Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, Jum’at (5/12) lalu akhirnya
memutuskan untuk mengaborsi Kurikulum 2013. One
step better, daripada memaksakan kurikulum setengah matang itu ditelan oleh
sekolah-sekolah yang jelas tidak siap. Secara konseptual, kurikulum ini mungkin
bertujuan mulia dan mengandung cita-cita besar. Tapi apa boleh dikata,
cita-cita besar ini jadi tidak realistis jika disandungkan pada kenyataan di
lapangan.
Kondisi
ini menjadi hikmah tersendiri. Mendesain dan mengirimkan sebuah kurikulum,
harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi nyata dilapangan. Apalagi
kurikulum ini dibuat tergesa-gesa dan sarat muatan politis, aspek-aspek
tersebut mungkin kurang diperhitungkan. Meski kabarnya Kurikulum 2013 ini
hendak disempurnakan dan digodok ulang, bukan tidak mungkin nantinya kurikulum
yang baru lagi menuai polemik kembali. Memang ini sebuah konsekuensi, akibat
sistem kurikulum yang dirancang secara sentralistik.
Permasalahan,
dari kurikulum ke kurikulum, selalu bukan dari gagasan konseptual. Setiap
kurikulum memiliki gagasan bagus dan bertujuan besar. Tapi, yang jelas menjadi
polemik adalah ketika kurikulum tersebut diimplementasikan di lapangan. Masalah
muncul ketika ada gagasan kurikulum yang hanya “jakarta sentris” tak menimbang
kondisi nyata sekolah Indonesia dengan berbagai keragamannya. Ini yang selalu
menjadi masalah, sehingga kurikulum yang dikirimkan pusat selalu menemukan
sandungannya.
Hal ini
menjadi pertanyaan tersendiri, apakah betul kurikulum ini harus serba seragam
dan se-sentralistik ini? Kurikulum bak menu makanan di restoran yang tak ada
pilihan lain selain menelannya. Akhirnya, berbagai macam selera dan kemampuan
mencerna, dipaksa harus menelan menu yang sama. Di jaman pasca refomasi ini,
langkah sentralistik dan serba seragam ini terdengar seperti cerita usang orde
baru. Sudah sepatutnya, konsep sentralistik ini berubah kearah otonomisasi
pendidikan dan desentralisasi kurikulum.
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan keragaman yang luarbiasa. Setiap sekolah di Indonesia,
tak pasti memiliki situasi, kemampuan dan kebutuhan yang sama. Padahal bukankah
tujuan pendidikan adalah harus selalu relevan dengan lingkungannya? Lantas apa
alasan bahwa kurikulum di Papua sana harus sama dengan Jakarta? Atau kebutuhan
output pendidikan di Nusa Tenggara harus sama dengan Jawa?
Sudah
sepatutnya, Pemerintah memberikan keleluasaan bagi sekolah-sekolah untuk menentukan
sendiri rencana dan perangkat pembelajarannya. Sehingga dengan itu, guru dapat
memilih dengan bebas buku mana yang mesti dirujuknya, atau gaya pembelajaran
apa yang cocok untuk muridnya. Yang lebih penting, dapat menentukan materi apa
yang relevan diajarkan agar siswa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya
untuk lingkungannya sendiri. Melalui kebebasan ini, diharapkan guru terdorong
untuk kreatif dalam membuat pendidikan itu lebih bermakna bagi siswa.
Kalaulah
tidak persekolah pun, desentralisasi ini bisa bertahap mulai dari tingkatan
provinsi ataupun kabupaten. Yang jelas, sentralisasi dan standarisasi tidak
lagi menjadi “tuhan” dalam pendidikan. Seolah, ketika tidak sama standarnya
merupakan sebuah dosa. Memang kenapa jika tidak sama? Percuma terstandarpun
jika malah pengetahuan para siswa mengambang diawang-awang jauh dari pijakan.
Pengetahuan dan kompetensi siswa, harusnya selalu relevan dengan permasalahan
lingkungannya. Sehingga, melalui desentralisasi kurikulum ini, diharapkan
output dari pendidikan berorientasi pada semangat membangun daerahnya sendiri.
Selama
ini, kurikulum yang sentralistik selalu menjadi beban para guru dan sekolah.
Beragamnya kesanggupan guru dan sekolah dipaksa mengejar kurikulum yang sama.
Sehingga ruang kebebasan berfikir dan kreatifitas tertutup karena terbiasa dikekang
sistem. Kondisi ini tidak bagus bagi perjalanan pendidikan di negara dengan
keragaman budaya dan lingkungan yang se-plural ini. Sudah saatnya, pemerintah
mencari formula kurikulum yang mengakomodasi pluralitas dan kebebasan berkreasi
dalam merancang pendidikan yang bermakna bagi siswa.