Rendahnya penyerapan
anggaran oleh lembaga negara, tak terkecuali Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
menandakan begitu percumanya anggaran tinggi jika tidak di iringi dengan
efektifitas penyerapan anggaran. Kenyataan ini sungguh menambah rentetan rapor
merah Kemendikbud, setelah berbagai banyak kebijakan yang juga tak efektif
untuk pendidikan.
Sebagaimana termaktub
dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 hasil amandemen yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Pasal ini
jelas menginstruksikan bahwa yang dibutuhkan tidak hanya penganggaran saja,
akan tetapi prioritas penyerapan yang sekurang-kurangnya 20% dari APBN.
Seperti yang diberitakan
“PR” hari ini (19/12), Kemendikbud hanya dapat menyerap 74% dari total anggaran
sebesar Rp.79 triliun. Hampir 20 triliun rupiah anggaran tahun ini tak berhasil
dimanfaatkan oleh Kemendikbud untuk membiayai pendidikan nasional. Angka ini
sangat fantastis jika dibandingkan dengan berbagai persoalan pendidikan yang
belum selesai.
Dengan sisa anggaran yang
hampir 20 triliun itu, hingga sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang masih
memungut uang dari siswa akibat kurangnya kucuran anggaran. Sampai saat ini
pula masih banyak sekolah-sekolah swasta yang hampir bangkrut karena kalah
saing akibat fasilitas yang dimiliki tak memadai sedangkan kebutuhan pembiayaan
tinggi. Akhirnya, banyak sekolah-sekolah yang
membebankan pembiayaan pada masyarakat.
Selain itu, yang hangat
dibicarakan juga adalah nasib guru honorer yang gajinya tak lebih baik dari
gaji buruh pabrik. Padahal, para guru honorer ini berjasa besar dalam membantu
pemerintah untuk menyelesaikan persoalan rendahnya pendidikan masyarakat. Masih
banyak guru honorer yang hingga saat ini ditengah kebutuhan hidup yang begitu
mencekik, bertahan menjadi pendidik meski hanya digaji sebesar 10 ribu per jam
per minggu.
Dengan kenyataan
rendahnya penyerapan anggaran dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang
belum selesai, menimbulkan ironi tersendiri. Jika dihitung-hitung, anggaran 20
triliun yang tak bisa dimanfaatkan Kemendikbud, sangat cukup sekali untuk menghentikan
pungutan-pungutan liar disekolah terhadap siswa. Bahkan bisa memberi secercah
harapan bagi para guru honorer untuk sementara menikmati hidup yang cukup.
Begitu lamban dan tidak
efektifnya Kemendikbud dalam menyerap anggaran, menandakan rendahnya kualitas
manajerial penggunaan anggaran di Kemendikbud. Salah satu contoh, keterserapan
yang hanya 74% dari total anggaran itu, sudah termasuk berbagai langkah Kemendikbud
yang terkesan menghamburkan anggaran namun begitu tak efektif. Misalnya,
penyelenggaraan konvensi Ujian Nasional beberapa waktu lalu, proyek percetakan
soal UN, hingga pelatihan seadanya dan pencetakan buku kurikulum 2013.
Selain rendahnya kualitas
manajerial yang dimiliki Kemendikbud, rendahnya penyerapan anggaran juga
menandakan kurangnya sense of crisis dari Kemendikbud terhadap kondisi
pendidikan nasional. Hingga saat ini, masih banyak anak-anak negeri ini yang
berkeliaran dijalan tak sekolah. Banyak pula anak-anak sekolah yang hanya
menikmati kandang kambing untuk tempat belajar. Bahkan, banyak pula anak-anak
yang menggigit jari melihat sekolahnya ditutup karena tak mampu membiayai
kebutuhan sekolah.
Jika rentetan persoalan
pendidikan negeri ini belum terselesaikan, namun anggaran masih tinggi sekali
menumpuk, tidakkah ini merupakan bentuk kurangnya komitmen Kemendikbud untuk
bertanggung jawab terhadap kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional?
Sangat disayangkan, rendahnya prestasi Kemendikbud ini pastinya mengecewakan
para pendidik yang masih rela mengbdi tanpa digaji.
Lebih disayangkan lagi,
bukannya introspeksi diri, menteri pendidikan M.Nuh malah lagi-lagi melontarkan
disclaimer terhadap kenyataan ini. Nuh hanya mengatak tak jelek-jelek amat
dengan pencapaian rendah ini. Padahal sudah jelas, bahwa ini sungguh prestasi
yang buruk, mengingat bahwa kondisi pendidikan saat ini belum juga membaik.
Sudah sepatutnya bentuk perencanaan anggaran yang berpola top down ini dievaluasi. Seharusnya Kemendikbud membuat revolusi perencanaan anggaran yang bottom up, sehingga jelas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan terbiayai oleh anggaran. Sehingga, diharapkan sekolah-sekolah akar rumput yang kering anggaran, mengecap besarnya 22% lebih anggaran pendidikan.