Sungguh malang nasib keilmuan kita. Itu
mungkin ungkapan yang cocok menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan saat ini.
Betapa tidak, saat ini ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh universitas melalui penelitian-penelitian
ilmiah tak lagi menjadi penyelesai masalah. Skripsi-skripsi, tesis maupun
disertasi tak lagi menjadi jalan keluar untuk mengatasi persoalan bangsa.
Padahal, sejatinya, ilmu-ilmu yang dihasilkan para sarjana adalah sebuah usulan
solusi untuk memperbaiki negeri ini.
Sungguh sangat disayangkan, melihat
kondisi penelitian-penelitian ilmiah saat ini tak lebih dari sekadar sampah.
Kenapa dikatakan demikian, karena faktanya penelitian ilmiah hanya menjadi
seonggok karya yang tersandar di sunyinya rak-rak perpustakaan.
Eksperimen-eksperimen yang sejatinya menjadi sebuah inovasi yang berguna bagi
masyarakat, bernasib naas karena hanya lapuk tak terbaca. Begitupun upaya
universitas untuk memanfaatkan dan menyebarluaskan karya ilmiah para mahasiswanya,
sungguh sangat sedikit dan tidak serius.
Jika dikalkulasi, dari ribuan karya para
wisudawan universitas setiap tahunnya, bisa kita terka berapa yang
dimanfaatkan, dan berapa ribu yang hanya memenuhi ruang-ruang penyimpanan.
Akhirnya, karya ilmiah yang diharapkan menjadi sebuah solusi, malah jadi bagian
dari masalah. Tingkat keterpakaian karya ilmiah di negeri ini sungguh sangat
mengerikan. Sepengetahuan penulis, belum ada data terkait tingkat keterpakaian
karya ilmiah yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang nyata
dilapangan. Tentunya mungkin akan sangat sukar sekali mengukurnya, paling
banter dipakai sebagai referensi dari penelitian-penelitian selanjutnya.
Akan tetapi, dapat masyarakat lihat
seberapa banyak karya yang bermanfaat bagi negeri ini dalam menyelesaikan
persoalan. Tentunya, jika karya-karya penelitian ilmiah sudah optimal
dimanfaatkan, masyarakat bisa merasakan hasilnya. Setidak-tidaknya, beberapa
masalah-masalah krusial di negeri ini dapat cepat teratasi. Namun, dapat dirasakan
sendiri, ribuan penelitian ilmiah tak lagi
menyelesaikan masalah. Hasilnya tak lebih dari sekedar kesimpulan dan
rekomendasi yang tak ditindaklanjuti. Karya ilmiah tak lebih dari sekadar
koleksi, tersandar diruang sunyi, mengisi berjubel-jubel rak besi.
Bagaikan petir di siang bolong, seolah
kenyataan menampar para akademisi pendidikan. Senin (21/1) lalu, 7 Bocah
tertangkap membobol rumah mewah akibat kecanduan game online. Mereka yang notebene masih duduk di bangku sekolah menengah
nekat mencuri dilatarbelakangi tak punya uang untuk bermain game online.
Sungguh mengejutkan, hanya karena ketagihan bermain game di internet, mereka
sampai terjerat kasus kriminal.
Contoh kasus diatas menjadi sebuah ironi
tersendiri, mengingat banyak penelitian ilmiah yang jauh-jauh hari menyimpulkan
bahwa kecanduan game online akan berdampak buruk bagi kesehatan mental anak.
Berjubel treatment penanggulangan pun sudah tertulis dalam
penelitian-penelitian yang tak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, ada banyak
penelitian-penelitian dari para sarjana psikologi maupun bimbingan dan
konseling yang membahas persoalan ini. Tawaran solusi baik preventif maupun
kuratif untuk menangani anak yang kecanduan game online pun, sudah banyak
dihasilkan.
Namun, berjubel hasil penelitian itu seperti
omong kosong jika menyimak kasus diatas. Banyaknya penelitian ilmiah mengenai
kecanduan (Addiction) game online, tak dapat dirasakan manfaatnya secara
langsung. Padahal, ilmu-ilmu yang dihasilkan serta solusi yang ditawarkan,
sungguh sangat bermanfaat jika digunakan. Tak hanya sebatas “harta karun” yang
terpendam dalam koleksi perpustakaan universitas.
Kondisi ini sungguh sangat
mengkhawatirkan. Lama kelamaan masyarakat akan mempertanyakan, apa fungsi
universitas sebenarnya? Apakah hanya penghasil sarjana? Penghasil tenaga kerja?
Begitupun pertanyaan-pertanyaan hasil penelitian ilmiah yang setiap tahun
ditelurkan para wisudawan.Apa fungsinya? Betul karya penelitian ilmiah atau
hanya formalitas belaka?
Jangan heran memang jika pertanyaan-pertanyaan
itu menyeruak. Melihat bobroknya moral serta banyaknya persoalan negeri ini
yang tak terpecahkan, kegelisahan itu memang patut mengemuka. Tujuannya tak
lain agar menyadarkan para peneliti dan calon peneliti bahwa sia-sia saja
mereka membuang waktu bekerja keras melakukan riset. Namun, pada akhirnya
karya-karya mereka tak dimanfaatkan dan bernasib naas, lapuk dan dilupakan.
Karena tak ada upaya yang serius untuk benar-benar menggunakan hasil penelitian
ilmiah sebagai jalan keluar dari persoalan.
Para warga perguruan tinggi tentu tahu isi
dari tri dharma perguruan tinggi. Selain pendidikan dan penelitian, ada dharma
selanjutnya yakni pengabdian pada masyarakat. Meski tak berdasar, bisa
dikatakan fungsi ini tak begitu optimal. Buktinya hasil pendidikan dan
penelitian tak jadi solusi bagi masyarakat. Tak jadi pengabdian. Hanya jadi
jargon mulia yang tak terasa fungsinya.
Tentunya, tri dharma perguruan tinggi tak
bisa diartikan secara terpisah. Ketiga-tiganya merupakan sebuah integrasi yang
saling bersinergi. Satu fungsi saja tak teroptimalkan, dapat disimpulkan ada
sebuah kegagalan dalam esensi dharma yang lain. Jika kenyataannya memang, hasil
penelitian tak berguna bagi kehidupan masyarakat, berarti pula ada sebuah
kegagalan dalam pendidikan. Hal itu berdampak pula pada kegagalann penelitian,
yang nantinya berdampak pada lemahnya pengabdian pada masyarakat. Yang lebih
bahaya lagi yakni munculnya sindrom impoten dari perguruan tinggi.
Menyimak kondisi seperti itu, sudah
sepatutnyalah perguruan tinggi melakukan introspeksi. Sudah jelas terlihat
masalah ketidakberfungsian tridharma perguruan tinggi. Tiga dharma itu sekarang
hanya sebatas formalitas, kehilangan wujud mulianya. Padahal hal itu merupakan
tonggak serta indikator berhasilnya sebuah institusi pendidikan tinggi. Sangat
mengerikan jika kondisi ini tak segera teratasi.
Tentunya jalan keluar masalah ini perlu
ditelusuri hingga akar permasalahan. Bisa jadi kesadaran dan upaya penyadaran
tentang urgensi penelitian serta pengabdian pada masyarakat, kepada calon-calon
sarjana tak optimal. Perlu ada upaya dari perguruan tinggi yang meyakinkan
bahwa fungsi dari penelitian bukan hanya sebatas pemenuhan syarat untuk
kelulusan. Begitupun fungsi pengabdian pada masyarakat jangan hanya sebatas
formalitas kredit perkuliahan. Jika hal ini dibiarkan, bangsa ini akan semakin
malang: banyak ilmuan, namun tetap banyak persoalan.
Begitupun pemerintah tak bisa tutup mata
menyikapi persoalan ini. Perlu ada dukungan penuh bagi pemanfaatan penelitian
ilmiah bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengevaluasi dana yang dianggarkan
bagi pembiayaan penelitian. Kenyataan dilapangan penggunaan dana ini tak jadi
jalan keluar bagi masyarakat. Karya ilmiah banyak dihasilkan dan didanai
pemerintah, namun kenapa hasilnya tak jadi alat memperbaiki negeri ini?
Tentunya masyarakat berharap banyak kepada
institusi perguruan tinggi yang di isi para ilmuan. Kondisi negeri ini sudah
sangat mengenaskan. Masyarakat sangat berharap para peneliti berperan
memperbaiki kondisi bangsa ini. Mereka tak mengharapkan jutaan kertas
dihabiskan, jutaan penelitian dilakukan, jutaan karya ilmiah dihasilkan, namun
hanya menjadi pepesan kosong yang tak berguna. Masyarakat perlu bukti nyata
dalam bentuk aksi, bukan bukti fisik jutaan skripsi, yang hanya memenuhi
koleksi. Perguruan tinggi segera introspeksi, karena perguruan tinggi bukanlah
sekadar pabrik ilmuan, namun produsen utama agen perubahan.[]