirkan, merupakan sebuah pencerahan bagi
keilmuan yang sarat makna. Ini merupakan negasi dari teori-teori behavioris,
namun tak juga merupakan penguat dari psikoanalisis. Karena seperti apa yang
telah diucapkan Maslow, kita perlu merumuskan secara mandiri titik tengah dari
setiap perdebatan keilmuan. Menurutnya, terlalu picik jika mengatakan
psikoanalisa sebagai teori yang “sakit jiwa” dan juga terlalu picik mengatakan
bahwa behavioral merupakan metode yang terlalu mekanis. Tapi perlu ada sebuah
integrasi aplikasi yang tak menghilangkan sebuah metoda introspeksi.
Introspeksi perlu
segera dijadikan sebuah pegangan dari setiap praktik-praktik keilmuan. Kita
jangan naif meniru sebuah metode yang pada kenyataannya jauh dari realitas.
Introspeksi perlu jadi salah satu jalan agar muncul dinamika keilmuan yang
relevan sesuai keadaan. Jangan sampai kita menelan bulat-bulat ilmu tanpa kita
mencampurkan subjektifitas diri yang berasal dari pengalaman-pengalaman
kehidupan. Mengintegrasikan penghayatan kehidupan pada setiap aplikasi keilmuan
adalah sebuah jalan menuju pencerahan.
Sebuah antitesa
dari hal itu hanya menjadikan kita sebagai manusia-manusia kaku. Kemanusiaan
tak diperhitungkan dalam setiap transformasi keilmuan. Lebih jauh, kita mesti rumuskan
sendiri apa yang kita tahu, agar teori-teori tidak menjadi kepanjangan tangan
dari penindasan kemanusiaan. Introspeksi, sebuah metode sakral yang perlu
kembali diingatkan.
kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
RENDRA
( itb bandung – 19 agustus 1978 )
( itb bandung – 19 agustus 1978 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar