Ketika kita bertanya
tentang posisi Guru di Indonesia, Apakah guru itu buruh atau pengabdi?
Jawabannya mesti satu, Guru adalah aset negara. Kenapa demikian? Karena sudah
jelas, sejak awal mesti difahami tugas guru bukanlah kacung negara, bukan pula
bekerja pada yang membayar, guru adalah garda terdepan pembangun bangsa. Hal
ini perlu sering ditekankan, untuk menghilangkan jargon-jargon lama bahwa guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa, atau pengabdi yang tulus hati. Guru, adalah
ujung tombak dari visi-visi kemajuan bangsa.
Berbeda jika dikatakan
guru hanyalah pahlawan tanpa tanda jasa, Guru sebagai aset negara membuat
pemerintah memiliki kewajiban untuk memeliharanya. Pemerintah seperti halnya
aset negara lainnya, sepatutnya memberikan perawatan, memelihara kualitas,
serta memberikan dana yang cukup agar aset negara ini tetap berjalan sesuai
fungsinya.
Pendidikan, jika bagi
rakyat adalah hak, bagi pemerintah adalah kewajiban. Konsekuensi logis dari
yang punya kewajiban, ia harus menyediakan hal yang sepatutnya diberikan kepada
pemilik hak. Rakyat indonesia, berhak mendapatkan pendidikan, dan konteks
pendidikan ini tidak diartikan sembarang. Yang dimaksud pendidikan adalah,
upaya membangun kepribadian, mempertajam kecerdasan, dan memperhalus perasaan
bangsa yang di didik.
Upaya itu bukanlah upaya
sepele dan murah. Pemerintah perlu dan berkewajiban menyediakan kualitas
pendidikan sebaik-baiknya bagi rakyat indonesia. Sehingga, pemerintah
berkewajiban pula menginvestasikan dana yang dihimpun dari pajak masyarakat,
untuk merancang dan menyajikan sebuah sistem pendidikan dengan kualitas yang
sepadan dengan kebutuhan negara. Sistem tak hanya berbentuk regulasi,
didalamnya juga komponen-komponen kebutuhan pendidikan, harus yang
sebaik-baiknya: termasuk Gurunya.
Implikasi dari amanat
undang-undang tentang kewajiban negara memberikan pendidikan bagi bangsa,
adalah juga kewajiban pemerintah memelihara kualitas guru termasuk nasibnya.
Guru, adalah aset negara dalam kewajibannya menyelenggarakan pendidikan.
Sehingga, maintenance termasuk mengenai kesejahteraanya adalah juga harus
menjadi perhatian utama. Jangan sampai, pemerintah melulu berfokus mengurusi
upah buruh, tapi lupa kewajiban meningkatkan kesejahteraan aset negara ini.
Gaji guru yang diterima,
seharusnya tak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup layaknya. Melainkan hingga
pada cukup untuk memenuhi peningkatan pengetahuan, kompetensi dan
pengalamannya. Sehingga dengan hal itu, masyarakat mendapatkan kualitas
pendidikan yang bagus sebagai haknya. Jangan berhalusinasi, ingin punya
pendidik berbiaya murah namun ingin kualitas pendidikan yang juara. Keduanya
harus seimbang dan setara.
Jika jargon pemerintah
sekarang ini adalah revolusi mental, pertanyaannya siapa agen terdepan
mewujudkan visi ini? Jelas yang paling strategis adalah para guru yang
bersentuhan langsung dengan pembangunan mental rakyat. Guru, adalah ujung
tombak negara untuk membangun dan merevolusi mental masyarakat Indonesia.
Sejuta buruh sejahtera, menyumbang perekonomian sementara. Sejuta guru
sejahtera, menyumbang kemajuan bangsa hingga ujung masa. Hal ini menandakan
bahwa negara tak boleh abai memperhatikan guru Indonesia.
Pemerintah Indonesia,
harus segera sadar dan memiliki political will untuk berinvestasi pada
pendidikan. Pendidikan, sebagai bagian penting dari pembangunan sumberdaya
manusia, tak pernah tidak menguntungkan pada kemajuan bangsa. Lihat
negara-negara yang tengah menjadi raja dunia, mereka berada di garis depan
bukan karena kekayaan, tapi karena kualitas sumberdaya manusianya. Kekayaan,
akan senantiasa mengikuti jika kualitas manusia terbentuk dengan baik.
Oleh karena itu,
perlakukan guru sebagai aset negara yang penting dipelihara dan elemen
pendukung kemajuan bangsa. Sudahlah berhenti menstratifikasi guru dengan
sebutan guru honorer dan guru pegawai negara. Pada hakikatnya, guru adalah
harus menjadi milik negara karena jelas menjalankan fungsi negara membangun
peradaban bangsa. Guru adalah guru, yang tak harus berada dalam pusaran
mekanisme pasar.
Guru bukanlah pencari kerja atau prodak pasar yang siapa saja bisa membelinya. Saat ini kondisinya jelas demikian, guru seperti barang yang dari hasil pendidikan lalu dilempar ke pasar. Sehingga, pasar yang menentukan apakah guru itu dipakai atau tidak. Guru, sejak diterimanya untuk di didik, hingga siap menjadi agen pembangun bangsa, harus dipelihara negara.