Lagi-lagi,
kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan mempersulit dan
semakin menekan siswa. Hari ini (17/12), media ini memberitakan rencana dari
kementrian untuk mempersulit Ujian Nasional SMA/SMK dengan menambah soal
predikitif. Kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Teuku Ramli
Zakaria, hal ini untuk mengakomodasi kehendak pemerintah. Pernyataan ini
terlihat sungguh tidak empatik terhadap peserta didik. Selama ini,
kebijakan-kebijakan selalu saja berusaha mengakomodasi “kehendak” penguasa. Seolah,
peserta didik hanya seperti objek dari setiap kebijakan yang egois.
Penulis
tidak habis pikir, apa sebenarnya yang di inginkan dari kebijakan ini? Selalu
saja, efektifitas dan efisiensi menjadi legitimasi pemerintah untuk mengambil
keputusan politis terhadap proses pendidikan. Akhirnya pendidikan dan peserta
didik menjadi korban dari keegoisan kebijakan. Padahal, jika dikaji lebih
mendalam, masih mempertahankan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan saja,
sudah jelas tidak efektif dan efisien. Setidaknya efektif dan efisien menurut
kacamata pendidikan.
Kebijakan
menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional, tentu sangat tidak bijak dan sangat
tidak berdasar. Praktik ujian nasional yang selama ini telah berjalan saja
sudah sangat membuat siswa mengalami distress yang sangat tinggi. Sekarang,
muncul lagi “kehendak” untuk lebih menekan siswa melalui praktik ilegal itu.
Bisa-bisa, nantinya siswa akan mengalami gejala-gejala depresi yang sangat
berbahaya.
Dari
berbagai penelitian, banyak yang menyatakan bahwa distress yang berkepanjangan
dalam proses pendidikan menghantarkan siswa untuk mengalami kejenuhan belajar.
Jika dibiarkan, kejenuhan belajar yang dihasilkan dari tekanan ujian nasional
ini akan berdampak pada timbulnya gangguan kejiwaan. Salah satunya dari
pendapat Salmela-Aro (2008) yang menyatakan bahwa kejenuhan belajar diantara
remaja pertengahan dan remaja akhir (usia sekolah menengah atas) harus
diberikan perhatian serius karena dapat menggiring pada depressive symptoms (gejala depresi).
Hal
ini jelas, bahwa kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional tidak
berdasar pada kajian psikologis siswa. Lalu darimanakah para pengambil
kebijakan dalam pendidikan berpijak? Apakah dari hasil penelitian? Atau hanya
sekedar kebijakan nonsense saja dan memang sangat bernuansa politis? Sungguh
sangat tidak bijak jika pengampu kebijakan mengotak-atik pendidikan demi
kepentingan-kepentingan proyek atau politis.
Atau
mungkin kebijakan ini dari hasil pantauan kemendikbud atas hasil-hasil semu
semata? Sebagai contoh, jujur penulis tergelak saat Kemendikbud berbangga hati
atas survei Organization Economic Cooperation and Development (OECD) dalam
Program for International Student Assessment (PISA) yang menyatakan siswa
Indonesia paling bahagia pertama di dunia. Kebanggan yang naif ini sungguh
memperlihatkan bahwa Kemendikbud tidak paham persoalan pendidikan sebenarnya.
Sudah
jelas, jika siswa ditanya apakah mereka bahagia di sekolah, tentunya mengatakan
bahagia. Karena sekolah adalah satu-satunya tempat dimana siswa dapat
melepaskan diri dari tuntutan kehidupan
nyata. Ada banyak sekali faktor yang membuat siswa bahagia di sekolah, mulai
dari guru yang jarang datang, mudahnya membulying, belajar hanya sekedar
formalitas, kegiatan nyontek massal yang dibenarkan, hingga berbagai proses
pelajaran menghayal yang jauh dari kenyataan kehidupan.
Dalam
konteks belajar, bahagia bukanlah ukuran, terlalu sederhana jika belajar hanya
sekadar bahagia. Yang patut dibanggakan adalah ketika siswa mengalami kondisi enggagement dalam proses belajar.
Kondisi engagement dalam belajar ini
menurut Wilmar B Schaufeli
(2002) didefinisikan sebagai kondisi yang positif, penuh energy, dan terhubung
antara fikiran dengan pekerjaan yang berkarakteristik giat (vigor), berdedikasi (dedication), dan menyenangkan (absorption).
Jika
mau memetakan kondisi siswa, kemendikbud harus mengukur tingkat enggagement siswa ini, tidak hanya
sekadar mengapresiasi kebahagiaan. Penulis yakin, siswa tak mengalami kondisi
ini disekolah, karena sudah jelas, secara teoritis kondisi distres dan
kejenuhan berbanding terbalik dengan kondisi enggagement ini. Kebijakan untuk mempersulit UN akan semakin
menjauhkan siswa dengan kondisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar