Selamat waktu anda
membaca tulisan ini! Bertemu lagi dengan tulisan saya, sudah lama kiranya saya
tak menulis. Kesibukan saya bersenang-senang sungguh menguras energi dan waktu,
akhirnya saya jadi jarang menulis disini. Namun, sekarang saya menulis lagi, dikala
bosan, saya jadi mendapatkan sebuah inspirasi, selamat membaca.. :D
Begini kawan,
Pernahkah
kawan-kawan calon konselor bertanya kenapa kita tidak bisa mengkonseling diri
sendiri? Kawan pernah berharap dan mencoba untuk dapat mengkonseling diri sendiri,
atas permasalahan yang tengah menimpa? Dan itu selalu gagal? Kenapa?
Mari
kita coba mengkaji persoalan ini, pasalnya ini hal yang mendasar yang perlu
difahami secara komprehensif. Kita tahu bahwa tugas konselor adalah untuk
membantu klien/konseli yang tengah mendapatkan permasalahan. Namun, suatu
fenomena terjadi bahwa kita jarang berhasil untuk menerapkan ilmu konseling
kepada diri kita sendiri.
Ini
mungkin terdengar klasik, namun ini menjadi suatu kajian yang menarik jika
didalami. Baiklah, kita mulai analisa mengenai persoalan kenapa masalah itu
muncul. Dalam konsep Psikodinamika, suatu permasalahan muncul disaat terdapat
konflik antara das Es, das Ich dan das Uber Ich. Sederhananya ialah, saat apa yang diharapkan
(dinamika das Es) tidak sesuai dengan
apa yang didapatkan. Tapi teori tentang masalah, tentunya banyak sekali apalagi
dipandang dari berbagai perspektif. Namun, sederhananya, katakanlah seperti
itu.
Dalam
kacamata Psikodinamika, segala hal yang identik dengan aktifitas psyche, merupakan sebuah energi. Lebih tegas, mbah Freud menekankan bahwa energi ini pada dasarnya berasal dari
dinamika das Es tadi. Artinya, segala kebutuhan yang sifatnya
biologis atau kebutuhan dasar merupakan sumber energi. Selanjutnya, energi yang
dihasilkan lalu didistribusikan kepada das
Ich dan das Uber Ich, yang lebih
lanjut proses ini disebut sebagai Identifikasi.
Konsep
identifikasi ini, dicetuskan oleh Freud tentunya sebagai sang empu
Psikodinamika. Meskipun awalnya Freud menyebut Identifikasi ini merujuk pada
mekanisme distribusi energi das Es, das Ich dan das Uber Ich, namun selanjutnya Identifikasi ini tak hanya dibatasi
oleh internal diri, namun juga dapat dilakukan untuk distribusi kepada jiwa
yang lainnya (Semiun, 2006). Artinya, saluran energi yang dihasilkan das Es ini dapat disalurkan pula kepada
pribadi yang lain.
Hal
ini yang menjadi titik tolak hipotesa saya tentang kenapa kita tidak dapat
mengkonseling diri sendiri. Dalam jiwa kita, dinamika kepribadian senantiasa
beraktifitas dan didistribusikan secara seimbang. Itu memang idealnya, namun
pada saat muncul apa yang disebut sebagai “masalah”, maka dapat diartikan bahwa
masalah itu merupakan sebuah energi yang menumpuk dan tak dapat didistibusikan.
Timbunan
energi jiwa kita akan terus menumpuk seiring dengan tidak adanya Identifikasi
yang seimbang dalam dinamika struktur kepribadian. Maka dari itu, semakin kita
memikirkan masalah itu bagaimana untuk dapat segera diatasi, maka sebenarnya das Es tengah mengeluarkan energi-energi
yang baru. Karena, pada dasarnya das Es
menginginkan diri untuk tidak mengalami masalah. Sebuah keinginan das Es inilah yang merupakan sebuah
“masalah”.
Timbunan
konflik dari das Es, das Ich dan das Uber Ich ini, di saat Identifikasi tidak berjalan dengan baik,
atau dengan kata lain tidak disalurkan, maka semakin lama akan semakin membuat
fikiran kita kacau. Sebuah analogi mengenai hal ini, kita ibaratkan sebagai
segelas kopi panas. Air kopi yang suhunya panas, jika derajat suhunya terus
naik, maka yang terjadi adalah gelas yang pecah akibat kapasitas gelas untuk
menahan panas sudah terlalu overheat.
Begitupun dengan jiwa kita, semakin masalah dalam diri kita terus dirangsang
untuk menghasilkan energi yang baru, maka yang terjadi adalah pecahnya
kepribadian kita.
Dalam
situasi tersebut, maka jiwa akan mencari-cari medium untuk menyalurkan energi
psikis yang tengah bergejolak. Atas hal itu, maka muncullah apa yang disebut
sebagai mekanisme pertahanan ego. Dimana ketika energi psikis sudah overheat, maka jiwa ini akan mencari
cara bagaimana melepaskan energi tersebut. Akhirnya, ketika salah dalam
menyalurkannya, muncullah apa yang dinamakan sebagai maladjustment.
Jadi,
apa hubungannya dengan hipotesis tentang kita tidak dapat mengkonseling diri
kita sendiri? Begini kawan, seperti halnya tadi yang telah diuraikan, saat
mendapatkan masalah das Es
mengeluarkan energi instingtif dengan berbagai bentuk. Saat kita berusaha
mengkonseling diri sendiri, atau dengan kata lain mencoba menyelesaikan masalah
jiwa kita sendirian, artinya kita tengah menambah energi yang dikeluarkan oleh das Es. Yang terjadi, bukanlah masalah
itu terselesaikan, melainkan hanya memperbanyak pengeluaran energi jiwa namun
tak tersalurkan. Adapun saat kita merasa bahwa masalah kita teratasi sementara,
maka perlu di introspeksi apakah diri kita tengah melakukan defence mechanism?
Jika
ya, berarti itu bukan masalah yang selesai, namun permasalahan justru
bertambah. Lalu apa solusinya? Akhirnya, seperti disinggung sebelumnya, kita
perlu mendistribusikan energi jiwa kita kepada medium yang tepat. Analoginya,
penyaluran energi ini seperti saat kopi panas tadi sudah sedemikian panas, maka
berikanlah sendok. Maka, energi panas yang dihasilkan akan tersalurkan kepada
sendok, dan suhu dari kopi panas tersebut akan semakin normal dan seimbang.
Begitupun,
saat kita mengalami masalah, jangan kita memunculkan kehendak-kehendak baru
bahwa masalah itu dapat segera diatasi. Namun, carilah medium yang lain yang
dapat membuat kita menyalurkan energi tersebut, dan menjadikan “suhu” energi
kita menjadi normal. Nah, disinilah konseling memiliki posisi, yakni memberikan
bantuan sebagai medium untuk menyalurkan energi konseli. Makanya, muncul sebuah
keyakinan bahwa saat konseli menceritakan permasalahannya kepada konselor, maka
sebenarnya setengah dari masalahnya telah teratasi. Namun, secara teoritis hal
ini merupakan bagian dari proses distribusi energi dalam konsep Psikodinamika.
Meski
begitu, penting digarisbawahi bahwa penyaluran energi ini harus pada medium
yang tepat. Karena, jika tidak tepat, maka akan muncul maladjustment yang berbahaya. Misalnya, ketika mendapat masalah,
lalu kita menemukan medium Narkoba, akhirnya kita terjerat dalam Narkoba. Kita
menemukan medium alat seksual, maka akan terjerumus pada free sex. Menemukan medium motor, maka akan ugal-ugalan dijalan
atau ikut geng motor. Lantas ketika kita menemukan medium jiwa, namun jiwa
tersebut sama “panasnya” (lingkungan sosial yang bermasalah) maka yang terjadi
adalah kebakaran. Hehe.. Namun, saat kita menemukan medium Konselor, atau jiwa
yang memahami bagaimana menyalurkan energi tersebut, maka niscaya kondisi jiwa
kita akan senantiasa normal.
Sekian
mungkin yang bisa saya sampaikan, semoga tidak muak dengan tulisan saya. Saya
ucapkan terimakasih atas kesediaannya membaca tulisan saya.
*menulis dikala bosan dan di sela-sela kesibukan bersenang-senang, ditemani beberapa batang Rokok dan segelas Aqua.