Oleh : Isman Rahmani
Yusron
1.
Kata dan Pemrosesan Informasi
Pada percakapan sehari-hari, gaya
berbahasa seseorang dalam berkomunikasi begitu unik dan khas. Terutama terkait
dengan budaya di Indonesia yang beragam, berbagai bentuk pengungkapan berbahasa
yang sangat bervariasi. Saat berkomunikasi, tergantung pada konteks tertentu
seseorang dapat menggunakan bahasa sopan, bahasa pergaulan, bahasa slang,
bahkan hingga menggunakan bahasa sarkasme. Secara umum, masing-masing individu
saat mengungkapkan maksud pembicaraannya, ada yang diungkapkan secara langsung
dan jelas agar yang diajak bicara mudah menangkap maknanya, ada juga yang
melalui ungkapan-ungkapan tidak langsung atau melalui berbagai perumpamaan agar
yang diajak bicara dapat menafsirkan sendiri maknanya dan memahaminya.
Pada akhirnya, berkomunikasi tidaklah
terbatas pada proses mentransfer bunyi suara dari kata-kata, lebih jauh dari
itu terdapat transformasi makna pada suatu bentuk pengertian tertentu. Bahkan
secara ekstrem, ada ungkapan words don’t mean, people mean, yang
menunjukkan bahwa kata-kata hanyalah simbolisasi maksud akan tetapi melalui
simbol itulah individu membangun makna dan pengertian. Proses ini, bukan lagi
persoalan linguistik semata, lebih jauh merupakan kajian menarik dalam ilmu
psikologi. Stimulus kata-kata yang diucapkan lawan bicara, diproses secara
mental dan otak mencernanya dengan menyatukan berbagai informasi hingga
terbangun makna pemahaman tertentu sebagai bahan untuk merespons stimulus
tersebut. Misalnya, saat lawan bicara mengatakan “mobil”, otak merespon dengan
mencari asosiasi kata tersebut dalam memori tentang sebuah benda dengan bentuk
tertentu dan memiliki ciri tertentu. Sehingga, melalui proses itu tergambar
maksud pembicaraan lawan bicara dan terbangun pemahaman secara keseluruhan
tentang isi pembicaraan.
Kata atau kalimat yang memiliki
makna yang jelas dan lugas, akan secara langsung direspon otak sesuai dengan
makna ucapannya. Otak tidak menerjemahkan kembali maksud diluar dari makna
ucapan karena secara jelas merujuk pada informasi tertentu. Bagian otak yang
memproses kata-kata, mengolah lebih mudah makna yang terkandung dalam kata yang
diungkapkan dan secara langsung terbangun pengertian dari keseluruhan kalimat.
Secara konseptual, proses bagaimana otak mencerna kata-kata dan konsepnya
disebut sebagai mental lexicon, proses mental mengenai penyimpanan
informasi mengenai kata-kata yang mencakup informasi semantik (makna kata),
informasi sintaktik (bagaimana kata dikombinasikan menjadi bentuk kalimat), dan
bentuk detail dari kata (pengucapan dan pola suaranya) (Gazzaniga, Ivry,
& Mangun, 2015).
Sekilas, atau secara mudah
disimpulkan bahwa ketika kalimat yang diucapkan lawan bicara menyebutkan
kata-kata langsung –tanpa makna luas dibaliknya, proses mental yang terjadi di
dalam otak berlangsung tidak terlalu kompleks. Otak hanya mencatut kembali
informasi-informasi sebelumnya mengenai kata-kata tersebut dan menyusunnya jadi
suatu pengertian tertentu. Akan tetapi beda halnya jika, kalimat yang diucapkan
lawan bicara tidak sesuai dengan makna sebenarnya atau bahkan kebalikan dari
makna yang sebenarnya. Tentunya pada pemrosesan kata-kata jenis tersebut, ada
proses membangun makna yang melibatkan pemahaman konseptual terkait konteks
tertentu. Misalnya ketika seseorang memakai baju warna hitam, lalu lawan bicara
berkomentar dengan kalimat “wah, sepertinya kamu sedang berkabung ya?”.
Padahal dalam konteks saat itu, ia tak mengalami pengalaman menyedihkan atau
berkabung, akan tetapi yang diajak bicara akan dapat memahami bahwa komentar
lawan bicara bukan mengenai konteks pengalaman, melainkan komentar tentang
warna baju yang digunakan. Bagaimana kata-kata yang tidak bermakna sebenarnya
dapat diproses menjadi pemahaman tertentu dan langsung mengaitkannya dengan
warna baju yang sama sekali tidak berhubungan secara arti kata? Tentunya otak
lebih kompleks mencernanya dibandingkan dengan mendengar kata-kata “kok
memakai baju warna hitam?”.
Bentuk ungkapan komunikasi secara
tidak langsung ini, membutuhkan pemrosesan yang kompleks dan penuh kesadaran.
Komunikan setelah menangkap pesan, harus menafsirkan lebih dari sebatas makna
aslinya bahkan melibatkan proses kognitif yang kompleks. Pada saat seseorang
bertanya, “Siapa namamu?”, respon individu bahkan tidak memerlukan
kesadaran yang penuh, dapat menjawabnya. Namun berbeda ketika hal itu
diungkapkan dengan “Kamu sudah terkenal?” dalam konteks baru bertemu
orang yang baru, maka yang diajak bicara akan melibatkan kesadaran penuh untuk
memaknai pertanyaan tersebut dan sampai pada pemahaman bahwa dirinya belum
mengenalkan diri atau menyebutkan nama. Seperti contoh sebelumnya, ketika
mendengar “sepertinya kamu sedang berkabung?”, otak akan memproses
secara sadar dan melibatkan kompleksitas kognitif pada pencarian informasi yang
terkait dengan makna “berkabung”. Makna kata tersebut dekat dengan
kesedihan, dan dalam konteks budaya tertentu (bahkan universal?), kesedihan
atau berkabung identik dengan simbol “hitam”, dan lalu otak secara sadar menginspeksi
informasi dalam memori terkait dengan simbol tersebut. Kemudian, antara makna “berkabung”,
dikaitkan dengan ingatan tentang pakaian yang digunakan yaitu pakaian serba
warna hitam yang juga terkait dengan informasi pakaian yang biasanya digunakan
saat berkabung.
Kompleks dan tidaknya suatu pesan
komunikasi di proses dalam otak, menimbulkan pertanyaan menarik: apakah ketika
yang seseorang mengungkapkan dan menerima pesan yang diungkapkan secara tidak
langsung (perumpamaan, sindiran, ironi, sarkasme) yang berefek pada pemrosesan
kognitif yang lebih kompleks, akan menimbulkan efek terhadap performa
kognitifnya? kemampuan analitis atau bahkan kreatifitas misalnya? Ungkapan yang
sering dilontarkan seseorang yang membutuhkan pelibatan kompleksitas kognitif
pada pemrosesannya adalah ketika seseorang mengungkapkan kalimat sarkasme.
Sarkasme, seringnya menggunakan kalimat yang bermakna tidak sebenarnya, bahkan
kebalikan dari makna sebenarnya, yang berarti dalam menyusun kalimat dan juga
menafsirkan kalimat sarkasme ini membutuhkan pemrosesan kognitif tingkat tinggi.
Sarkasme, menurut KBBI (“Hasil
Pencarian - KBBI Daring,” n.d.) diartikan sebagai penggunaan
kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar.
Menurut Kamus Oxford (“sarcasm
| Definition of sarcasm in English by Oxford Dictionaries,” n.d.), sarkasme merupakan
penggunaan ironi untuk mengejek atau mengolok-olok atau menyampaikan pesan
ketidaksukaan. Antara sakasme yang berada dalam tata bahasa Indonesia, lebih
pada ungkapan kasar dan kata kata pedas, berbeda dengan pengertian dalam
menurut kamus Oxford yang menekankan penggunaan Ironi. Sarkasme yang dibahas
dalam konteks tulisan ini, terkait dengan tata bahasa majas Ironi, namun untuk
menyejajarkan dan memudahkan maksud dalam pembahasan, kata Sarkasme yang
digunakan adalah mengenai penggunaan majas Ironi. KBBI mengartikan Ironi
sebagai “majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna
sesungguhnya, misalnya dengan mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna
yang sebenarnya dan ketidaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan
yang mendasarinya”. Pengertian Ironi ini setara dengan pengertian kata sarcasm
dalam konteks bahasa Inggris.
2.
Sarkasme dan Fungsi Kognitif
Beberapa penelitian menyebutkan,
bahwa sarkasme, atau penggunaan kalimat ironi dalam percakapan, mencerminkan
fungsi kognitif yang baik. Sarkasme, disamping sisi buruknya dapat menimbulkan
konflik karena mengandung kata yang menyakiti secara makna, juga memiliki
pengaruh yang positif terhadap fungsi kognitif seseorang. Sebagaimana
karakteristik dari sarkasme, adalah penggunaan majas kompleks yang mencari
bentuk kata lawan dari situasi yang sebenarnya, bermakna luas dan mengandung emotional
trigger. Sarkasme memang seringnya digunakan untuk mencari kata yang
terlampau halus, namun bermakna kasar, yang didalamnya terkandung sindiran dan
serangan langsung pada lawan bicara. Membangun kalimat sarkas yang tepat dan
mengandung serangan yang tepat sasaran bukanlah perkara pemrosesan bahasa yang
mudah. Pembentukannya melibatkan kompleksitas kognitif dan kreatifitas yang “cerdas”.
Membentuk kalimat sarkas dalam
pikiran, tidak sesederhana ketika mengucapkan kalimat biasa, lebih dari itu
pelibatan konteks situasi, pencernaan emosi, penyederhanaan bentuk cacian dalam
bentuk lain yang lebih padat, namun didalamnya terdapat makna yang lebih luas
daripada sebatas kata-kata. Maka tidak heran kiranya, studi yang dilakukan oleh
Huang, Gino, &
Galinsky (2015)
menyebutkan bahwa sarkasme seperti dua mata pedang: disamping berperan memicu
konflik, sarkasme juga dapat menjadi katalis dari kreatifitas. Pada kalimat
pertama penelitian ini, peneliti menyitir ucapan dari Oscar Wilde, “Sarkasme
merupakan bentuk terendah dari kejenakaan, namun bentuk tertinggi dari
kecerdasan”. Apa yang ingin dikatakan peneliti adalah, bahwa memang
penggunaan sarkasme adalah hal yang riskan dan memicu konflik, tapi melontarkan
sarkasme merupakan cara cerdas untuk membalut cacian agar lebih tepat sasaran.
Sarkasme sendiri, bagi penerima pesan, membutuhkan proses pencernaan yang tidak
sederhana, melainkan membutuhkan kesadaran tinggi untuk memahami sehingga
ketika sampai pada pengertian maknanya akan langsung berbentuk makna yang
menyakiti hati.
Pada penelitian ini, Huang, Gino,
& Galinsky berhipotesis bahwa antara mengekspresikan dan menerima kalimat
sarkasme, terlepas dari kontennya, dapat memfasilitasi kreatifitas melalui
peningkatan pemikiran abstrak (Huang et al.,
2015).
Hipotesis peneliti mengenai hubungan antara sarkasme dan kreatifitas, bersandar
pada penelitian Miron-Spektor,
Efrat-Treister, Rafaeli, & Schwarz-Cohen (2011), yang menginvestigasi
pengaruh mengobservasi sarkasme pada kreatifitas dan berpikir kompleks. Menurut
Smith & White (Miron-Spektor et
al., 2011)
memahami ekspresi sarkastik membutuhkan upaya kognitif yang lebih dan berpikir
lebih kompleks daripada memahami kemarahan secara langsung. Terbukti dalam
hasil penelitian ini, mengobservasi sarkasme meningkatkan penyelesaian masalah
kreatif, bahkan terbukti bahwa performa dalam penyelesaian masalah analitik
lebih baik secara signifikan (p<.01) (Miron-Spektor et
al., 2011).
Penelitian ini yang menjadi sandaran penelitian Huang, Gino, & Galinsky,
dimana sarkastik yang mengungkapkan “kalimat positif secara literal untuk
mengomunikasikan pesan negatif”, dapat meningkatkan kreatifitas baik itu
penerima maupun yang mengekspresikannya. Secara spesifik, peneliti mengajukan
bahwa sarkasme dapat menstimulasi kreatifitas, membangkitkan ide, wawasan (insight),
atau solusi masalah yang baru dan berguna, baik itu yang mengekspresikan
sarkasme maupun yang menerimanya (Huang et al.,
2015).
Terdapat lima hipotesis yang
hendak dibuktikan dalam penelitian ini, pertama, mengekspresikan atau
menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) meningkatkan konflik (sense
of conflict); kedua, mengekspresikan atau menerima pesan sarkastik
(vs ramah atau netral) meningkatkan kreatifitas; ketiga, mengekspresikan
atau menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) meningkatkan pemikiran
abstrak (abstract thinking); keempat, efek positif dari
mengekspresikan dan menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) pada
kreatifitas dimediasi melalui meningkatnya pemikiran abstrak; dan kelima, efek
positif dari mengekspresikan dan menerima pesan sarkastik (vs ramah atau
netral) pada persepsi konflik akan tereduksi ketika individu mengekspresikan
dan menerima pesannya dari seseorang yang mereka percaya.
Pada studi ini, 112 orang Amerika
dilibatkan (66 laki-laki, 46 perempuan; usia 21-62, M=34.21, SD=10.39), dengan
bayaran 2 dollar secara acak berperan sebagai yang mengekspresikan sarkasme,
menerima pesan sarkasme, penerima keramahan, dan kondisi kontrol. Pada
eksperimen pertama, partisipan diberikan simulasi percakapan untuk memanipulasi
pengalaman mengekspresikan dan menerima sarkasme atau keramahan, dimana
partisipan merespon dengan komentar yang tersedia dengan yang paling pertama
muncul dalam pikiran. Setelah simulasi, partisipan melengkapi tugas
kreatifitas, menggunakan Remote Association Task (RAT) untuk mengukur
kreatifitas. Skala konflik, mood, juga diukur setelah simulasi. Selanjutnya,
partisipan sendiri mengecek manipulasi yang diberikan, dengan melaporkan
tingkatan sarkasme dan ironi dalam setiap percakapan simulasi, dan karena
sarkasme juga mengandung humor dan kelucuan, mereka juga memberikan rating pada
aspek ini.
Hasil pada eksperimen pertama ini
menunjukkan, partisipan yang mengekspresikan sarkasme secara signifikan lebih
banyak menyelesaikan dengan benar pada tes kreatifitas (RAT) dibandingkan
dengan yang mengekspresikan keramahan (t(39)=2.99, p=.005, d=.93).
Partisipan juga, secara signifikan menyelesaikan RAT lebih banyak dengan benar
pada mereka yang menerima pesan sarkasme daripada yang mengekspresikan dan
menerima pesan keramahan (t(47)=2.35, p=.023, d=.68). Pada
eksperimen pertama ini, peneliti berhasil membuktikan hipotesisnya yang pertama
dimana, menerima dan mengekspresikan pesan sarkasme, dapat meningkatkan
kreatifitas. Selain mendukung hipotesis penelitian, data ini mengonfirmasi
penelitian sebelumnya mengenai keterkaitan antara pengekspresian dan menerima
pesan sarkasme memiliki hubungan dengan performa kognitif seseorang yang dalam
konteks ini adalah kreatifitas. Secara spesifik, temuan penelitian ini
memberikan data ilmiah, dimana mengekspresikan atau menerima pesan sarkasme,
menggiring seseorang untuk mengalami perasaan konflik lebih besar namun juga
meningkatkan kreatifitas dibandingkan mengekspresikan atau menerima pesan
keramahan ataupun percakapan netral (Huang et al.,
2015).
Lebih jelas, hasil eskperimen ini disajikan dalam tabel berikut:
Untuk mendapatkan hasil yang lebih
meyakinkan, peneliti mendesain eksperimen kedua yang memiliki bentuk sama namun
melalui manipulasi dan pengetesan kreatifitas yang berbeda. Pada eksperimen 2
ini, partisipan diminta mengingat dan mereka ulang pengalaman sarkasme yang
pernah dilakukan. Kelompok partisipan yang mengekspresikan sarkasme dan
menerima sarkasme diminta untuk mereka ulang, menjelaskan kembali, menceritakan
secara detail apa yang terjadi, hingga apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Begitupun dengan kelompok pengekspresi dan penerima keramahan, namun kelompok
kontrol hanya ditanya mengenai percakapan terakhir mereka, dengan siapa dan apa
yang diceritakan. Untuk mengukur kreatifitas, partisipan menyelesaikan Duncker
Candle Problem (Duncker, 1945), tugas penyelesaian masalah yang memerlukan
langkah kreatif, dan mereka diminta menjelaskan penyelesaiannya dengan
kata-kata. Aspek lain seperti mood implisit, konflik, dan mood eksplisit juga
diukur melalui skala.
Hasil eskperimen kedua,
menunjukkan bahwa partisipan yang mengekspresikan sarkasme, secara signifikan
lebih banyak menyelesaikan permasalahan pada tes kreatifitas (64%) daripada partisipan
yang mengekspresikan keramahan (26%). Pada eksperimen ini juga, ditemukan hasil
dimana partisipan yang menerima pesan sarkasme secara signifikan lebih banyak
menyelesaikan permasalahan pada tes kreatifitas (75%) daripada yang menerima
keramahan. Hasil ini mendukung hipotesis 2, sekaligus mengonfirmasi eksperimen
yang pertama. Berdasarkan dua eksperimen tadi, sedikit banyak menjelaskan
mengenai keterkaitan dan pengaruh secara langsung dari mengekspresikan
pesan-pesan sarkasme dan menerimanya, meningkatkan performa kognitif individu
yang dalam konteks ini adalah kreatifitas. Lebih jelas, data hasil penelitian
Huang, Gino, & Galinsky (2015) pada eksperimen kedua, digambarkan dalam
grafik berikut:
Data lain dalam penelitian ini
muncul yakni, partisipan yang berada pada kondisi mengekspresikan sarkasme
terkait secara signifikan memiliki pemikiran abstrak lebih dibandingkan dengan
penerima keramahan (t(42)=2.38, p=.02, d=.72). Partisipan
juga terkait signifikan memiliki pemikiran abstrak yang lebih pada mereka yang
dalam kondisi menerima sarkasme daripada mereka yang menerima keramahan (t(48)=2.93,
p=.005, d=.83). Berdasarkan data ini, Hipotesis ke-3 didukung,
dan membuktikan kembali fungsi dari sarkasme baik itu mengekspresikan maupun
menerima, mempengaruhi performa kognitif individu.
3.
Kajian Neurologis Ungkapan Sarkasme
Sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, data penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara
pengekspresian ungkapan sarkasme dengan performa kognitif yang kompleks pada
individu. Meski tergambarkan dalam penelitian melalui data-data yang mendukung
hipotesis penelitian serta metode yang sistematis, namun perlu juga digali
lebih lanjut mengenai bagaimana mekanisme ekspresi ungkapan sarkasme berkaitan
dengan fungsi kognitif di otak. Perlu digali lebih lanjut, fakta penelitian
yang empirik mengenai keterkaitan dua hal tersebut, dengan penggambaran dari
sisi neurologis di otak. Mengenai hal ini, Uchiyama et al., (2012) melakukan studi mengenai
gambaran melalui Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) pada saat
seseorang mengungkapkan metafora dan sarkasme.
Pada studi ini, peneliti
mempertimbangkan bahwa untuk memahami ungkapan figuratif seperti metafora dan
sarkasme, pendengar mesti melakukan antara menilai makna literal dari suatu
pernyataan sekaligus menyimpulkan maksud makna dari pembicara (Uchiyama et al.,
2012).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mengekspresikan kalimat sarkasme dan
juga menafsirkan ungkapan tersebut, tidak sebatas memahami dan menyebutkan kata
secara semantik atau sintaktik, melainkan perlu penafsiran makna yang lebih
kompleks. Pemahaman dari suatu ungkapan, juga memerlukan pengertian dari
intensi pembicara dalam lingkup konteks sosial (pragmatik), dan ironi merupakan
bentuk pragmatik yang digunakan dalam menyampaikan perasaan dengan cara tidak
langsung (Uchiyama et al.,
2012).
Penelitian ini mencoba untuk
menelisik area mana dalam otak yang terkait pemrosesan ungkapan metafora dan
sarkasme. Melalui gambaran fMRI ketika seseorang dimanipulasi untuk memproses
ungkapan figuratif ini, maka akan terlihat area yang terlibat dalam pemrosesan
ungkapan metafora dan sarkasme. Penelitian ini menyandarkan pada penelitian sebelumnya,
yakni penelitian yang dilakukan oleh Shamay et al tahun 2002, yang menyebutkan
bahwa kerusakan di area prefrontal berasosiasi dengan gangguan kemampuan
empatik dan ketidakmampuan interpretasi ungkapan ironik. Selain itu Uchiyama
pada tahun 2006, melakukan studi melalui fMRI, ketika diberikan tugas
mendeteksi sarkasme dalam vignettes tertulis, ua menemukan aktivasi dari
jaringan mentalizing. Jaringan
ini mencakup medial frontal cortex (MFC), lateral orbitofrontal cortex kiri,
temporal korteks, dan superior temporal sulcus (STS). Berdasarkan studi ini
saja, dapat tergambar apa saja yang terlibat secara langsung ketika seseorang
mendeteksi sarkasme: MFC yang terkait dengan monitoring-conflict
sekaligus penyesuaian kontrol kognitif, outcome evaluation, prediksi
eror atau penghindaran eror, analisisis resiko dan keuntungan, dan regulative
control atau pemilihan tindakan (Ridderinkhof,
Nieuwenhuis, & Braver, 2007). Begitupun lateral orbitofrontal yang menurut studi
dari Shimamura (Hooker &
Knight, 2006)
terbukti berpartisipasi dalam kontrol eksekutif dari pemrosesan informasi dan
ekspresi perilaku dengan menginhibisi aktivitas neural yang berasosiasi dengan
informasi, sensasi atau aksi yang tidak relevan, tidak diinginkan, atau tidak
nyaman.
Meski telah dapat tergambar
asosiasi neurologis pada saat terjadi pemrosesan sarkasme, penelitian Uchiyama et al. (2012) ini mencoba melihat perbedaan
pada saat memproses ungkapan metaforik dan ungkapan sarkasme. Eksperimen
dilakukan kepada 20 partisipan (10 laki-laki dan 10 Perempuan), yang diberikan
cerita yang menyampaikan informasi pragmatik, yakni metafora yang secara
literal koheren makanya, metafora yang tidak koheren, sarkasme yang koheren,
dan sarkasme yang tidak koheren maknanya dengan literal. Pada studi ini,
peneliti berasumsi bahwa pemahaman dari bahasa pragmatik seperti metafor dan
sarkasme mencakup penilaian dari koherensi literal dalam hal proses pragmatik
yang spesifik (Uchiyama et al.,
2012).
Ketika diberikan eksperimen, data gambaran magnetis direkam untuk dianalisis
datanya disesuaikan dengan data pendukung lainnya.
Hasil studi ini menunjukkan, efek
metafor ditemukan dalam medial prefrontal korteks, caudate nucleus, anterior
cingulate cortex, thalamus, piriform cortex, dan ventral tegmenal area. Efek
sarkasme menunjukkan di dua kluster yang berlokasi di medial prefrontal cortex
(mPFC) dan amygdala kiri, memanjang ke kutub temporal dan putamen (Uchiyama et al.,
2012).
Dalam sebuah studi lain yakni Euston, Gruber,
& McNaughton (2012),
medial prefrontal cortex selain berkaitan erat dengan fungsi pengambilan
keputusan, monitoring konflik, deteksi eror, kontrol eksekutif; mPFC juga
berkaitan dengan belajar asosiasi diantara konteks, lokasi, peristiwa, dan
korespondensi respon adaptif dan respon emosional tertentu, juga memori (Euston et al.,
2012).
Data ini menggambarkan bahwa pada saat pemrosesan informasi sarkastik, fungsi
kognitif yang berkaitan dengan pemilihan tindakan yang mempertimbangkan banyak
hal seperti penghindaran konflik, lalu deteksi kesalahan, juga berkaitan dengan
konteks, akan aktif dan hal ini menjadi modal untuk individu menghasilkan
tindakan yang genuine, baru dan kreatif.
Lebih spesifik, temuan Uchiyama
beserta koleganya berdasarkan analisa konjungsi, munculnya metafora dan
sarkasme secara umum mengaktifkan anterior rostral medial frontal cortex
(arMFC). Hal ini menurut Uchiyama et al, bagian neural dari pemahaman pragmatik
menunjukkan lebih luas dan lebih jauh daripada area klasik bahasa. arMFC secara
umum berkaitan dengan pemikiran tentang atribusi sosial, terlepas dari ketika
mereka menyinggung dirinya atau orang lain, membantuk representasi metakognitif
(Uchiyama et al.,
2012).
Temuan ini juga memperlihatkan pelibatan amygdala kiri ketika pemrosesan
informasi sarkasme. Tentunya hal ini terkait dengan pelibatan emosi yang
terkandung dalam makna pragmatik dari ungkapan sarkasme, serta amygdala ini
merupakan komponen penting dalam perilaku sosial. []
4.
Referensi
Euston, D. R., Gruber, A. J., & McNaughton, B. L.
(2012). The Role of Medial Prefrontal Cortex in Memory and Decision Making. Neuron,
76(6), 1057–1070. https://doi.org/10.1016/j.neuron.2012.12.002
Gazzaniga,
M. S., Ivry, R. B., & Mangun, G. R. (2015). Cognitive neuroscience: The
biology of the mind (4th ed.). New York: W. W. Norton & Company, Inc.
Hasil
Pencarian - KBBI Daring. (n.d.). Retrieved October 1, 2017, from
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sarkasme
Hooker,
C. I., & Knight, R. T. (2006). in the inhibitory control of emotion. The
Orbitofrontal Cortex, 307.
Huang,
L., Gino, F., & Galinsky, A. D. (2015). The highest form of intelligence:
Sarcasm increases creativity for both expressers and recipients. Organizational
Behavior and Human Decision Processes, 131, 162–177. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2015.07.001
Miron-Spektor,
E., Efrat-Treister, D., Rafaeli, A., & Schwarz-Cohen, O. (2011). Others’
anger makes people work harder not smarter: The effect of observing anger and
sarcasm on creative and analytic thinking. Journal of Applied Psychology,
96(5), 1065–1075. https://doi.org/10.1037/a0023593
Ridderinkhof,
K. R., Nieuwenhuis, S., & Braver, T. S. (2007). Medial frontal cortex
function: An introduction and overview. Cognitive, Affective, &
Behavioral Neuroscience, 7(4), 261–265.
sarcasm
| Definition of sarcasm in English by Oxford Dictionaries. (n.d.). Retrieved
October 1, 2017, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/sarcasm
Uchiyama,
H. T., Saito, D. N., Tanabe, H. C., Harada, T., Seki, A., Ohno, K., … Sadato,
N. (2012). Distinction between the literal and intended meanings of sentences:
A functional magnetic resonance imaging study of metaphor and sarcasm. Cortex,
48(5), 563–583. https://doi.org/10.1016/j.cortex.2011.01.004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar