Oleh : Isman Rahmani Yusron
PENGANTAR
Merebaknya kasus korupsi di Indonesia,
menjadi sebuah fenomena yang perlu segera dicari solusinya. Pasalnya, kasus
korupsi di Indonesia sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan
data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014,
menyebutkan dalam kurun waktu satu tahun saja terdapat 629 kasus korupsi dengan
jumlah tersangka hingga 1328 orang. Kerugian negara akibat perilaku korupsi ini
mencapai 5,29 trilliun pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya pun, terdeteksi
560 kasus dengan jumlah tersangka 1271 orang dan kerugian negara mencapai 7,3
triliun selama tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tren perilaku korupsi dari
tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menariknya, kasus-kasus korupsi ini
sudah sedemikian massif dan berada di berbagai lini. Kasus korupsi terjadi
mulai dari tataran masyarakat bawah hingga pada pejabat setingkat kementrian
bahkan juga dilakukan oleh kalangan akademisi. Seperti dalam rilis yang sama
disebutkan bahwa tahun 2014, dari 629 kasus diantaranya terdapat 33 kasus
korupsi dilakukan oleh elemen Rektor, dosen dan akademisi, serta ada 22 kasus
korupsi dilakukan oleh ketua dan pengurus organisasi profesi (ICW, 2014). Hal
ini menjadi fenomena yang menarik, dimana perilaku korupsi ini juga dilakukan
oleh kalangan masyarakat dengan level pendidikan tinggi dan akademisi. Tak
jarang, perilaku-perilaku kecurangan dan koruptif justru muncul salah satunya
dengan sarana tingkat pendidikan. Korupsi menurut Masduki (Salama, 2014 p.151)
merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang
justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar.
Fenomena terjadinya korupsi yang
dilakukan kalangan terdidik memunculkan kesan ironi. Pendidikan, yang sejatinya
membangun kesadaran moral, intelektual serta sosial dan diharapkan membangun
peradaban juga membebaskan masyarakat dari ketertindasan, tidak banyak
berkontribusi dalam menurunkan perilaku korupsi. Hal ini memicu sebuah
hipotesis dimana tingkat pendidikan tidak serta merta membangun kesadaran akan
pembebasan masyarakat dari sistem yang menindas. Korupsi, yang dikategorikan
sebagai extraordinary crime, tidak berdampak tunggal melainkan telah menjadi
sistem yang merusak dan menindas. Bahkan, korupsi juga disebut sebagai crimes
againts humanity, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak yang
mempersepsikan bahwa korupsi sebatas kejahatan individual yang tidak berdampak
pada kehidupan masyarakat. Padahal, korupsi berdampak buruk pada perkembangan
sebuah negara, korupsi merugikan investasi dan pertumbuhan, kesenjangan dan
kemiskinan, serta pada alokasi dana publik untuk pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur publik (Ryvkin & Serra, 2010; Mauro, 1995; Keefar dan
Knack,1995; Gupta et.al., 1998; Tanzi dan Davoodi, 1997). Jika dikaitkan dengan
dampaknya yang kompleks dan sistemik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku
korupsi ini merupakan perilaku yang menindas masyarakat karena merugikan segala
aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kesadaran pada dampak perilaku
korupsi ini sama dengan kesadaran akan situasi yang menindas.
Sedemikian kompleks dan besarnya dampak
dari korupsi, sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat sebagai situasi
yang menindas. Hal ini karena korupsi biasanya terjadi di wilayah jabatan
publik yang tidak terlalu dekat dan berdampak secara langsung pada kehidupan
masyarakat. Situasi ini melahirkan sebuah banalitas korupsi. Banalitas korupsi
ini berarti menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan
menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari (Purwantari, 2010 dalam Salama,
2014 hlm.150). Banalitas korupsi ini
sangat terkait erat dengan konsep kesadaran menurut Paulo Freire, dimana
situasi ini disebutnya sebagai kesadaran transitif atau kesadaran naif.
Kesadaran
naif ini merupakan tingkat kesadaran yang bercirikan pada kecenderungan
melakukan simplifikasi yang berlebihan (over-simplification)
pada suatu masalah; bernostalgia pada masalalu; meremehkan situasi yang lumrah;
tendensi yang kuat untuk berkelompok; kurang ketertarikan untuk mendalami
sebuah masalah; penjelasan yang fantastis; argumen yang rapuh; emosional;
berpolemik daripada berdialog (Freire, 1974 hlm.14).
Tingkatan kesadaran naif yang dijelaskan
Freire diatas senada dengan situasi banalitas terhadap korupsi, dimana korupsi
yang merupakan sebuah masalah kemasyarakatan dianggap sebagai situasi yang
biasa dan wajar tidak dikaitkan dengan sebuah situasi yang menindas. Masyarakat
naif, berkecenderungan untuk menyederhanakan sebuah permasalahan dengan
kacamata yang individual daripada sistemik. Orang-orang menyederhanakan masalah
dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem
itu sendiri (Smith, 2001 hlm.69). Kesadaran naif ini berkaitan juga dengan
situasi yang pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa korupsi merupakan sebuah
bentuk penindasan dan ketidakadilan, akan tetapi alih-alih berupaya memahami
situasi ini sebagai penindasan, malah melakukan simplifikasi permasalahan dan
cenderung merasa bukan tanggung jawab individual untuk mengubahnya.
Karakteristik kesadaran naif ini salah satunya ialah ketika mereka berbicara
apa yang seharusnya dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya
dilakukan orang lain (Smith, 2001 hlm.70). Maka dari itu, situasi masyarakat
yang berada pada tingkat kesadaran naif cenderung akan melanggengkan perilaku
koruptif. Bahkan, jika mengacu pada pendapat Freire (Smith, 2010) masyarakat
yang memiliki kesadaran naif ini alih-alih memberantas sistem yang menindas,
mereka berkecenderungan untuk menjadi sama dengan penindas atau dengan kata
lain jika suatu saat memiliki kesempatan untuk berkorupsi, maka mereka cenderung
akan melakukan korupsi.
Tingkat kesadaran naif ini merupakan transisi
menuju kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran kritis (critical conscousness). Kesadaran
kritis menurut Freire (1974), berkarakteristik dengan interpretasi yang
mendalam pada suatu permasalahan, mengganti penjelasan magis dari sebuah
permasalahan dengan prinsip kausalitas, berpikiran terbuka, menolak untuk
melemparkan tanggung jawab; menolak posisi yang pasif; argumentatif dan
berdialog daripada berpolemik. Kondisi kesadaran kritis ini jauh lebih
mengaitkan sebuah permasalahan dengan sebuah sistem yang lebih besar daripada
melakukan penyederhanaan. Jika dikaitkan dengan konteks korupsi, individu
dengan kesadaran kritis cenderung berupaya memahami korupsi dengan cakupan
kausalitas yang lebih besar dan juga memahami dampak korupsi tidak sebatas “pencurian”
melainkan sebuah langkah “penindasan” masyarakat. Artinya, kesadaran kritis
cenderung memandang permasalahan dalam cakupan yang luas, sistemik dan
berprinsip kausalitas. Kesadaran kritis menganggap “semua fakta sebagaimana
adanya secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dari lingkungan
(Freire, 1973 dalam Smith, 2010 hlm.86). Pada taraf kesadaran kritis, tidak
seperti kesadaran naif, individu tidak menyalahkan individu-individu lain,
tetapi justeru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem
yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi (Smith, 2010 hlm.80). Konsep
kesadaran kritis ini tidak sebatas dimensi kajian sosio politis, namun lebih
jauh merupakan kajian psikologis terutama mengenai konsep perkembangan manusia.
Smith (2010 hlm.54) menyatakan bahwa konsep Conscientizacao
bisa dinilai sebagai sebuah konsep perkembangan yang koheren, dan konsep
semacam ini selaras dengan keterebatasan-keterbatasan dan syarat-syarat
konseptual dari teori perkembangan lainnya, seperti konsep Piaget, Maslow,
Kohlberg, Loevinger dan sebagainya.
Berbeda dengan kesadaran naif dimana
seseorang cenderung merasionalisasikan sebuah ketidakadilan dengan asumsi bahwa
sistem yang membuat hal tersebut terjadi, kesadaran kritis lebih berfokus pada
pemecahan masalah dengan memahami sebuah sistem ketidakadilan dan tergerak
untuk melakukan perubahan. Melalui hal ini, kesadaran kritis melibatkan
kemampuan kognitif yang lebih kompleks juga melibatkan moralitas dalam
menganalisa sebuah permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil sebuah
kesimpulan yang dikaitkan dengan perilaku korupsi dimana jika masyarakat masih
berada dalam kesadaran naif, maka kecenderungan untuk melakukan korupsi akan
tinggi dan sebalikya semakin masyarakat sadar secara kritis tentang korupsi,
membuat perilaku korupsi bisa dihindarkan. Hal ini menjadi sebuah kajian yang
menarik dan perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai korelasi antara kedua
hal tersebut. Penulis berasumsi bahwa tingkat korupsi berakar dari rendahnya kesadaran
kritis masyaarakat. Tulisan ini dapat menjadi sebuah gambaran awal, bagaimana
menyusun strategi dari pencegahan perilaku korupsi sejak dini dengan kegiatan
penyadaran atau mengacu pada istilah Paulo Freire yakni Conscientizacao. Fenomena korupsi tidak harus melulu difahami dari
segi sosio politik dan ekonomis semata, melainkan perlu juga dikaji dalam
tataran disiplin ilmu Psikologi. Tulisanan ini merupakan upaya untuk memahami
secara kritis tentang perilaku korupsi, yang berfokus pada akar dari
permasalahan perilaku dan proses mental.