Oleh : Isman Rahmani Yusron
Tidak
jujur, terutama dalam dunia akademik, merupakan suatu sikap negatif individu
yang secara umum tidak dapat diterima. Melakukan plagiarisme, menyontek dan
berbagai bentuk kecurangan lainnya, adalah suatu tindakan yang dipersepsikan
sebagai suatu pelanggaran dari pakem yang seharusnya dilakukan. Perilaku curang
atau tidak jujur, merupakan suatu keputusan yang didalamnya mengandung intensi
untuk tidak melakukan yang seharusnya. Dengan kata lain, seseorang yang
melakukan kecurangan bukan tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya merupakan
suatu kesalahan, akan tetapi sengaja mengambil keputusan untuk tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan. Anderman & Murdock (2011) menyimpulkan dari
berbagai analisis penelitian, ketika seseorang melakukan berbagai perilaku
kecurangan, mereka memang membuat keputusan untuk terlibat dalam perilaku
curang tersebut. Artinya, kecurangan, secara umum merupakan salah satu bentuk
dari self deception, atau sikap menipu diri sendiri. Aspek moral dan
emosional berperan dalam kaitan perilaku tersebut.
Menurut Anderman & Murdock (2011), dalam perspektif
belajar, curang merupakan suatu strategi yang dilakukan sebagai jalan pintas
kognitif (cognitive shortcut). Menurutnya, siswa yang memilih untuk curang
bukan karena mereka tidak tahu bagaimana strategi yang efektif atau simpelnya
karena mereka tidak mau untuk menginvestasikan waktu untuk menggunakan berbagai
strategi belajar. Artinya, bahwa kecurangan terjadi, ketika individu memilih
jalan pintas dan tidak mau berupaya lebih untuk melakukan tindakan yang
seharusnya. Jelas disini berarti bahwa melakukan kecurangan mengandung sebuah
kompleksitas proses kognitif, tidak semata-mata perilaku spontan namun
mengandung sebuah intensi dan proses pengambilan keputusan. Bahkan sebagai
implikasi, terdapat dimensi perilaku yang disengaja dan diupayakan pada
tindakan kecurangan. Atas dasar hal tersebut, dimensi kognitif berperan penting
dalam perilaku kecurangan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut,
memicu satu pertanyaan penting terkait perilaku kecurangan, terutama bagian
otak mana yang memproses intensi kecurangan. Kompleksitas sudut pandang dalam
melihat perilaku kecurangan pada tingkat personal, ada yang memandang terkait
dengan afeksi, emosi, kognisi, konstruk sosial dan berbagai dimensi lainnya
mengundang keingintahuan tentang fakta ilmiah mengenai bagian mana yang
memproses suatu intensi dan tindakan kecurangan. Sebuah penelitian dari Abe et al., (2014) melakukan studi
mengenai neural basis dari kecurangan dimana, dalam penelitian tersebut melalui
alat functional magnetic resonance imaging (fMRI) mencoba melihat mekanisme
neurokognitif seseorang ketika berintensi curang atau tidak jujur.
Dalam penelitian yang dilakukan Abe
et al. (2014), menganalisa subjek
yang berjumlah 25 partisipan diantaranya 14 perempuan dan 11 laki-laki, dengan
melihat dinamika aktivitas otak ketika partisipan diberi perlakuan yang
memungkinkan menentukan keputusan untuk tidak jujur. Partisipan dengan umur
rata-rata 22 tahun, diberikan 90 cerita yang memungkinkan untuk melakukan
memilih tidak jujur yang negatif (Harmful story) dan 90 cerita yang memungkinkan memilih tidak jujur positif
(helpful story). Sebagai contoh dari Harmful story misalnya “kamu sedang
berbelanja di mall, kamu membutuhkan untuk ke kamar mandi. Kemudian kamu tidak
sengaja merusak pintu kamar mandi mall tersebut. Ketika sedang di kamar mandi,
petugas kebersihan datang dan bertanya padamu apakah kamu tau kenapa pintu
kamar mandi sampai rusak?. Apakah kamu akan jujur memberitahukan petugas bahwa
kamu yang merusaknya atau kamu akan berbohong?”. Contoh Helpful story, sebagai
berikut “Kamu lulus dari universitas dan kemudian diterima kerja, hal tersebut
membuat bahagia orangtuamu yang telah didiagnosa kanker di rumahsakit. Karena
krisis ekonomi, tak lama kamu dipecat oleh perusahaan. Hari berikutnya, saat
kamu menjenguk ibumu, ibumu bertanya mengenai bagaimana pekerjaan kamu di
perusahaan. Apakah kamu akan jujur bahwa kamu telah dipecat, atau akan memilih
berbohong?”. Juga ditambah control story yang tidak berhubungan dengan
pemilihan keputusan berbohong atau tidak.
Hasil dari penelitian Abe et al., (2014) data fMRI
menunjukkan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk jujur atau berbohong baik
ketika diberikan Harmful maupun Helpful story, berasosiasi dengan aktivitas beberapa
bagian otak yakni dorsolateral prefrontal korteks kiri. Kontras dengan ketika
partisipan mengambil keputusan yang tidak ada hubungannya dengan
ketidakjujuran. Hal ini menunjukkan pada saat seseorang memproses dan
menghadapi keputusan yang berhubungan dengan memilih jujur atau tidak jujur,
bagian otak dorsolateral prefrontal kiri menunjukkan aktivitas yang signifikan
dibanding dengan tidak memproses keputusan tentang ketidakjujuran. Seperti kita
tau, dorsolateral prefrontal korteks merupakan bagian otak yang berhubungan
dengan fungsi kognitif terutama bagian ini berhubungan dengan kemampuan
kognitif tingkat tinggi seperti pemrosesan working memory, atensi, peralihan
perilaku (memperbaharui perilaku saat aturan berubah), evaluasi reward dan
perencanan motorik. Dalam penelitian lain, bagian otak ini aktif ketika
merespon pada saat situasi seseorang mempertimbangkan keadilan dan
ketidakadilan (Rilling & Sanfey, 2009). Pada penelitian
lain, bagian ini juga aktif dalam memproses hal yang berhubungan dengan
preferensi sosial dan ketika mematuhi norma sosial atau mengimplementasikan
tindakan adil (Fehr & Krajbich, 2014). Kelancaran verbal
juga ditemukan akan terganggu ketika area dorsolateral prefrontal kiri ini
mengalami atropi (Chen et al., 2013).
Kembali pada penelitian Abe et al., (2014), studinya menemukan
bahwa ketika partisipan mengambil keputusan tidak jujur, berasosiasi dengan
aktivitas bagian otak pertemuan tempoparietal (tempoparietal junction) kanan
dan medial frontal korteks kanan. Hasil ini kontras dengan ketika seseorang
mengambil keputusan untuk jujur dalam harmful story, yang tidak signifikan
aktivitasnya. Analisa lebih jauh dari temuan ini, memunculkan fakta dimana
aktivitas bagian otak tersebut tidak terjadi ketika partisipan memilih tidak
jujur dalam helpful story, atau kebohongan agar orang lain mendapat benefit
positif. Temuan ini memberi gambaran dinamika kognitif seseorang saat memilih
untuk berbohong ialah terkait dengan bagian otak tempoparietal dan medial
frontal korteks kanan. Pada penelitian FeldmanHall & Mobbs, (2015), ditemukan bahwa
area tempoparietal junction ini bersama lobus temporal anterior berperan
signifikan dalam proses pemanduan kognisi moral (guding moral cognition), dalam
temuan penelitiannya ini tempoparietal junction meningkat aktif ketika
seseorang mengambil keputusan moral yang mudah (easy moral decision) pada saat
secara cepat mempertimbangkan keputusan moral yang membutuhkan upaya kognitif. Sedangkan
Medial Frontal Cortex, dalam penelitian Mesulam, Damasio & Van Hoesen,
serta Gemba, Sasaki & Brooks (Ridderinkhof, Nieuwenhuis, & Braver, 2007), bersama Anterior
Cingulate Korteks berkaitan dengan fungsi evaluasi dimensi motivasi dari atensi
dan perilaku serta yang berhubungan dengan proses mendeteksi eror/kesalahan.
Dalam aspek dimensi perilaku,
penelitian dari Abe et al. (2014), melalui pengukuran waktu reaksi pada saat
memilih berbohong dibandingkan dengan tidak berbohong, memilih untuk berbohong
pada Harmful story akan membutuhkan tambahan tuntutan kognitif, dan tambahan
tersebut kuat didukung oleh medial superior frontal gyrus. Temuan ini
menunjukkan bahwa melakukan ketidakjujuran berkaitan dengan proses tuntutan
kognitif yang lebih tinggi dibanding dengan jujur. Hal ini didukung dengan
tidak adanya aktivitas area spesifik otak yang signifikan seperti ketika
seseorang memilih untuk tidak jujur dalam harmful story, ketika seseorang
memilih untuk jujur dan tidak jujur dalam helpful story. Artinya, bahwa
aktivitas otak yang meningkat saat memproses ketidakjujuran, akan berkaitan
dengan persoalan pelanggaran moralitas atau perilaku yang tidak dapat diterima,
namun tidak berlaku pada ketidakjujuran yang berkaitan dengan hal positif atau
demi orang lain mendapat benefit dari berbohong tersebut.
Implikasi dari tinjauan penelitian
tadi menghasilkan sebuah dugaan sementara bahwa ketidakjujuran akademik yang
sangat berkaitan dengan pelanggaran moral, terkait dengan aktifitas-aktifitas
otak yang telah disebutkan sebelumnya sebangun dengan ketika seseorang memilih
berbohong pada harmful story. Sehingga, hal ini memunculkan sebuah kesimpulan
sementara dimana kecurangan akademik ini bukan perkara sepele dan tidak bisa
dianggap wajar. Karena jika dilihat dari kesesuaian aktivitas otak yang
berlangsung, dapat diduga kuat ketika seseorang melakukan kecurangan atau ketidakjujuran
akademik, ia berintensi merencanakan, mempertimbangkan secara sadar, dan
mengambil keputusan bertolak belakang dengan pengetahuannya akan nilai-nilai
moralitas.
Prevensi
Perilaku Kecurangan Akademik
Berbicara mengenai pencegahan perilaku kecurangan
akademik siswa, tidak dapat hanya dilihat dari persoalan fenomena yang
terlihat. Kecurangan akademik lebih pada persoalan akibat daripada sebagai
sebab. Karena, berbagai akumulasi dari faktor yang mempengaruhi psikologis
seseorang yang mengakibatkan perilaku curang seperti mencontek, plagiarisme dan
berbagai kecurangan lainnya marak terjadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa dinamika psikologis dan neurologis yang terjadi pada saat seseorang
mengambil keputusan untuk mencontek adalah suatu intensi kesengajaan melanggar
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Intensi inilah yang menjadi kunci,
dimana pada dasarnya seseorang akan jauh lebih mudah memilih untuk jujur
dibanding dengan melakukan kecurangan. Sehingga, kecurangan akademik ini didasari
pada pertimbangan-pertimbangan sadar dari berbagai faktor yang
melatarbelakangi.
Jika mengambil dari referensi temuan
neurologis setidaknya ada beberapa fungsi yang terkait dengan seseorang
mengambil keputusan melakukan kecurangan:
1.
Fungsi pertimbangan
nilai dan preferensi sosial (dorsolateral prefrontal korteks)
2.
Evaluasi reward
(dorsolateral prefrontal korteks)
3.
Kognisi moral (tempoparietal
junction)
4.
Motivasi dan deteksi
eror (Medial Frontal)
5.
Self-awareness
(Superior Frontal Gyrus)
Melalui
pemahaman dinamika neurologis tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat
ditaksir sebagai penyebab seseorang melakukan kecurangan, pertama bahwa
nilai yang dimiliki seseorang mengenai perilaku curang sebagai sebuah kesalahan
tidak cukup mampu untuk menjadi penghalang dalam perilaku kecurangan.
Nilai-nilai moral individu yang lemah akan memunculkan tendensi seseorang untuk
mengambil keputusan untuk curang. Selain itu, persoalan preferensi sosial atau
kebiasaan seseorang untuk acuh terhadap norma sosial juga dapat menjadi
penyebab seseorang melakukan kecurangan. Kedua, orientasi dan motivasi
dalam akademik yang berbasis materialistik atau persoalan untung-rugi juga
memberi tendensi seseorang untuk berperilaku curang. Anderman dan Midgley (Anderman & Murdock, 2011) menyebutkan bahwa
praktik instruksional yang digunakan di sekolah menengah dan atas yang lebih
berfokus pada nilai akademik dan kemampuan memperlihatkan lebih banyak
terjadinya perilaku curang. Para siswa melakukan kecurangan (mencontek) karena
mereka sangat berfous pada hasil ekstrinsik seperti hasil nilai, hal yang
lainnya karena untuk menjaga image dirinya dihadapan teman-temannya (Anderman & Murdock, 2011).
Ketiga, pemahaman
mengenai moral juga berkaitan dengan perilaku kecurangan, dimana memahami suatu
aturan moral yang boleh dan tidak, yang benar dan salah atau yang sesuai norma
atau tidak sesuai, akan berpengaruh pada keputusan seseorang untuk melakukan
kecurangan. Keempat, motivasi dan kemampuan dalam mendeteksi kesalahan,
yang mungkin juga terkait dengan hal-hal yang disebutkan sebelumnya tentang
orientasi ekstrinsik dan memahami kekeliruan. Terakhir, persoalan
kesadaran diri atau mawas diri, atau dengan kata lain kemampuan seseorang untuk
dapat mawas diri, introspeksi atau memahami dirinya dalam proses belajar.
Kehilangan independensi dan pengendalian diri akan menyebabkan seseorang
berkecenderungan untuk melakukan kecurangan.
Didasarkan dari berbagai hal yang
telah disebutkan, maka tergambar mengenai strategi apa yang mesti dilakukan
dalam mencegah perilaku curang dalam akademik. Namun, sebelum lebih jauh, perlu
digaris bawahi bahwa yang dimaksudkan mencegah dalam hal ini mesti terkait
dengan upaya sistematis dan proses yang panjang daripada sekadar pencegahan
langsung. Hal-hal seperti penanaman nilai dan kebiasaan misalnya, tidak bisa
dilakukan secara instan, namun perlu proses panjang. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah perilaku
curang dalam akademik yang pertama kali adalah penanaman nilai-nilai moralitas
dan kebiasaan berperilaku adil. Pemahaman yang mumpuni mengenai konsep keadilan
dan kebenaran serta moralitas akan memperkuat arahan positif ketika seseorang
melakukan pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang kejujuran. Semakin
seseorang terbiasa dalam mematuhi norma social yang benar dan juga mengambil
keputusan adil, akan mereduksi kemungkinan seseorang untuk berperilaku curang.
Selanjutnya, hal yang juga cukup
penting mengingat proses yang biasanya terjadi dalam proses pendidikan adalah
terlalu kuatnya orientasi materialistik dalam proses belajar. Tak dapat
dinafikkan, bahwa dalam proses belajar proses instruksional sangat mekanis dan
berorientasi reward and punishment. Hal ini menyebabkan terkondisinya paradigma
siswa bahwa keberhasilan proses belajar selalu diukur melalui ukuran ekstrinsik
seperti nilai raport dan ranking. Proses belajar banyak disisipi dengan
mekanisme untung rugi, seperti belajar untuk ujian atau belajar untuk dapat
nilai dan konsekuensi hadiah. Sehingga, dengan praktik ini membuat sudut
pandang siswa tentang belajar sangat statis bukan dilandasi oleh faktor
internal seperti pengembangan diri. Sehingga, melalui iklim mekanistik semacam
ini, siswa akan cenderung “melakukan apa saja” demi mendapat reward material
atau ekstrinsik. Pada situasi siswa tidak dapat meng-handle tuntutan
tersebut, maka akan memicu munculnya cognitive shortcut atau jalan pintas
melalui kecurangan.
Hal lain yang juga penting untuk
mencegah perilaku curang adalah kebiasaan berproses daripada kebiasaan hasil.
Penghargaan dalam proses belajar semestinya berfokus pada proses, sehingga
siswa tidak mencari-cari strategi cepat untuk mendapatkan hasil instan.
Kebiasan berproses dan keasyikan dan khusyuk dalam proses belajar yang notabene
terbiasa mengerahkan usaha kognitifnya dalam belajar, mesti menjadi prioritas
utama. Karena tanpa kebiasaan berproses alih-alih hanya terfokus pada hasil,
akan memperluas kesempatan siswa untuk melakukan kecurangan dibandingkan menikmati
proses belajar. Sehingga dengan membiasakan siswa untuk mengaktifkan
kognitifnya dalam jangka waktu panjang pada proses belajar, akan menghindarkan
siswa untuk berperilaku curang. Sebaliknya, jika siswa tidak terbiasa berfikir
mendalam, mengerahkan potensi kognitifnya secara optimal, dan hanya berfokus
pada mendapatkan suatu hasil yang cepat, kecurangan akan menjadi ujung dari hal
tersebut.
Kebijakan Pemerintah Menangani Perilaku Curang
Pada
berbagai nomenklatur peraturan dan undang-undang hampir tidak ada kebijakan
eksplisit tertulis dalam upaya menangani perilaku curang. Berbagai kasus
kecurangan yang terjadi dilingkungan akademik tidak menghasilkan evaluasi yang
signifikan apalagi menghasilkan kebijakan dalam upaya mengurangi kecurangan.
Menurut hasil survei yang dilakukan Universitas Pendidikan Indonesia dari
partisipan yang mengikuti Ujian Nasional (UN) antara 2004 hingga 2013, 75% dari
partisipan mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN, seperti mencontek
massal, bahkan jual beli bocoran soal dari tim sukses yang ironisnya berasal
dari guru atau pihak lembaga bimbingan belajar (Suara Pembaruan, 2013).
Laporan
dari Federasi Serikat Guru Independen (FSGI) yang setiap tahunnya melayani
pengaduan UN, menyebutkan terdapat 102 laporan kecurangan pada 2011, naik
menjadi 317 di tahun berikutnya dan pada tahun 2013 sejumlah 1.035 laporan
mengenai kecurangan UN diterima mereka, tahun berikutnya menurun menjadi 304
dan hanya 91 pada 2015 (CNN Indonesia, 2015). Meski fluktuatif, jumlah yang terlapor saja sudah
dapat disimpulkan bahwa kecurangan di lingkungan akademik semakin marak. Akan
tetapi, tetap selalu berulang tiap tahunnya.
Kebijakan
yang cukup dapat diapresiasi adalah ketika dihapuskannya peraturan UN sebagai
penentu kelulusan, dan mengembalikan legitimasinya kepada sekolah. Hal ini
merupakan salah satu langkah yang cukup baik untuk sedikit demi sedikit
mengurangi orientasi nilai ujian atau belajar untuk ujian pada siswa. Terbukti,
dengan dihilangkannya hal tersebut, laporan kecurangan menurun, meskipun dalam
tataran praktik di sekolah, orientasi materialistic tersebut masih sangat kuat.
Kemudian,
proses instruksional yang terkesan transaksional dan berpusat pada guru juga
diubah melalui perubahan kurikulum yang berbasis kompetensi dan lebih terpusat
pada siswa. Kebijakan ini pula dapat ditafsirkan sebagai upaya pemerintah dalam
mengatasi kecurangan akademik. Karena proses belajar transaksional dan
mekanistik mengurangi kebebasan berfikir individu dalam proses belajar yang
hasilnya bahwa belajar adalah tentang pemenuhan ekspektasi pengajar. Hal ini
menjadi salah satu penyebab maraknya kecurangan akademik karena orientasi
belajar siswa yang ekstrinsik dan menghindari hukuman dari guru.
Daftar Pustaka
Abe,
N., Fujii, T., Ito, A., Ueno, A., Koseki, Y., Hashimoto, R., … Mori, E. (2014).
The neural basis of dishonest decisions that serve to harm or help the target. Brain
and Cognition, 90, 41–49.
https://doi.org/10.1016/j.bandc.2014.06.005
Anderman, E.
M., & Murdock, T. B. (2011). Psychology of academic cheating.
Academic Press. Retrieved from
http://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=IhkMvgxJvpgC&oi=fnd&pg=PP2&dq=%22of+Missouri-Kansas+City,+Kansas+City,+MO%22+%22A.+Thorkildsen,+Department+of%22+%22is+both+a+descriptive+reality+and+a+cherished+ideal.+We%22+%22affect+human+behavior.+After+all,+to+acknowledge+the%22+&ots=UlS3kczifa&sig=8rMljyEN4aMVoh7yDxA_XFDjEqk
Chen, Y.-K.,
Xiao, W.-M., Wang, D., Shi, L., Chu, W. C., Mok, V. C., … Tang, W. K. (2013).
Atrophy of the left dorsolateral prefrontal cortex is associated with poor
performance in verbal fluency in elderly poststroke women. Neural
Regeneration Research, 8(4), 346–356.
https://doi.org/10.3969/j.issn.1673-5374.2013.04.007
CNN
Indonesia. (2015, April 16). FSGI: Jumlah Laporan Kecurangan UN Menurun [Berita].
Retrieved May 15, 2017, from
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150416042205-20-46990/fsgi-jumlah-laporan-kecurangan-un-menurun/
Fehr, E.,
& Krajbich, I. (2014). Chapter 11 - Social Preferences and the Brain. In P.
W. Glimcher & E. Fehr (Eds.), Neuroeconomics (Second Edition)
(Second Edition, pp. 193 – 218). San Diego: Academic Press. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780124160088000115
FeldmanHall,
O., & Mobbs, D. (2015). A Neural Network for Moral Decision Making. In A.
W. Toga (Ed.), Brain Mapping (pp. 205 – 210). Waltham: Academic Press.
Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123970251001809
Ridderinkhof,
K. R., Nieuwenhuis, S., & Braver, T. S. (2007). Medial frontal cortex function:
An introduction and overview. Cognitive, Affective, & Behavioral
Neuroscience, 7(4), 261–265.
Rilling, J.
K., & Sanfey, A. G. (2009). Social Interaction. In L. R. Squire (Ed.), Encyclopedia
of Neuroscience (pp. 41 – 48). Oxford: Academic Press. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780080450469015394
Suara
Pembaruan. (2013, February 10). Survei UPI: Kecurangan UN Libatkan Guru dan
Kepala Sekolah | Suara Pembaruan. Retrieved May 15, 2017, from
http://sp.beritasatu.com/home/survei-upi-kecurangan-un-libatkan-guru-dan-kepala-sekolah/42791
Tidak ada komentar:
Posting Komentar