Oleh : Isman Rahmani Yusron
PENGANTAR
Merebaknya kasus korupsi di Indonesia,
menjadi sebuah fenomena yang perlu segera dicari solusinya. Pasalnya, kasus
korupsi di Indonesia sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan
data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014,
menyebutkan dalam kurun waktu satu tahun saja terdapat 629 kasus korupsi dengan
jumlah tersangka hingga 1328 orang. Kerugian negara akibat perilaku korupsi ini
mencapai 5,29 trilliun pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya pun, terdeteksi
560 kasus dengan jumlah tersangka 1271 orang dan kerugian negara mencapai 7,3
triliun selama tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tren perilaku korupsi dari
tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menariknya, kasus-kasus korupsi ini
sudah sedemikian massif dan berada di berbagai lini. Kasus korupsi terjadi
mulai dari tataran masyarakat bawah hingga pada pejabat setingkat kementrian
bahkan juga dilakukan oleh kalangan akademisi. Seperti dalam rilis yang sama
disebutkan bahwa tahun 2014, dari 629 kasus diantaranya terdapat 33 kasus
korupsi dilakukan oleh elemen Rektor, dosen dan akademisi, serta ada 22 kasus
korupsi dilakukan oleh ketua dan pengurus organisasi profesi (ICW, 2014). Hal
ini menjadi fenomena yang menarik, dimana perilaku korupsi ini juga dilakukan
oleh kalangan masyarakat dengan level pendidikan tinggi dan akademisi. Tak
jarang, perilaku-perilaku kecurangan dan koruptif justru muncul salah satunya
dengan sarana tingkat pendidikan. Korupsi menurut Masduki (Salama, 2014 p.151)
merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang
justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar.
Fenomena terjadinya korupsi yang
dilakukan kalangan terdidik memunculkan kesan ironi. Pendidikan, yang sejatinya
membangun kesadaran moral, intelektual serta sosial dan diharapkan membangun
peradaban juga membebaskan masyarakat dari ketertindasan, tidak banyak
berkontribusi dalam menurunkan perilaku korupsi. Hal ini memicu sebuah
hipotesis dimana tingkat pendidikan tidak serta merta membangun kesadaran akan
pembebasan masyarakat dari sistem yang menindas. Korupsi, yang dikategorikan
sebagai extraordinary crime, tidak berdampak tunggal melainkan telah menjadi
sistem yang merusak dan menindas. Bahkan, korupsi juga disebut sebagai crimes
againts humanity, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak yang
mempersepsikan bahwa korupsi sebatas kejahatan individual yang tidak berdampak
pada kehidupan masyarakat. Padahal, korupsi berdampak buruk pada perkembangan
sebuah negara, korupsi merugikan investasi dan pertumbuhan, kesenjangan dan
kemiskinan, serta pada alokasi dana publik untuk pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur publik (Ryvkin & Serra, 2010; Mauro, 1995; Keefar dan
Knack,1995; Gupta et.al., 1998; Tanzi dan Davoodi, 1997). Jika dikaitkan dengan
dampaknya yang kompleks dan sistemik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku
korupsi ini merupakan perilaku yang menindas masyarakat karena merugikan segala
aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kesadaran pada dampak perilaku
korupsi ini sama dengan kesadaran akan situasi yang menindas.
Sedemikian kompleks dan besarnya dampak
dari korupsi, sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat sebagai situasi
yang menindas. Hal ini karena korupsi biasanya terjadi di wilayah jabatan
publik yang tidak terlalu dekat dan berdampak secara langsung pada kehidupan
masyarakat. Situasi ini melahirkan sebuah banalitas korupsi. Banalitas korupsi
ini berarti menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan
menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari (Purwantari, 2010 dalam Salama,
2014 hlm.150). Banalitas korupsi ini
sangat terkait erat dengan konsep kesadaran menurut Paulo Freire, dimana
situasi ini disebutnya sebagai kesadaran transitif atau kesadaran naif.
Kesadaran
naif ini merupakan tingkat kesadaran yang bercirikan pada kecenderungan
melakukan simplifikasi yang berlebihan (over-simplification)
pada suatu masalah; bernostalgia pada masalalu; meremehkan situasi yang lumrah;
tendensi yang kuat untuk berkelompok; kurang ketertarikan untuk mendalami
sebuah masalah; penjelasan yang fantastis; argumen yang rapuh; emosional;
berpolemik daripada berdialog (Freire, 1974 hlm.14).
Tingkatan kesadaran naif yang dijelaskan
Freire diatas senada dengan situasi banalitas terhadap korupsi, dimana korupsi
yang merupakan sebuah masalah kemasyarakatan dianggap sebagai situasi yang
biasa dan wajar tidak dikaitkan dengan sebuah situasi yang menindas. Masyarakat
naif, berkecenderungan untuk menyederhanakan sebuah permasalahan dengan
kacamata yang individual daripada sistemik. Orang-orang menyederhanakan masalah
dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem
itu sendiri (Smith, 2001 hlm.69). Kesadaran naif ini berkaitan juga dengan
situasi yang pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa korupsi merupakan sebuah
bentuk penindasan dan ketidakadilan, akan tetapi alih-alih berupaya memahami
situasi ini sebagai penindasan, malah melakukan simplifikasi permasalahan dan
cenderung merasa bukan tanggung jawab individual untuk mengubahnya.
Karakteristik kesadaran naif ini salah satunya ialah ketika mereka berbicara
apa yang seharusnya dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya
dilakukan orang lain (Smith, 2001 hlm.70). Maka dari itu, situasi masyarakat
yang berada pada tingkat kesadaran naif cenderung akan melanggengkan perilaku
koruptif. Bahkan, jika mengacu pada pendapat Freire (Smith, 2010) masyarakat
yang memiliki kesadaran naif ini alih-alih memberantas sistem yang menindas,
mereka berkecenderungan untuk menjadi sama dengan penindas atau dengan kata
lain jika suatu saat memiliki kesempatan untuk berkorupsi, maka mereka cenderung
akan melakukan korupsi.
Tingkat kesadaran naif ini merupakan transisi
menuju kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran kritis (critical conscousness). Kesadaran
kritis menurut Freire (1974), berkarakteristik dengan interpretasi yang
mendalam pada suatu permasalahan, mengganti penjelasan magis dari sebuah
permasalahan dengan prinsip kausalitas, berpikiran terbuka, menolak untuk
melemparkan tanggung jawab; menolak posisi yang pasif; argumentatif dan
berdialog daripada berpolemik. Kondisi kesadaran kritis ini jauh lebih
mengaitkan sebuah permasalahan dengan sebuah sistem yang lebih besar daripada
melakukan penyederhanaan. Jika dikaitkan dengan konteks korupsi, individu
dengan kesadaran kritis cenderung berupaya memahami korupsi dengan cakupan
kausalitas yang lebih besar dan juga memahami dampak korupsi tidak sebatas “pencurian”
melainkan sebuah langkah “penindasan” masyarakat. Artinya, kesadaran kritis
cenderung memandang permasalahan dalam cakupan yang luas, sistemik dan
berprinsip kausalitas. Kesadaran kritis menganggap “semua fakta sebagaimana
adanya secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dari lingkungan
(Freire, 1973 dalam Smith, 2010 hlm.86). Pada taraf kesadaran kritis, tidak
seperti kesadaran naif, individu tidak menyalahkan individu-individu lain,
tetapi justeru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem
yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi (Smith, 2010 hlm.80). Konsep
kesadaran kritis ini tidak sebatas dimensi kajian sosio politis, namun lebih
jauh merupakan kajian psikologis terutama mengenai konsep perkembangan manusia.
Smith (2010 hlm.54) menyatakan bahwa konsep Conscientizacao
bisa dinilai sebagai sebuah konsep perkembangan yang koheren, dan konsep
semacam ini selaras dengan keterebatasan-keterbatasan dan syarat-syarat
konseptual dari teori perkembangan lainnya, seperti konsep Piaget, Maslow,
Kohlberg, Loevinger dan sebagainya.
Berbeda dengan kesadaran naif dimana
seseorang cenderung merasionalisasikan sebuah ketidakadilan dengan asumsi bahwa
sistem yang membuat hal tersebut terjadi, kesadaran kritis lebih berfokus pada
pemecahan masalah dengan memahami sebuah sistem ketidakadilan dan tergerak
untuk melakukan perubahan. Melalui hal ini, kesadaran kritis melibatkan
kemampuan kognitif yang lebih kompleks juga melibatkan moralitas dalam
menganalisa sebuah permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil sebuah
kesimpulan yang dikaitkan dengan perilaku korupsi dimana jika masyarakat masih
berada dalam kesadaran naif, maka kecenderungan untuk melakukan korupsi akan
tinggi dan sebalikya semakin masyarakat sadar secara kritis tentang korupsi,
membuat perilaku korupsi bisa dihindarkan. Hal ini menjadi sebuah kajian yang
menarik dan perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai korelasi antara kedua
hal tersebut. Penulis berasumsi bahwa tingkat korupsi berakar dari rendahnya kesadaran
kritis masyaarakat. Tulisan ini dapat menjadi sebuah gambaran awal, bagaimana
menyusun strategi dari pencegahan perilaku korupsi sejak dini dengan kegiatan
penyadaran atau mengacu pada istilah Paulo Freire yakni Conscientizacao. Fenomena korupsi tidak harus melulu difahami dari
segi sosio politik dan ekonomis semata, melainkan perlu juga dikaji dalam
tataran disiplin ilmu Psikologi. Tulisanan ini merupakan upaya untuk memahami
secara kritis tentang perilaku korupsi, yang berfokus pada akar dari
permasalahan perilaku dan proses mental.
PERILAKU
KORUPSI
Istilah Korupsi, berasal dari kata latin
yakni corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,
menyogok, dipikat, disuap. Korupsi atau corruptio
merupakan kata kerja dari corrumpere
yang sebangun dengan istilah latin lainnya yakni corruptus yang berarti berubah dari kondisi yang adil, benar dan
jujur menjadi kondisi sebaliknya (Azhar et.al., 2003 hlm.28). Berdasarkan
definisi tersebut korupsi, dapat diartikan juga sebagai sebuah perilaku tidak
jujur, tidak benar dan tidak adil yang dilakukan sehingga berakibat merusak dan
merugikan. Pada bangunan definisi korupsi dalam kajian ini, korupsi dikaji
dalam dimensi perilaku dan proses mental manusia dan segala hal yang terkait
dengan aspek-aspek psikologis lainnya. Istilah korupsi memang biasanya
digunakan dalam istilah-istilah ekonomi, hukum, sosial, pemerintahan dan
politik, yang mengacu pada sebuah kegiatan penyalahgunaan wewenang publik untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Akan tetapi, pada kajian ini definisi korupsi
dibatasi dalam aspek perilaku dan proses mental individu dan tidak terkait
langsung dengan jabatan publik atau kebijakan pemerintahan.
Definisi korupsi sangat beragam, karena
terkait dengan terminologi kebijakan publik dan pemerintahan, setiap negara
memiliki definisi korupsinya sendiri-sendiri. Indonesia, melalui Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 secara implisit menyebutkan Korupsi merupakan sebuah
tindakan melawan hukum demi memperkaya diri sendiri. Tindakan ini dapat
merupakan tindakan perseorangan, jabatan publik, kelompok dan lain sebagainya.
Kunci utama dalam definisi mengenai korupsi adalah mencari keuntungan untuk
diri sendiri dengan cara yang dapat merugikan orang lain, masyarakat maupun
negara. Tidak ada definisi yang eksplisit mengenai definisi korupsi ini karena
pengertian korupsi dapat berarti sangat luas dan bisa berkembang dalam berbagai
situasi. Kandungan utama dalam perilaku korupsi ini mengacu pada kebusukan
moralitas individu maupun lembaga yang merugikan dan berdampak langsung maupun
tidak langsung (sistemik).
Dalam istilah yang berkaitan dengan
perilaku, Huntington (1986 dalam Salama, 2014 hlm.150) mendefinisikan korupsi
sebagai “behavior of public officials
which deviates from accepted norms in order to serve private ends”. Korupsi
merupakan perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang diterima dan dianut
masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Johnston (1996
dalam Osipian, 2008 hlm.346) menjelaskan bahwa kata korupsi berasal dari kata
Latin corruptio, yang pada abad
pertengahan merupakan ekspresi dari kebusukan moral, perilaku jahat, kebusukan
dan kebobrokan. Korupsi ini juga terkait dengan konteks penyuapan atau
ketidakjujuran lainnya untuk mendapatkan suatu tujuan yang memalukan, dan
sebagai gejala dari sebuah masyarakat yang sakit (ailing society)
(Milovanovic, 2001 dalam Osipian, 2008 hlm.246). Korupsi, sangat penting
dibicarakan tidak hanya dengan konstruk definisi teknis, melainkan didasarkan
pada faktor-faktor perilaku (Gebel, 2012 dalam Nordin et.al.,2013). Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa korupsi terjadi sebagai bentuk dari perilaku
melanggar etika pelayanan publik, akar dari pelanggaran norma sosial yang
menekankan pada pemberian hadiah dan loyalti pada keluarga atau klan, daripada
aturan hukum (Nordin et.al., 2013).
Perilaku korupsi muncul dipengaruhi oleh
berbagai faktor eksternal baik kultural maupun lingkungan. Berbagai studi
menyatakan bahwa individu yang tumbuh di
sebuah masyarakat yang koruptif (atau memiliki budaya koruptif) lebih banyak
melakukan tindakan korupsi dibandingkan dengan individu yang tumbuh dalam
masyarakat yang jauh dari budaya korupsi (Barr & Serra, 2009 hlm.862). Hal
ini menggambarkan bahwa korupsi sangat besar dipengaruhi oleh budaya
masyarakat. Indonesia, sebagai negara berkembang sangat lekat dengan budaya
korupsi, dan korupsi menjadi banal dianggap wajar oleh masyarakat. Sehingga,
masyarakat indonesia sangat rentan terhadap munculnya dorongan instrinsik untuk
melakukan korupsi. Berbicara budaya tentunya juga berbicara tentang berbagai
dimensi kehidupan masyarakat. Berpijak pada hal itu, definisi korupsi dalam
kajian ini tidak dibatasi sebagai aktivitas penyelewengan yang dilakukan
pejabat publik, melainkan sebuah perilaku dalam kehidupan yang mencakup
berbagai dimensi kehidupan seperti dalam tataran akademik, organisasi maupun
kehidupan sosial.
Lebih spesifik, studi mengenai perilaku
korupsi juga didefinisikan dalam dimensi kegiatan akademik. Heyneman (2004)
mendefinisikan korupsi akademik sebagai penyelewengan dari kekuasaan yang
dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Definisi ini hampir sama dengan
definisi umum tentang korupsi, namun pada definisi ini tidak menekankan pada
keuntungan material (material benefit)
melainkan keuntungan pribadi (personal
benefit). Artinya dalam konteks
akademik ini segala hal yang berkaitan dengan kegiatan kecurangan,
penyelewengan, pelanggaran yang menghasilkan keuntungan bagi personal.
Rumantseva (2005) menyebutkan bahwa korupsi akademik dilakukan oleh mahasiswa
seperti mencontek ketika ujian atau melakukan plagiarisme. Osipian (2008) juga
menyebutkan bahwa korupsi dalam kegiatan akademik seperti halnya melakukan
kegiatan membayar orang lain untuk menyelesaikan tugas perkuliahan yang
dikategorikan sebagai penipuan, korupsi dalam proses akademik seperti membeli
ijazah, mencontek, plagiat, kolusi, penggelapan informasi dan hal penyimpangan
lainnya.
Secara lebih operasional, Amundsen (1999
dalam Andvig & Fjeldstad, 2000) menyebutkan bentuk dari perilaku korupsi
yaitu penyuapan (dalam bentuk uang maupun kebaikan), penggelapan, penipuan, dan
pemerasan. Tentunya bentuk-bentuk korupsi dalam konteks tulisan ini disesuaikan
dengan perilaku yang relevan dengan kegiatan mahasiswa sehari-hari.
Bentuk-bentuk tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.
Penyuapan, penyuapan berarti pemberian
hadiah baik dalam bentuk uang maupun kebaikan atau hal yang menyenangkan orang
lain dalam konteks untuk mendapatkan umpan balik berupa kemudahan, keuntungan
atau hal-hal yang membuat pemberi suap diuntungkan baik secara materil maupun immateril
2.
Penggelapan, kegiatan sembunyi-sembunyi
untuk mendapatkan sebuah hal yang berharga maupun berguna, terutama sebuah
tindakan yang pada dasarnya mendapatkan sesuatu namun tidak boleh diketahui
orang lain. Penggelapan ini bisa dalam bentuk mendapatkan informasi jawaban
ujian, penyelewengan, pencurian baik barang maupun non barang.
3.
Penipuan, yaitu kegiatan memalsukan
sesuatu agar dapat mengelabui orang lain, atau membuat orang lain tertipu
seolah-olah sesuai dengan yang diharapkan orang lain. Contohnya mencontek dalam
ujian, tugas, plagiarisme, membayar orang untuk menyelesaikan tugas dan hal
yang lainnya.
4.
Pemerasan, yiatu kegiatan memintai uang
atau non uang dengan sebuah ancaman, memberikan penawaran yang tidak bisa
ditolak, serta segala hal untuk mendapatkan keuntungan dari kelemahan orang
lain.
KESADARAN KRITIS
Istilah kesadaran kritis yang digunakan
dalam tulisa ini mengacu pada konsep yang dipopulerkan oleh tokoh pendidik
masyarakat dan organisator politik berkebangsaan Brasil Paulo Freire. Freire
juga disebut sebagai teoritikus pendidikan, filsuf, tokoh pendidikan yang
meletakkan dasar-dasar konsep pendidikan kritis dan pendidikan sebagai alat
untuk pembebasan serta transformasi sosial. Istilah kesadaran kritis merupakan
salah satu konsep dari Paulo Freire yang merupakan bagian dari pembahasan
mengenai apa yang disebutnya sebagai Conscientizacao.
Conscientizacao ini merupakan konsep
tingkat kesadaran dimana setiap individu mampu melihat sistem sosial secara
kritis (Smith, 2010 hlm.3). Konsep kesadaran menurut Freire ini membagi
tingkatan kesadaran individu kedalam tiga tahap, yakni kesadaran magis atau
disebutnya sebagai tingkat semi intransitif, kesadaran naif atau transitif, dan
tingkat kesadaran kritis.
Freire
mengontraskan kesadaran kritis seseorang di dalam sebuah sistem dengan dua
tingkat kesadaran lainnya yang lebih rendah. Kesadaran naif dicirikhasi dengan
perilaku orang yang terlalu menyederhanakan dan meromantisasikan realitas; dia
berusaha mereformasi individu-individu yang tidak adil dengan asumsi bahwa
sistem yang mewadahinya bisa bekerja secara tepat. Kesadaran magis adalah fase
dimana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistik dengan
sistem yang ada (Smith, 2010 hlm.3)
Konsep kesadaran menurut Freire ini
menunjukkan sebuah jenjang kesadaran masyarakat atau individual yang dimulai
dengan kesadaran fatalistik yang mengasosiasikan segala apa yang terjadi dengan
sebab-sebab magis yang tak bisa dijelaskan secara rasional. Pada tingkat
kesadaran ini individu menggantungkan hidupnya pada sesuatu yang transenden,
dan cenderung menerima segala apa yang dijalaninya sebagai sebuah “ketentuan”
atau “keharusan” dan tidak menyadari kausalitas sistem yang lebih besar.
Kesadaran magis atau semi-intransitif berarti dimana lingkungan persepsi
seseorang sangat terbatas, yang dimana dirinya tidak dapat menolak situasi
diluar wilayah kebutuhan biologisnya (Freire, 1974 hlm.13). Individu yang
berada dalam tingkat kesadaran magis, seluruh perhatiannya terfokus pada
pemenuhan kebutuhan hidup atau kebutuhan biologis tanpa dapat mempersepsi
kausalitas sistemik yang menyangkut kehidupannya secara langsung. Lebih lanjut
Freire (Smith, 2010 hlm.27) menjelaskan situasi ini sebagai berikut:
Orang-orang
yang memiliki kesadaran semi-intransitif (magis) tidak dapat menangkap
masalah-masalah yang disebabkan oleh selain kebutuhan biologis mereka.
Kepentingan mereka hampir sepenuhnya berkisar pada cara bertahan hidup, dan
mereka tidak memiliki sense of life yang lebih bersifat historis.
Tingkatan kesadaran berikutnya sebagai
tingkat yang lebih tinggi dari kesadaran magis adalah tingkat kesadaran naif
atau transitif. Ketika individu yang berada dalam kesadaran magis mulai dapat
memahami kausalitas kehidupan dalam sebuah sistem yang berkaitan erat, serta
mulai membuka pemahamannya tentang nasib dan kehidupan, maka individu meningkat
menuju kesadaran naif. Transisi pada kesadaran naif ini ditandai ketika
individu mulai dapat melakukan dialog dan mempertanyakan dunianya. Kesadaran
transitif membuat dirinya lebih dapat “ditembus” (Freire, 1974 hlm.14). Artinya
pikirannya mulai terbuka dan menyadari hal yang lebih luas daripada pandangan
sempitnya mengenai kehidupan. Kesadaran naif
atau transitif ini ditandai dengan penyederhanaan masalah, penjelasan
yang fantastis, argumentasi yang rapuh, kecenderungan kuat untuk berkelompok,
berpolemik daripada berdialog dan bagi pemikir naif, yang penting adalah
akomodasi terhadap keadaan yang sekarang yang normal (Freire, 1968; 1973, dalam
Smith, 2010, hlm.69-70). Pada individu yang tengah berada pada kesadaran naif
ini, mereka mulai menyadari bahwa ada sistem lain yang berpengaruh pada kehidupannya,
namun secara naif diketahui bahkan menganggap lebih baik tidak mengetahuinya.
Orang-orang
menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada
individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi
mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem dimana
mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dalam
realitas (Smith, 2010 hlm.69).
Tingkatan selanjutnya yang juga menjadi
fokus pada kajian ini ialah tingkat kesadaran kritis (critical consciousness/critical transitive).
Kesadaran krtis ini menekankan pada pemahaman dan analisa kritis terhadap
situasi sosial dan mengupayakan sebuah perubahan terhadap ketidakadilan. Pada
tingkatan kesadaran kritis, individu cenderung mempersepsi sebuah kondisi
dirinya maupun kondisi sosial secara lebih kritis dengan prinsip kausalitas.
Pada tahap ini seseorang dapat berfikir terbuka, tergerak untuk mengubah sistem
dan menolak untuk menjadi penindas atau pelaku ketidakadilan. Freire
menjelaskan karakteristis kesadaran kritis ini sebagai berikut:
Kesadaran
transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai
masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan
mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan
untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami
masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika
menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan
menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog
daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekadar karena
sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kunonya
karena sifat kekunoannya –yakni dengan menerima apa yang benar menurut
pandangan kuno dan baru (Smith, 2010 hlm.80).
Karakteristik kesadaran kritis yang
dijelaskan Freire diatas jelas menggambarkan sebuah situasi mental kesadaran
yang memahami dan mengaitkan segala bentuk kondisi sosial dengan hal-hal
kausalitas yang berhubungan. Seseorang yang memiliki kesadaran kritis memilih
untuk terbuka terhadap segala kemungkinan sebab akibat, juga menghindari
distorsi kognitif saat memahami sebuah permasalahan. Individu menyadari dan
memahami situasi kehidupannya sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan holistik.
Atas dasar pemahaman itu, individu menolak untuk menjadi pasif namun berupaya
untuk melakukan hal yang dapat mengubah sistem ketidakadilan menjadi lebih adil
dengan pemikiran dan analisa yang kritis. Freire (Landreman et.al., 2007
hlm.276) menggunakan istilah conscientizacao
yang berarti kesadaran kritis untuk mendeskripsikan proses perkembangan
pengetahuan dan keprihatinan personal pada keadilan sosial yang mengantarkan
pada sebuah tindakan untuk mengubahnya. Kesadaran kritis ini juga diartikan
sebagai belajar mempersepsi kontradiksi sosial, politik dan ekonomi dan
melakukan sebuah tindakan untuk melawan realitas yang menindas (Diemer et.al.,
2015 hlm.810). Kesadaran kritis ini juga mengacu pada analisis kritis pada
ketidakadilan sosial dan berpartisipasi untuk bertindak mengubah ketidakadilan
yang menjebak seseorang atau sekelompok orang pada ketidakadian sosiopolitis
(Diemer, Rapa, et.al., 2015 hlm.4).
Landreman et.al. (2007 hlm.276)
menyebutkan bahwa seseorang yang berada dalam kesadaran kritis menyadari: (a)
implikasi historis, politis, dan sosial dari sebuah situasi; (b) lokasi dan
konteks sosial sekitarnya; (c) penyimbangan-penyimpangan identitas multipelnya
(ras, sosioekonomis, gender); dan (d) pertentangan yang turun temurun antara
visi keadilan sosial dan realita kondisi sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran
kritis ini mencakup berbagai komponen seperti kesadaran kritis, refleksi
kritis, aksi kritis, efikasi politik, dan aktivisme kritis. Hal-hal yang
terkait pada kesadaran kritis adalam kemampuan mencerna segala situasi secara
kritis dan memanifestasikan kesadarannya dalam bentuk sikap maupun perilaku
untuk mengubah apa yang salah dan apa yang seharusnya. Secara operasional,
Diemer et.al, (2014 hlm.2) mendefinisikan kesadaran kritis dalam dua komponen
yakni refleksi kritis dan aksi kritis. Refleksi kritis ini terbagi pada dua sub
komponen: (a) analisis kritis pada ketidakadilan sosial, seperti ketidakadilan
etnis, gender, sosioekonomik yang berpengaruh pada kesempatan pendidikan dan
pekerjaan; (b) egalitarian, atau dukungan pada kesejajaran sosial. Carlson,
Engbretson, dan Chamberlain (Watts, et.al., 2011 hlm.49) menganalisis untuk
memahami refleksi kritis ini kedalam empat tahap yakni (1) adaptasi pasif; (2)
keterlibatan emosional; (3) kesadaran kognitif; (4) intensi untuk bertindak.
Komponen kedua adalah aksi kritis dimana seseorang atau kelompok berpartisipasi
bertindak menciptakan perubahan sosiopolitis. Komponen ketiga ditambahkan oleh
Watts et.al. (2011 hlm.46) yakni efikasi politis dimana individu memiliki
kapasitas pemahaman politis untuk mempengaruhi perubahan sosial dan politik
dengan aktivisme individual dan atau kelompok. Efikasi politik ini diiringi
dengan keinginan seseorang untuk terlibat pada aksi kritis untuk membuat sebuah
perubahan.
DINAMIKA KESADARAN KRITIS DAN
PERILAKU KORUPSI
Dalam kacamata hukum, korupsi merupakan
sebuah tindakan pidana luarbiasa (extraordinary
crime). Di Indonesia, untuk urusan
korupsi ditangani oleh lembaga khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan
tetapi, dalam kacamata sosial, korupsi dapat dikategorikan sebagai penindasan,
karena akibat dari korupsi yang sangat kompleks dan merugikan kehidupan masyarakat.
Korupsi tidak hanya terkait dengan pencurian atau penggelapan sejumlah uang,
korupsi dapat berbentuk penyalahgunaan kekuasaan dengan mengandalkan relasi
kuasa memafaatkan celah kekuatan masyarakat yang lemah untuk mendapatkan
keuntungan. Contoh yang paling simpel adalah menggunakan birokrasi yang memaksa
masyarakat untuk mengeluarkan uang agar kebutuhan sipilnya terlayani. Dalam
menggunakan sudut pandang Freire, hal ini dapat dikategorikan sebagai
ketidakadilan sosial (social inequity).
Bentuk kegiatan korupsi ini menjadi salah satu objek dari fungsi kesadaran
kritis yang dijelaskan melalui konsep conscientizacao.
Posisi penting kesadaran kritis dalam konteks ini ialah mengubah situasi
ketidakadilan sosial yang dalam hal ini kegiatan korupsi. Jika dikaitkan dengan
bentuk korupsi yang sama dengan penindasan sosial, maka peran penting kesadaran
kritis adalah untuk menyadarinya dan mengubahnya. Diemer (Garcia, 2016 hlm.1)
menyatakan bahwa hasil dari kesadaran kritis ini adalah bertambahnya kesadaran
akan penindasan struktural dan dukungan pada kondisi kesetaraan yang ideal. Hal
ini juga selaras dengan komponen utama dari kesadaran kritis dimana seseorang
tergerak untuk merespon ketidakadilan sebuah sistem (McWhirter & McWhirter,
2016 hlm.543).
Memahami korupsi, bukanlah perkara yang
mudah dicerna oleh pemahaman yang awam. Karena bentuknya yang sangat variatif,
terselubung namun laten. Memahami untuk mengubah keadaan yang koruptif ini
memerlukan sebuah analisa yang kritis dengan penafsiran yang mendalam dan
terbuka. Dalam situasi ini, kesadaran kritis sangat diperlukan karena menurut
Watts (2011, hlm.44) kesadaran kritis ini adalah bentuk belajar untuk
menganalisis secara kritis pada kondisi sosialnya serta bertindak untuk mengubahnya.
Bentuk kesadaran kritis ini jelas diperlukan agar sebagaimana karakteristik
kesadaran kritis ialah dimana seseorang menolak untuk menjadi penindas atau
dalam hal ini menolak untuk jadi koruptor, dan berupaya untuk melakukan sesuatu
agar korupsi tidak terjadi. Jika seseorang masih berada dalam kesadaran naif,
saat seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, maka
berkecenderungan untuk melakukannya meskipun menyadari bahwa korupsi itu tidak
benar.
Atas dasar pemahaman yang telah
diuraikan, maka ada sebuah hal yang dapat disimpulkan secara sementara, dimana
saat seseorang memiliki kesadaran kritis, maka seseorang cenderung untuk tidak
memiliki keinginan korupsi. Sebaliknya jika seseorang dengan tingkat kesadaran
kritis yang rendah, atau masih berada dalam kesadaran naif, kecenderungan untuk
melakukan korupsi menjadi tinggi. Analisa ini memunculkan sebuah dugaan bahwa
tingkat perilaku korupsi terkait dengan tinggi rendahnya tingkat kesadaran
kritis seseorang. Penulis memberikan dugaan bahwa ada hubungan kausalitas
antara kesadaran kritis dengan perilaku seseorang.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari proposal penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Kesadaran
Kritis dengan Perilaku Korupsi di Kalangan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada”, Matakuliah Metodologi Penelitian, Program PraPascasarjana Magister Psikologi, Universitas Gadjah Mada.
REFERENSI
Andvig,
J.C. & Fjeldstad, O.H.(2000). Research on Corruption: A Policy Oriented
Survey. Final Report. Chr.
Bergen/Oslo: Michelsen Institute & Norwegian Institute of International
Affairs.
Azhar,
M., et.al. (2003). Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership,
Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi.
Barr,
A. & Serra, D. (2009). Corruption and Culture: An Experimental Analysis. Journal of Public Economics, 94(2010):
862-869.
Diemer,
M.A., Rapa, L.J., et.al. (2014). Development and Validation of the Critical
Consciousness Scale. Youth & Society,
2014: 1-23.
Diemer,
M.A., et.al. (2015). Advances in The Conceptualization and Measurement of
Critical Consciousness. The Urban Review,
47(2015): 809-823.
Freire,
P. (1974). Education for Critical Consciousness. New York: Continuum.
Garcia,
M. (2016). Raising Critical Consciousness in Adolescents: An Evaluation of the
Fair Curriculum. Thesis. Colorado:
Department of Human Development and Family Studies, Colorado State University.
Heyneman,
S.P. (2004). Education and Corruption.
International Journal of Educational Development, 24(2004): 637-648.
ICW.
(2004). Tren Pemberantasan Korupsi 2014. [Online]. Divisi Investigasi dan Publikasi ICW. Tersedia: http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Kajian/Trend%20Korupsi%20Tahun%202014.pdf
[17 September 2016].
Landreman,
L.M., et.al. (2007). A Phenomenological Study of The Development of University
Educators’ Critical Consciousness. Journal
of College Student Development, 48(3): 275-296.
McWhirter,
E.H. & McWhirter, B.T. (2016). Critical Consciousness and Vocational
Development Among Latina/o High School Youth: Initial Development and Testing
of a Measure. Journal of Career Assesment,
24(3): 543-558.
Nordin,
R.M., et.al. (2013). Behavioural Factors of Corruption in The Construction
Industry. Social and Behavioral Sciences,
105(2013): 64-74.
Osipian,
A.L. (2007). Corruption in Higher Education: Conceptual Approaches and
Measurement Techniques. Research in
Comparative and International Education, 2(4): 313-332.
Osipian,
A.L. (2008). Corruption in Higher Education: Does It Differ Across The Nations
and Why?. Research in Comparative and
International Education, 3(4): 345-365.
Rumantseva,
N.L. (2005). Taxonomy of Corruption in Higher Education. Peabody Journal of Education, 80(1): 81-92.
Ryvkin,D.
& Serra, D. (2012). How Corruptible Are You? Bribery Under Uncertainty. Journal of Economic Behavior &
Organization, 81(2012): 466-477.
Salama,
N. (2014). Motif dan Proses Psikologis Korupsi. Jurnal Psikologi, 41(2): 149-164.
Smith,
W.A. (2001). The Meaning of Concscientizacao, The Goal of Paulo Freire’s
Pedagogi. Massachusetts: Center of International Education, University of
Massachusetts Amhers. Terjemahan A.Prihantoro. 2010. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Cetakan II.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Watts,
R.J., et.al. (2011). Critical Consciousness: Current Status and Future Directions.
Dalam C.A. Flanagan & B.D. Christens (Eds.), Youth Civic Development: Work
at the Cutting Edge. New Directions for
Child and Adolescent Development, 134, 43-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar