Selasa, 26 November 2013

GURU DAN DOKTRIN KEPAHLAWANANNYA

Sanjungan kepada sosok Guru yang disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sepertinya mengandung makna yang bisa jadi terlalu berlebihan dan bisa jadi ada benarnya juga. Yang jelas, doktrin absurd yang turun temurun ini perlu diuji kebenarannya dan dibenturkan dengan kondisi riilnya. Harus dipertanyakan, betulkah sanjungan itu masih relevan atau hanya sekadar sakralisasi yang bisa jadi hanya mitos belaka?

Pertanyaan ini tak hendak merendahkan kehormatan profesi Guru. Namun, pertanyaan ini perlu juga dipertimbangkan sebagai bahan introspeksi. Agar para Guru tidak terlena oleh sanjungan-sanjungan agung, namun malah menjadi blunder yang membuat Guru malu sendiri karena dalam kenyataannya tak terbukti. Sebuah wibawa dan pujian tak lahir dari sekedar keyakinan dan doktrin turun temurun. Melainkan, hasil dan bukti nyata dari usaha yang dilakukan.

Penulis jadi teringat obrolan bersama kawan-kawan tentang apa yang melekat dalam ingatan jika mendengar kata Guru. Kebanyakan, yang mereka ingat adalah memori-memori negatif seperti, Gurunya yang galak, Gurunya yang mengancam tak beri nilai jika tak beli LKS, bahkan hingga pengalaman pernah dilecehkan Guru didepan kelas. Bahkan, kemarin pagi, salah seorang presenter televisi swasta berujar bahwa yang dia ingat dari Guru adalah sosok yang selalu membawa tongkat kayu panjang untuk memukul muridnya yang menurut sang Guru “nakal”.

Atas segala yang pernah dialami kawan saya sewaktu di sekolah, mereka tak pernah sekali diberi kesempatan untuk memberikan kritik atas perilaku negatif Gurunya. Atau setidaknya konfirmasi atas sebab kenakalannya, tak pernah sekalipun diberi kesempatan. Akhirnya murid dihukum tanpa konfirmasi. Takut untuk mengkritik, bahkan segan untuk hanya sekadar bertanya kenapa. Guru bak dewa yang selalu benar, dan murid diposisikan sebagai orang yang perlu diajari dan dibetulkan sikapnya.

Menarik mencermati pendapat Guru Besar Emeritus FPIPS UPI, Said Hamid Hasan yang ditulis di media ini. Katanya, sikap mampu bertanya adalah inti dari pola critical thinking. Lemahnya siswa dalam kemampuan berpikir kritis, katanya merupakan kunci lemahnya pendidikan di Indonesia. Perilaku Guru yang arogan seperti yang penulis contohkan tadi, serta perilaku Guru bak dewa yang menciptakan pola hubungan feodalistis dengan siswa, menjadikan siswa tidak memiliki keberanian untuk bertanya apalagi berfikir kritis.

Sehingga, jika memakai logika itu, tidakkah berarti Guru-lah yang menjadi subjek kunci lemahnya pendidikan di Indonesia? Atas kondisi nyata ini, masih relevankah atau setidaknya apakah tidak terlalu berlebihan, memberi sanjungan Guru sebagai pahlawan? Sekali lagi, tidak berarti melecehkan pengabdian Guru, namun hanya sebagai bahan introspeksi agar para Guru tak terlena dan merasa terlegitimasi menjadi sosok bak dewa di sekolah.

Lucunya, terkadang saat Guru melakukan kesalahan, dengan naifnya sang Guru berkata bahwa, Guru juga manusia. Sikap keras dengan dalih penegakan disiplin di sekolah yang kadang tanpa dasar dan indikator yang jelas dalam menjudge murid, sehingga terkesan bahwa Guru lah yang paling benar di sekolah, oleh dirinya sendiri di negasi bahwa dirinya juga tak luput dari kesalahan. Sikap plintat-plintut ini, menurut penulis, bukanlah karakter seorang pahlawan.

Tapi, terkadang melihat kenyataan, miris juga melihat nasib Guru. Frasa “tanpa tanda jasa” yang melekat pada Guru, bisa jadi ada benarnya. Dalam tajuk media ini, disebutkan bahwa gaji para “Pahlawan” ini, tidak lebih besar dari UMK buruh pabrik. Sungguh malang para pendidik negeri ini. Ini bukti bahwa ilmu pengetahuan tak ada harganya di negeri yang katanya mendambakan kemajuan.

Seolah-olah, sanjungan “Pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi sebuah pembenaran, bahwa Guru tak perlu digaji berkecukupan. Seolah, Guru hanya perlu dipuji tanpa perlu dikasihani. Namun realitanya, pada akhirnya Guru tak bisa kenyang dihargai dengan pujian meski berlebihan. Guru perlu penghidupan. Karena, Guru juga manusia yang punya berbagai kebutuhan. Mana bisa Guru konsentrasi untuk mendidik putra putri negeri, jika pikirannya saja masih terbebani biaya hidup yang semakin meninggi.

Kamis, 26 September 2013

BAHAYA PSIKOLOGIS UJIAN NASIONAL

Keengganan pemerintah untuk segera meniadakan penyelenggaraan UN perlu dipertanyakan dasarnya. Jika dianalisa secara psikologis, penyelenggaraan UN seperti ini sangat berbahaya bagi siswa. Salah satu gejala yang akan muncul salah satunya adalah Academic Burnout.

Academic Burnout secara teoritis merupakan kondisi dimana siswa telah mengalami kelelahan yang hebat dalam belajar. Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa academic burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari dari pembelajaran, merasa tidak kompeten atau merasa tak mampu sebagai pelajar.

Pada awalnya, Burnout identik dengan kondisi pekerja yang mengalami stress diiringi kelelahan fisik dan emosional. Freudeunberger (1974) menganalogikan kondisi ini seperti gedung yang terbakar habis (burnout) dimana secara fisik masih utuh namun isinya (jiwanya) terbakar habis. Penelitian terbaru memaparkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan pekerja, melainkan siswa pun sangat rentan mengalami burnout. Artinya, sekolah telah tak jauh beda seperti bekerja.

Penyelenggaraan UN yang pada faktanya hanya menuntut pemenuhan standar kuantitatif dari hasil pembelajaran menjadikan sekolah tak ubahnya seperti bekerja. Kartadinata (2010) menyatakan, ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa.

Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian, sehingga siswa dipaksa untuk memenuhi harapan standar tersebut yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Kondisi ini menjadi sebuah pemicu siswa mengalami burnout dalam pembelajaran.

Burnout dalam setting belajar diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan belajar kepada siswa. Penyelenggaraan UN di sekolah bagi siswa merupakan satu sumber tekanan psikologis tersendiri. Tuntutan pemenuhan nilai yang bersifat kuantitatif yang terkesan dipaksakan, belum lagi tuntutan citra sekolah menjadikan kondisi stress dan burnout tak terelakkan lagi. Hal ini sudah menjadi alasan kuat bahwa ujian nasional harus segera dihentikan.

Academic Burnout menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional, kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya keinginan untuk sukses. Dampak yang muncul pada saat siswa mengalami kondisi ini ialah memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop out (Aypay, 2011).

Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, academic burnout akan memicu gejala lain yang lebih parah. Salah satunya adalah hasil penelitian dari Salmela –Aro (2008) yang menyatakan bahwa kondisi burnout di sekolah bagi siswa harus segera mendapat perhatian serius, karena akan menggiring siswa mengalami gejala-gejala depresi.


Dari berbagai fakta diatas, maka tak ada alasan lagi UN harus dipertahankan. Pemerintah terutama Kemendikbud jangan bertindak egois dengan tetap mempertahankan UN sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan. Alasan tersebut adalah alasan yang sangat irrasional. Jika melihat dampak buruknya, ujian nasional tidak meningkatkan mutu pendidikan,  melainkan -meminjam istilah Sunaryo Kartadinata- akan hanya menghasilkan masyarakat yang sakit (sane society).

Kamis, 19 September 2013

MEMBEBASKAN PENDIDIK DARI TRADISI FEODALISME

Peran sentral pendidik sebagai agen yang mempersiapkan generasi baru, dituntut untuk lebih adaptif dalam menghadapi pesatnya era global. Dalam proses belajar mengajar, pendidik harus mempersiapkan langkah yang revolusioner. Mereka dituntut membebaskan fikirannya dari konservatisme.

Para pendidik harus pandai menuntut diri untuk membebaskan fikirannya dari belenggu paradigma pedagogis yang telah usang. Karena, jika sikap para pendidik masih cenderung konservatif dalam melaksanakan proses pendidikan, maka hasilnya hanya melahirkan generasi yang tak mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman.

Setidaknya penulis mengidentifikasi beberapa paradigma usang yang perlu untuk segera dirubah demi melahirkan generasi era baru. Salah satunya, pola interaksi antara guru dan murid yang feodalistis. Banyak yang menilai, pola hubungan pedagogis memang berimplikasi pada sistem yang cenderung feodal. Posisi pendidik harus lebih tinggi dan “terhormat” daripada murid karena terkait pola transformasi ilmu yang berasal dari guru dan dikonsumsi oleh para peserta didik.

Paradigma ini sungguh telah usang dan sungguh kolot. Faktanya, budaya feodal hanyalah menghasilkan generasi yang tak percaya diri dan cenderung koruptif. Dampak dari lestarinya sistem ini, menjadikan terpatri dalam fikiran bahwa yang berhak dilayani adalah masyarakat dari kalangan terhormat atau yang memiliki kekayaan. Sehingga, tindakan korupsi tak lagi terelakkan, misalnya karena tak bisa menolak permintaan atasan atau demi menghormati atasan,  sogokan dan gratifikasi berubah makna menjadi “menghargai” atau “menghormati”.

Selain itu, pola interaksi antara guru dan murid yang feodal, hanya melahirkan generasi yang konsumtif. Jika dalam proses belajar mengajar, guru menanamkan bahwa sumber ilmu adalah dirinya, maka murid diposisikan sebagai konsumen. Padahal, masa depan menuntut generasi yang produktif yang dapat senantiasa melahirkan ilmu. Kebanyakan para murid hari ini, dibentuk sebagai konsumen ilmu. Akhirnya, konstruk fikirannya dalam sikap belajar adalah senantiasa mengonsumsi bukan memproduksi.

Untuk hal yang satu ini, perlu sekali menjadi tekanan penting. Masa depan menuntut orang untuk merubah caranya dalam mendapatkan ilmu. Dalam hal ini seorang filsuf pendidikan, Paolo Freire berkomentar, “cara memperoleh pengetahuanlah yang menjadi salah satu masalah dalam lapangan pendidikan yang perlu dipecahkan oleh sebuah masyarakat yang revolusioner. Sebuah masyarakat yang revolusioner seharusnya melihat bahwa usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut diri mereka berperan sebagai subjek – pencipta (creator), pencipta kembali (recreator), dan penemu ulang (reinvetor),” (Freire, 2000:12).

Dalam tuntutan kekinian, yang harus dikembangkan dalam sistem interaksi antara guru dan murid adalah sistem yang egalitarian. Guru harus berbesar hati untuk berada sejajar dengan murid. Fungsi dari guru tak lagi bak dewa yang selalu benar, tapi merupakan bagian dari proses belajar. Proses transformasi pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar menjadi multi arah. Peserta didik diperlakukan sebagai subjek belajar, bukan menjadi objek mengajar.

Freire sempat memberikan wejangan dalam hal ini, “jika dikotomi antara mengajar dan belajar sampai menyebabkan pihak yang mengajar tidak mau belajar dari peserta didik yang diajarnya, berarti sebuah ideologi dominasi mulai tumbuh (Freire, 2000:8). Statement tersebut bermakna bahwa baik guru maupun murid merupakan subjek yang sama-sama saling belajar.

Sekolah hari ini, harus di isi oleh para pendidik yang revolusioner. Para pendidik harus berani memecah rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang telah usang. Perlu para pendidik sadari bahwa pola feodalistis di sekolah merupakan warisan era kolonialis yang tak perlu dipertahankan. Para pendidik era baru harus menyadari bahwa dirinya sedang berada di peran sentral dalam mempersiapkan generasi baru untuk lebih siap dalam mengisi dan turut menjadi bagian dari masyarakat dunia (world citizen) yang mesti siap mengikuti arus perkembangan.

Kamis, 24 Januari 2013

NASIB NAAS PENELITIAN ILMIAH

Sungguh malang nasib keilmuan kita. Itu mungkin ungkapan yang cocok menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Betapa tidak, saat ini ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh universitas melalui penelitian-penelitian ilmiah tak lagi menjadi penyelesai masalah. Skripsi-skripsi, tesis maupun disertasi tak lagi menjadi jalan keluar untuk mengatasi persoalan bangsa. Padahal, sejatinya, ilmu-ilmu yang dihasilkan para sarjana adalah sebuah usulan solusi untuk memperbaiki negeri ini.

Sungguh sangat disayangkan, melihat kondisi penelitian-penelitian ilmiah saat ini tak lebih dari sekadar sampah. Kenapa dikatakan demikian, karena faktanya penelitian ilmiah hanya menjadi seonggok karya yang tersandar di sunyinya rak-rak perpustakaan. Eksperimen-eksperimen yang sejatinya menjadi sebuah inovasi yang berguna bagi masyarakat, bernasib naas karena hanya lapuk tak terbaca. Begitupun upaya universitas untuk memanfaatkan dan menyebarluaskan karya ilmiah para mahasiswanya, sungguh sangat sedikit dan tidak serius.

Jika dikalkulasi, dari ribuan karya para wisudawan universitas setiap tahunnya, bisa kita terka berapa yang dimanfaatkan, dan berapa ribu yang hanya memenuhi ruang-ruang penyimpanan. Akhirnya, karya ilmiah yang diharapkan menjadi sebuah solusi, malah jadi bagian dari masalah. Tingkat keterpakaian karya ilmiah di negeri ini sungguh sangat mengerikan. Sepengetahuan penulis, belum ada data terkait tingkat keterpakaian karya ilmiah yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang nyata dilapangan. Tentunya mungkin akan sangat sukar sekali mengukurnya, paling banter dipakai sebagai referensi dari penelitian-penelitian selanjutnya.

Akan tetapi, dapat masyarakat lihat seberapa banyak karya yang bermanfaat bagi negeri ini dalam menyelesaikan persoalan. Tentunya, jika karya-karya penelitian ilmiah sudah optimal dimanfaatkan, masyarakat bisa merasakan hasilnya. Setidak-tidaknya, beberapa masalah-masalah krusial di negeri ini dapat cepat teratasi. Namun, dapat dirasakan sendiri, ribuan penelitian ilmiah tak lagi  menyelesaikan masalah. Hasilnya tak lebih dari sekedar kesimpulan dan rekomendasi yang tak ditindaklanjuti. Karya ilmiah tak lebih dari sekadar koleksi, tersandar diruang sunyi, mengisi berjubel-jubel rak besi.

Bagaikan petir di siang bolong, seolah kenyataan menampar para akademisi pendidikan. Senin (21/1) lalu, 7 Bocah tertangkap membobol rumah mewah akibat kecanduan game online. Mereka yang notebene masih duduk di bangku sekolah menengah nekat mencuri dilatarbelakangi tak punya uang untuk bermain game online. Sungguh mengejutkan, hanya karena ketagihan bermain game di internet, mereka sampai terjerat kasus kriminal.

Contoh kasus diatas menjadi sebuah ironi tersendiri, mengingat banyak penelitian ilmiah yang jauh-jauh hari menyimpulkan bahwa kecanduan game online akan berdampak buruk bagi kesehatan mental anak. Berjubel treatment penanggulangan pun sudah tertulis dalam penelitian-penelitian yang tak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, ada banyak penelitian-penelitian dari para sarjana psikologi maupun bimbingan dan konseling yang membahas persoalan ini. Tawaran solusi baik preventif maupun kuratif untuk menangani anak yang kecanduan game online pun, sudah banyak dihasilkan.

Namun, berjubel hasil penelitian itu seperti omong kosong jika menyimak kasus diatas. Banyaknya penelitian ilmiah mengenai kecanduan (Addiction) game online, tak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Padahal, ilmu-ilmu yang dihasilkan serta solusi yang ditawarkan, sungguh sangat bermanfaat jika digunakan. Tak hanya sebatas “harta karun” yang terpendam dalam koleksi perpustakaan universitas.

Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Lama kelamaan masyarakat akan mempertanyakan, apa fungsi universitas sebenarnya? Apakah hanya penghasil sarjana? Penghasil tenaga kerja? Begitupun pertanyaan-pertanyaan hasil penelitian ilmiah yang setiap tahun ditelurkan para wisudawan.Apa fungsinya? Betul karya penelitian ilmiah atau hanya formalitas belaka?

Jangan heran memang jika pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak. Melihat bobroknya moral serta banyaknya persoalan negeri ini yang tak terpecahkan, kegelisahan itu memang patut mengemuka. Tujuannya tak lain agar menyadarkan para peneliti dan calon peneliti bahwa sia-sia saja mereka membuang waktu bekerja keras melakukan riset. Namun, pada akhirnya karya-karya mereka tak dimanfaatkan dan bernasib naas, lapuk dan dilupakan. Karena tak ada upaya yang serius untuk benar-benar menggunakan hasil penelitian ilmiah sebagai jalan keluar dari persoalan.

Para warga perguruan tinggi tentu tahu isi dari tri dharma perguruan tinggi. Selain pendidikan dan penelitian, ada dharma selanjutnya yakni pengabdian pada masyarakat. Meski tak berdasar, bisa dikatakan fungsi ini tak begitu optimal. Buktinya hasil pendidikan dan penelitian tak jadi solusi bagi masyarakat. Tak jadi pengabdian. Hanya jadi jargon mulia yang tak terasa fungsinya.

Tentunya, tri dharma perguruan tinggi tak bisa diartikan secara terpisah. Ketiga-tiganya merupakan sebuah integrasi yang saling bersinergi. Satu fungsi saja tak teroptimalkan, dapat disimpulkan ada sebuah kegagalan dalam esensi dharma yang lain. Jika kenyataannya memang, hasil penelitian tak berguna bagi kehidupan masyarakat, berarti pula ada sebuah kegagalan dalam pendidikan. Hal itu berdampak pula pada kegagalann penelitian, yang nantinya berdampak pada lemahnya pengabdian pada masyarakat. Yang lebih bahaya lagi yakni munculnya sindrom impoten dari perguruan tinggi.

Menyimak kondisi seperti itu, sudah sepatutnyalah perguruan tinggi melakukan introspeksi. Sudah jelas terlihat masalah ketidakberfungsian tridharma perguruan tinggi. Tiga dharma itu sekarang hanya sebatas formalitas, kehilangan wujud mulianya. Padahal hal itu merupakan tonggak serta indikator berhasilnya sebuah institusi pendidikan tinggi. Sangat mengerikan jika kondisi ini tak segera teratasi.

Tentunya jalan keluar masalah ini perlu ditelusuri hingga akar permasalahan. Bisa jadi kesadaran dan upaya penyadaran tentang urgensi penelitian serta pengabdian pada masyarakat, kepada calon-calon sarjana tak optimal. Perlu ada upaya dari perguruan tinggi yang meyakinkan bahwa fungsi dari penelitian bukan hanya sebatas pemenuhan syarat untuk kelulusan. Begitupun fungsi pengabdian pada masyarakat jangan hanya sebatas formalitas kredit perkuliahan. Jika hal ini dibiarkan, bangsa ini akan semakin malang: banyak ilmuan, namun tetap banyak persoalan.

Begitupun pemerintah tak bisa tutup mata menyikapi persoalan ini. Perlu ada dukungan penuh bagi pemanfaatan penelitian ilmiah bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengevaluasi dana yang dianggarkan bagi pembiayaan penelitian. Kenyataan dilapangan penggunaan dana ini tak jadi jalan keluar bagi masyarakat. Karya ilmiah banyak dihasilkan dan didanai pemerintah, namun kenapa hasilnya tak jadi alat memperbaiki negeri ini?


Tentunya masyarakat berharap banyak kepada institusi perguruan tinggi yang di isi para ilmuan. Kondisi negeri ini sudah sangat mengenaskan. Masyarakat sangat berharap para peneliti berperan memperbaiki kondisi bangsa ini. Mereka tak mengharapkan jutaan kertas dihabiskan, jutaan penelitian dilakukan, jutaan karya ilmiah dihasilkan, namun hanya menjadi pepesan kosong yang tak berguna. Masyarakat perlu bukti nyata dalam bentuk aksi, bukan bukti fisik jutaan skripsi, yang hanya memenuhi koleksi. Perguruan tinggi segera introspeksi, karena perguruan tinggi bukanlah sekadar pabrik ilmuan, namun produsen utama agen perubahan.[]

Rabu, 05 Desember 2012

Filsafat Ilmu dan dalam Al-Qur'an

Beberapa waktu lalu, saya kurang mengingat waktu tepatnya, kawan saya –yang juga merupakan kakak tingkat saya, bertanya mengenai referensi Filsafat Ilmu. Waktu itu ia sedang memiliki tugas kuliah di studi S2 nya yang meminta untuk mengkaji Filsafat Ilmu dari berbagai referensi. Kebetulan waktu itu perbendaharaan buku yang menjelaskan mengenai Filsafat imu masih sedikit dan itupun sedang dipinjam oleh kawan saya yang lain –yang juga kakak tingkat saya meskipun tak sejurusan.
Waktu itu saya ingin sekali berdiskusi mengenai hakikat Filsafat Ilmu dengan kawan saya itu. Tapi sepertinya karena limit waktu yang dimilikinya untuk mengumpulkan tugas, maka diskusi tak bisa dilakukan. Tapi sampai saat ini seolah argumen-argumen mengenai diskusi Filsafat Ilmu meluap-luap difikiran saya. Saya ingin berdiskusi, dan mengeluarkan segala isi otak saya. Tapi hingga saat ini saya belum menemukan orang yang tepat berdiskusi mengenai hal ini.
Memang, berbicara mengenai Filsafat Ilmu merupakan field of knowledge yang cukup rumit. Biasanya kita hanya menerima Ilmu secara instan dan tak pernah terfikir untuk menelusuri asal-usul Ilmu sampai pada akar yang sangat mendasar. Dan berdiskusi mengenai hakikat Ilmu pasti membutuhkan waktu berjam-jam, tak cukup hanya dengan diskusi sampai subuh hari. Saking rumit dan sungguh kompleksnya pembahasan. Butuh juga beratus-ratus lembar untuk menuliskan segala problematika dan diskursusnya.
Sekilas saya coba bahas mengenai hal ini, tapi saya tak akan mungkin membicarakan hal itu semua. Saya akan coba menakarnya dan menuliskannya secara mudah saja. Sekaligus saya ingin mengawinkan dengan tradisi keilmuan Islam –yang bersumber dari Al-Qur’an tentunya, yang saya rasa jauh lebih kaya dibanding tradisi keilmuan barat.
Filsafat Ilmu, adalah bagian dari Epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat Ilmu. Epistemologi merupakan bagian dari cabang Filsafat yang berarti knowledge yakni sebuah bagian kontemplasi yang mengkaji mengenai asal-usul, metodologi serta hakikat sebuah pengetahuan. Berbicara mengenai Filsafat Ilmu berarti sebuah Ilmu yang mempelajari mengenai Ilmu secara komprehensif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Filsafat Ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
Sering kita membicarakan persoalan mengenai asal usul Ilmu. Salah satu yang paling populer adalah mempertanyakan kevalidan Ilmu untuk dijadikan bahan argumentasi. Semisal, teori yang ada, lalu dijadikan sebuah asumsi dalam sebuah penelitian. Kadang kita mempertanyakan apakah teori tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan argumentasi? Sederhananya misalkan kita katakan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berkembang. Hal itu dapat kita pertanyakan: apa yang mendasarinya? Jika pertanyaan itu terlontar, maka satu jawaban yang muncul : hal itu hasil dari penelitian “si anu” dengan metodologi “anu” metode “anu” dan lain-lain. Sehingga kita dapat mempercayai bahwa Ilmu itu memang dapat kita jadikan argumentasi karena sudah dibuktikan dengan sebuah penelitian.
Nah, dalam sudut pandang Filsafat Ilmu, metodologi atau metode yang disiplin dalam memperoleh satu Ilmu adalah penguat yang menjadikan absahnya sebuah Ilmu atau teori. Pusing kawan? Mari kita sederhanakan. Kita tahu tentunya bahwa sebuah hasil penelitian yang dapat kita akui sebagai sebuah Ilmu pengetahuan adalah sebuah hasil dari pengolahan berbagai teori dan asumsi yang dibuktikan kembali dengan sistematika penelitian. Seperti misalnya, dengan pendekatan kuantitatif, dengan metode eksperimen, lalu desain penelitian “pretest and posttest control group” dan dengan analisis data tertentu.
Setelah dilakukan dengan metode yang telah direncanakan dan dari hasil analisis data maka munculah sebuah hasil yang menunjukkan hal tertentu. Lalu semua itu dituliskan dalam karya ilmiah dengan sistematika yang tepat dan standar. Hasil dari tulisan itu bisa kita ketahui sebagai skripsi, tesis atau disertasi. Itulah yang dinamakan sebagai pencarian kebenaran Ilmu. Hasilnya bisa dikatakan sebagai sebuah Ilmu.
Lalu dimana letak Filsafat Ilmu bermukim? Filsafat Ilmu tempatnya ialah yang menciptakan sebuah metode dan berbagai sistematika didalamnya. Cukup rumit bukan? Tapi coba kita sederhanakan. Hasil dari Filsafat Ilmu ialah sebuah rambu-rambu yang sadar, aktif dan sistematis yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh sebuah Ilmu tertentu. Jadi, adanya sebuah metode penelitian, desain penelitian dan berbagai sistematikanya ialah hasil dari Filsafat Ilmu. Jadi, jangan heran adanya metode penelitian atau metode riset tidak disebut sebuah Ilmu. Karena yang merupakan akar Ilmu ialah Filsafat Ilmu.
Pernahkah kawan mempertanyakan kenapa “metode penelitian” itu bukan sebagai Ilmu seperti halnya Ilmu Konseling atau Ilmu Psikologi? Ya, jawabannya adalah karena metode penelitian adalah rambu-rambu atau cara yang dilahirkan untuk menemukan sebuah kebenaran ilmiah dan itu merupakan hasil dari Filsafat Ilmu. Sedikit tips saja buat kawan-kawan yang sedang sibuk membuat skripsi atau proposal penelitian, jika ingin dengan mudah memahami metode penelitian, pelajari dahulu Filsafat Ilmu. Sehingga kita faham kenapa kita melakukan metode-metode tertentu dalam penelitian.
Filsafat Ilmu sebenarnya lahir dari filsuf seperti Aristoteles, dia yang dinyatakan sebagai peletak dasar prinsip mencari kebenaran ilmiah yang dituangkannya dalam buku Organon Oa Laterpretation dan Prior Asilyteis. Buku itu mengupas mengenai metodologi dan logika keilmuan. Tapi, as we know bahwa Aristoteles adalah filsuf yunani yang bukan dari Islam. Kenapa saya menghubungkan hal ini? Ini atas dasar skeptisisme saya mengenai Aristoteles. Saya rasa, argumentasi-argumentasinya tak pantas kita akui sebagai kebenaran hakiki. Kenapa? Karena dia hanya bersumber dari kontemplasi-kontemplasi yang arbitrer.
Meskipun Ilmunya banyak diadopsi dan diakui, tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia itu sempurna kebenarannya? Ini juga merupakan telaahan Filsafat Ilmu. Ciri khas orang berilmu adalah “tidak mudah percaya”. Jadi saya fikir, saya –sebagai seorang Islam, mempunyai referensi yang lebih otentik dan tak perlu diragukan lagi kebenarannya: Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab yang bersumber dari firman sang Maha pemilik Ilmu: Allah S.W.T. Jadi saya tidak perlu ragu lagi akan kebenarannya, karena wong Dia yang punya Ilmu.
Kita coba telaah hakikat keilmuan dari sudut pandang Al-Qur’an. Al-Qur’an dan agama Islam, adalah satu-satunya kitab dan agama yang mewajibkan untuk mencari Ilmu secara kritis dan anti taklid (mengikuti tanpa skeptis akan kebenarannya). Jika kita bandingkan dengan kitab dan agama lain, tidak ada kiranya yang mewajibkan umatnya untuk mencari Ilmu. Misalkan Kristiani, pada zaman pra-Renaissans, gereja malah mengharamkan umatnya untuk mempelajari Ilmu secara kritis dan radikal. Bahkan pada masa itu, sebuah kajian keilmuan yang tak sepaham dengan gereja akan kena sanksi yakni dibunuh. Umat hanya boleh mengikuti pendapat gereja tanpa diperbolehkan untuk mempertanyakannya secara kritis.
Lain halnya dengan Islam, Islam malah mengharamkan umatnya untuk melakukan taqlid, atau hanya mengikuti pendapat tanpa berusaha mempertanyakan keabsahannya. Dalam Al-Qur’an setidaknya mengisyaratkan  4 langkah tuntunan dalam berfikir:
Pertama, Al-Taharrur min quyud al-Urf wa al-Takhalush ‘an Aghlal al-Taqalid. Al-Qur’an meminta kita untuk berupaya membebaska pemikiran dari belenggu taklid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan. Langkah tersebut merupakan metode ilmiah praktis (Minhaz ‘Ilmu amali).
Kedua, Al-Ta’ammul wa al-Musyahadah. Yakni langkah meditasi pencarian bukti atau data ilmiah empirik. Kita kenal langkah ini sebagai studi literatur.
Ketiga, Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra’. Yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data-data empirik yang ditemukan. Kita kenal langkah ini sebagai “analisis data”.
Keempat, Al-Hukm Mabni ‘ala al-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah keputusan ilmiah yang didasarkan atas argumen dan bukti ilmiah. Tahap ini kita biasa tempatkan pada Bab Kesimpulan.
Dari empat metodologi diatas kita dapat aplikasikan bagaimana pencarian sebuah kebenaran dalam tradisi keilmuan Islam. Kadang kita ragu memilih pendekatan metode ilmiah yang bersumber dari Ilmu Islam. Bagi yang berfikir sempit, mungkin merasa phobia mengenai kata “Islami” dalam konteks keilmuan. Mungkin mereka ini berfikir bahwa Islam dan Al-Qur’an hanya mengurusi Ibadah, Surga dan Neraka. Padahal, metodologi keilmuan atau bahkan yang dikatakan sebagai Filsafat Ilmu sudah tertuang dalam Al-Qur’an. Bedanya, jika Filsafat yunani berasal dari kontemplasi pemikiran dan menemukan dengan asas “sakapanggihna” (seketemunya), tapi kalau Al-Qur’an berasal dari si empunya Ilmu: Allah SWT.
Jadi kita percaya yang mana? Yang “nonsense” atau yang bersumber dari Allah SWT yang Maha mengetahui?
Namun terkadang diskusi-diskusi Filsafat Ilmu tidak sampai pada wilayah ini. Yang dikutip pendapatnya adalah pendapat manusia saja (tokoh-tokoh) dan bahkan menjadi sebuah paradoks! Betapa tidak, dalam pencarian kebenaran ilmiah, kita tidak diperbolehkan untuk menerima begitu saja Ilmu, harus skeptis, dan dibuktikan dengan metode ilmiah. Haram sekali dalam karya ilmiah, kita dengan mudah mempercayai sebuah teori. Harus dipertanyakan kebenarannya. Tapi, seringnya kita malah mengadopsi berbagai asumsi dari tokoh-tokoh dan dijadikan sebagai landasan kuat dalam penelitian Ilmiah. Bukankah itu kita sedang melakukan taklid? Menerima begitu saja berbagai teori dan asumsi?
Dalam tradisi keilmuan Islam, metode-metode pencarian kebenaran Ilmiah dijauhkan dari segala taklid. Tidak diperbolehkan menerima begitu saja teori-teori keilmuan meskipun dari tokoh Ilmu. Bahkan dalam tradisi keilmuan Islam, Ilmu Allah (Al-Qur’an) pun harus ditafsirkan secara skeptis dan kritis. Islam tak pernah menginstruksikan untuk mengikuti (taklid) terhadap sesuatu tanpa Ilmu. Semua harus difikirkan dengan keilmuan. Namun tentunya jangan berlebihan atau melampaui batas (Adam tajawuz al-Had). Misalkan mempertanyakan perihal yang gaib atau ketuhanan (tauhid). Hal ini Allah hanya meminta kita untuk percaya, karena sebetapapun kita berusaha tidak mungkin kita dapat menyibaknya. Seperti  dalam Surat Al-An’aam ayat 59, dan Surat Luqman ayat 34. Perihal yang sifatnya ketauhidan, itu merupakan ayat yang jelas dogmatis. Tak perlu lagi meragukan, karena bagaimanapun kita tak bisa membuktikannya dalam akal.
Tapi, untuk hal yang sifatnya Ilmu-Ilmu duniawi, Allah meminta kita untuk tetap skeptis dan kritis. Saya jadi berfikir, bahwa ternyata budaya kritis itu justru bersumber dari tradisi keilmuan Islam. Hal ini bisa dibaca dalam Surat AL-Hujuraat ayat 6. Lantas, larangan taklid yakni diisyaratkan dalam Surat Al-Qiyamah ayat 16. Silahkan cek masing-masing dalam Al-Qur’an. Allah SWT menempatkan manusia bukan sebagai Insan al-Nathiq (manusia berfikir) saja, seperti dalam keyakinan Ilmu psikologi. Tapi Allah menempatkan kita sebagai Ulul Albab (manusia yang menggunakan akal fikiran dan ketundukan hatinya) atau ashabul ukul (pemilik akal).
Artinya, manusia ditempatkan bukan sebagai orang yang dapat menerima–atau memikirkan begitu saja Ilmu yang ada. Melainkan, Allah dalam Al-Qur’an menempatkan kita sebagai orang yang berakal yang harus mengkritisi dan mencari kebenaran hakiki sebuah Ilmu. Bukan sebagai makhluk taqlid, tapi makhluk yang dapat menggerakan akalnya. Dan saya katakan inilah esensi yang hakiki mengenai Filsafat Ilmu. Karena kita berikhtiar untuk terus menelusuri segala hakikat Ilmu. Sedangkan Ilmu yang ada saat ini hanya kita terima saja tanpa kita diperbolehkan berasumsi secara kritis dan mandiri. Dan saya katakan tradisi keilmuan ini bukan dari Filsafat Ilmu yang hakiki. Tak pantas disebut Ilmuan, tapi hanya orang yang taklid saja.
Jadi, benarkah tokoh-tokoh, profesor, doktor, magister dan yang lainnya itu adalah Ilmuan? Atau hanya tukang gado-gado yang mencampur segala Ilmu saja? Saya katakan bahwa yang disebut Ilmuan adalah orang yang tak mudah percaya mengenai Ilmu yang ada, Ilmuan adalah orang yang dapat secara hakiki mengamalkan prinsip-prinsip al-Qur’an. Semoga kita jadi Ilmuan, bukan seorang yang Taqlid!
Disarikan dari buku yang saya baca pagi ini : Mantiq, Kaidah Berfikir Islami karya Syukriadi Sambas dan Panorama Filsafat Modern karya K.Bertens. Ditulis sambil menghisap rokok, segelas kopi yang telah dingin, perut yang lapar dan sejumput kemauan untuk menulis. Rabu memang hari yang jarang saya gunakan untuk liburan, meskipun libur. 

Jumat, 27 Juli 2012

Otonomi? Legitimasi komersialisasi?

Oleh :
Isman R Yusron
(Ketua Umum Unit Pers Mahasiswa UPI)

Babak baru otonomi Perguruan Tinggi (PT) kini dimulai. Sejak disahkannya UU Dikti pada 13 Juli lalu, berakhirlah perjalanan panjang rancangan UU Pendidikan Tinggi yang sarat kontroversi. Meski telah disahkan, bukan berarti UU ini tidak menyisakan persoalan. Banyak hal yang perlu di kaji kembali atas disahkannya UU ini, terutama subtansi pasal per pasal yang multi tafsir dan rentan untuk dipermainkan. Seperti kita fahami bersama, telah kentara motif begitu “keukeuhnya” pemerintah beserta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sebelumnya telah berbadan hukum (BH) untuk segera mengesahkan UU Dikti ini. Tak lain, motif utamanya ialah legitimasi bagi PT untuk memiliki otonomi yang luas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Lantas bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Benarkah otonomi PT merupakan solusi dari carut marutnya kondisi pendidikan negeri ini?
Berbicara mengenai begitu keukeuhnya PT harus memiliki otonomi, banyak hal yang memang menjadi faktor yang perlu dikaji. Bagi perguruan tinggi, otonomi memang diperlukan. Meski begitu, otonomi bukanlah hal yang mutlak diperlukan, apalagi otonomi yang sifatnya luas bahkan tak terbatas. Otonomi bagi PT diperlukan hanya dalam hal kebebasan mimbar akademik dan independensi dalam pengelolaan penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Pasalnya, independensi ini akan menjadi landasan utama untuk PT dapat mengembangkan wahana keilmuan yang disesuaikan dengan corak dan kultur perguruan tinggi. Generalisasi dalam bidang akademik akan serta merta mengekang kebebasan pengembangan akademik masing-masing perguruan tinggi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memerlukan otoritas keilmuan yang tak dibatasi agar dapat berkembang dan memiliki daya saing.
Meski begitu, otonomi dalam hal lain yang sifatnya tidak berhubungan dengan pengembangan akademik, seperti dalam hal pengembangan fisik apalagi usaha komersil bukan hal yang urgent bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi, adalah lembaga yang seharusnya memiliki fokus utama dan konsen terhadap pengembangan kualitas pendidikan. Persoalan pembiayaan untuk mengembangkannya sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab negara secara penuh. Landasan mengenai hal ini telah lama termaktub dalam amanat UUD 1945 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Selain itu, kualitas berkembangnya suatu negara sudah mutlak ditopang oleh tingginya kualitas pendidikan di negaranya. Jadi, sudah jelas tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan secara keseluruhan merupakan titik tolak untuk membuat bangsa ini lebih baik dan berkembang.
Sekarang, kenyataan berkata lain. Esensi dari pemikiran diatas sudah lagi tak menjadi titik perhatian. Buktinya, beberapa kali pemerintah mencoba membuat sektor pendidikan sebagai komoditas komersial yang tidak pro rakyat. Seperti contoh, lahirnya UU BHP yang berujung pada kesimpulan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Selepas dibatalkan, seolah pemerintah tak kehabisan akal dengan meluncurkan UU Dikti yang substansinya tak jauh beda. Ruhnya masih sama, namun kemasan yang berbeda. Sebenarnya apa maksud dibalik semua itu?
Ada suatu fakta yang menegaskan bahwa memang UU Dikti ini begitu diperlukan. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) serta diratifikasinya berbagai perjanjian multilateral, Indonesia harus serta merta meliberalkan berbagai sektor, termasuk pendidikan. Educational Service adalah salah satu dari 12 sektor yang dikenakan peraturan WTO (Nasionalis, 2012). Implikasinya, Indonesia harus taat terhadap amanat dari Bank Dunia dalam Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang kurang lebih isinya : “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN Higher Education Is a legal subset of BHP” (Nasionalis, 2012).
Tafsiran dari amanat Bank Dunia diatas menjadi motif utama kenapa perlu adanya UU Dikti. Pasalnya, saat UU BHP ditetapkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, BHMN jelas tak memiliki payung hukum yang menaungi. Sedangkan, PT berbadan hukum mutlak merupakan instruksi dari Bank Dunia diatas. Maka, UU Dikti adalah cara mengembalikan UU BHP agar liberalisasi sektor pendidikan tetap bercokol. Hal ini jelas menggambarkan bahwa UU Dikti dibuat tak lain untuk memuluskan kepentingan kapitalis dan liberalis agar dapat menjadikan pendidikan sebagai komoditas komersial. Tujuannya adalah kepentingan keuntungan finansial yang jauh dari nilai pendidikan apalagi pro rakyat miskin.
Maka, jangan heran banyak pihak yang menyatakan bahwa UU Dikti ini bukan cara memberikan otonomi keilmuan di perguruan tinggi, melainkan legitimasi praktik-praktik komersialiasi pendidikan tinggi khususnya PT berbadan hukum. Dan memang jelas kenyataannya seperti itu, motifnya pun bisa kita baca. Artinya, UU Dikti bukanlah bagian dari solusi, melainkan masalah baru dan sangat tak merubah kondisi apapun.
Pakar pendidikan, Darmaningtyas menyimpulkan bahwa lahirnya UU Dikti ini tidak akan mengubah kondisi buruk masyarakat selama ini dalam mengakses pendidikan tinggi yang bermutu (Suara Pembaruan, 19 Juli 2012). Ia menganalisa bahwa kondisi keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan tidak akan berubah dengan atau tanpa adanya UU Dikti. Terbukti, pasal-pasal yang termaktub dalam UU Dikti malah memberikan legitimasi bagi PT khususnya PT yang memilih untuk memiliki badan hukum untuk seluas-luasnya “mempermainkan” lembaga pendidikan tinggi. Seperti dalam pasal 65 UU Dikti, yang memberikan otonomi luas dalam penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai sektor : Akademik dan Non Akademik. Parahnya lagi, legitimasi komersialiasi jelas kentara dengan memberikan wewenang kepada PT berbadan hukum untuk melenceng dari tujuan utama lembaga pendidikan yakni wewenang untuk memiliki badan usaha. Bahkan, segala aset fasilitas berhak digunakan untuk kepentingan pembiayaan, yang artinya komersialisasi tetap berlaga.
Jelas ini memberikan kesempatan praktik buruk BHMN kembali dilakukan di perguruan tinggi. Bahkan, legitimasinya sangat kuat dengan munculnya UU Dikti ini. Salah satu contoh, keluhan masyarakat mengenai mahalnya biaya pendidikan tidak akan teratasi dengan lahirnya UU Dikti ini. Lihat saja pada pasal 73 ayat 1 yang menyatakan bahwa : Penerimaaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. “Bentuk Lain” ini sangat menimbulkan tafsiran yang luas, dan rentan dipergunakan untuk kepentingan komersial. Seperti contoh, Ujian Masuk Mandiri atau sejenisnya yang penetapan tarifnya sangat mahal. Dan legitimasi untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat, ada dalam celah-celah komersial UU Dikti.
Selain itu, dalam pasal 83 sampai 89 tentang pembiayaan pendidikan tinggi, memberikan kesempatan PT untuk mematok harga selangit untuk satu kursi bangku kuliah. Masyarakat dan mahasiswa akan menjadi tumpuan pemasukan keuangan PTN (Darmaningtyas, 2012). Legitimasi PTN khususnya PT BHMN untuk melakukan praktik komersial jelas diberikan ruang yang cukup banyak. Dalam Pasal 87 tercantum : “Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada PT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Terbuka jelas kesempatan bagi PT untuk memperjualbelikan segala aset dan kekayaan yang dimilikinya kepada mahasiswa dengan tarif yang bisa saja seenak perutnya. Beban pembiayaan aset dan kekayaan akan diberikan kepada pengakses PT tersebut : Mahasiswa. Misalnya, ruang kuliah, ruang kegiatan mahasiswa, fasilitas, dan bahkan tak ada sejengkal pun ruang di kampus yang tak bisa dijadikan komoditas komersial. Bisa jadi hanya jalan-jalan atau nongkrong di kampus saja harus bayar. Tampak jelas komersialisasi dalam hal ini.
Belum lagi Internasionalisasi pendidikan. Tak hentinya pasal ini diperdebatkan dan bahkan dikecam, tapi tetap saja dicantumkan. Dalam Pasal 90 UU Dikti ini termaktub bahwa PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Ini jelas merupakan langkah untuk membunuh PT domestik. Ayat liberalisasi ini membuka kesempatan sektor pendidikan bak perdagangan di pasar. Membunuh persaingan dalam negeri. Dan efeknya bisa jadi menjadikan masyarakat indonesia sebagai kuli terdidik. Liberalisasi sektor pendidikan memang diharapkan oleh pihak kapitalis agar dapat meraup keuntungan di negara ini. Akhirnya, bukan menjadikan kualitas pendidikan menjadi lebih baik, sebaliknya hanya dapat mencengkram dan memonopoli persaingan potensi nasional. Internasionalisasi ini bisa saja terjadi seperti UU Migas, akan ada alih teknologi (metode) pendidikan tapi akhirnya pihak asing malah mencengkram. Mahasiswa kita malah menjadi kuli terdidik. (Faris, 2012)
Juga yang perlu menjadi perhatian utama ialah kebebasan mahasiswa. Dalam UU Dikti ini, pada pasal 14 dan 15, tercantum bahwa posisi organisasi mahasiswa sebagai civitas akademika. Pada pasal 15 dijelaskan bahwa kegiatan kampus diatur dalam peraturan menteri. Pasal-pasal itu bertendensi mengembalikan mahasiswa ke zaman NKK/BKK. Mungkin akan dengan kedok yang lebih baru, dan sarat akan kamuflase. Ditambah lagi di saat PTN memilih berbadan hukum, privatisasi sangan memungkinkan, sehingga posisi gerakan mahasiswa adalah posisi yang paling rawan untuk dibungkam. Otonomi memberikan kebebasan bagi PTN untuk mengusir pihak yang merongrong kekuasaan termasuk dosen dan mahasiswa. Sehingga, pembungkaman dengan berkedok “akademik”  akan segera menghantui.
Banyak lagi sederet kontroversi dari disahkannya UU Dikti ini. Kenyataan ini merupakan kemunduran dari kondisi pendidikan di negeri ini. Semuanya tak ada yang pro terhadap rakyat, yang jelas terlihat hanya liberalisasi dan komersialiasi pendidikan sebagai akal bulus para kapitalis.
BO PTN
Baru-baru ini, pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan menghembuskan angin segar yang tak lebih dari kamuflase menyembunyikan kenyataan buruk diatas. Pemerintah berencana menggelontorkan dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai biaya operasional Perguruan Tinggi Negeri (BO-PTN). BO PTN ini nantinya akan digunakan untuk menutupi keperluan biaya operasional seperti uang gedung dan fasilitas, honor dosen, serta biaya operasional lainnya selain dana yang bersumber dari SPP. Sehingga, dengan adanya BO-PTN ini, mahasiswa baru yang diterima di PTN hanya akan membayar biaya SPP per semester saja. Gelontoran dana yang bersumber dari APBN ini memiliki besaran 5-6 triliun. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendapat jatah BO-PTN ini sebesar 26 miliar.
Kebijakan ini memang perlu di apresiasi, karena memang merupakan upaya nyata untuk mengurangi beban masyarakat yang mengakses perguruan tinggi. Bahkan pemerintah menjamin bahwa masyarakat hanya akan membayar tak lebih dari kisaran 1-2 juta rupiah per smesternya. Mendikbud menegaskan bahwa BO PTN ini, selain agar dapat menyediakan pendidikan tinggi terjangkau bagi masyarakat, juga sebagai upaya untuk menanggulangi “kreatifitas” rektor untuk mengeruk dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat. (Pikiran Rakyat, 23 Juli 2012) Tak dapat dimungkiri menurut M.Nuh bahwa yang menyebabkan biaya masuk PTN kian mahal ialah hasil dari kongkalikong serta sederet skenario rektor menyamarkan perampokan berkedok biaya gedung dan fasilitas. Kini melalui BO-PTN, pemenuhan biaya uang gedung dan fasilitas tidak lagi di bebankan kepada masyarakat, melainkan ditanggung APBN.
Tapi, begitu segarnya kabar ini tak juga menghilangkan kesangsian atas komersialiasi pendidikan. Meskipun adanya BO PTN ini dinaungi oleh kedudukan hukum UU Dikti yang baru saja disahkan, namun UU Dikti ini sendiri juga yang memberikan legitimasi bagi PTN yang berbadan hukum untuk dapat melakukan praktik-praktik komersialisasi. Bisa saja uang gedung dan dana pengembangan kampus mungkin dihapus, tapi bagaimana dengan celah dari berjubel aset negara yang dikelola secara otonom oleh PTN berbadan hukum? Pasal 65 UU Dikti sendiri memperbolehkan PTN berbadan hukum untuk mengkomersilkan segala yang dimiliki. Artinya biaya mahal akan tetap mahal, karena toh yang menentukan semua di komersilkan adalah otonomi masing-masing birokrat kampus.
Akhirnya, BO-PTN ini tak lebih dari hanya angin surga saja yang hanya kamuflase. Iming-iming dari pembebasan biaya gedung bukan berarti tak bisa mengkomersilkan segala aset dan fasilitas lainnya. Pengaruh buruknya, PTN bisa saja mendirikan berbagai program studi yang “mengada-ada” untuk meraup keuntungan lebih banyak berkedok kebutuhan masyarakat. Akhirnya kurang lebih nasib PTN berbadan hukum bak toko kelontong atau toserba yang prodinya serba ada. Sehingga keajegan keilmuan perguruan tinggi, yang memang merupakan amanat utama, tak lagi menjadi perhatian utama. Yang menjadi perhatian utama jelas profit oriented. Jadi, BO PTN ini mungkin memang membantu, tapi tak dapat merubah citra negatif dan hasrat utama yang selama ini ada di PT berbadan hukum dimana meraup keuntungan adalah tujuan utamanya.
Ditambah lagi, seperti jejak-jejak sebelumnya mengenai bantuan negara, selalu tak lepas dari penyimpangan dan penyelewengan. Jejak rekam yang buruk menguatkan kesangsiang bahwa BO PTN ini akan efektif meringankan beban masyarakat mengakses perguruan tinggi. Seperti contoh, sistem APBN yang turun bulan Oktober adalah sebuah masalah yang memberikan celah karena kebutuhan PTN umumnya bulan Agustus. Celah ini bisa saja dimodifikasi menjadi skenario baru untuk meraup keuntungan. Sehingga, kontrol atas pemberlakuan kebijakan ini memang perlu benar-benar ketat. Mahasiswa harus banyak menjadi watch dog dalam penggunaan anggaran negara ini.

Melihat konteks di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang nantinya mendapat bantuan sekitar 26 miliar rupiah, hingga kini “seperti biasa” belum menentukan poin mana yang diturunkan tarifnya. Kendati perintah menurukan tarif kuliah dari mendikbud sudah terlontar, tanggapannya hanya enteng “UPI belum memutuskan, masih dikaji,” kata Rektor. Sudah dapat tergambar, belum ditetapkan menjadi PT berbadan hukum yang otonom saja sudah berlagak otonom, apalagi setelah benar-benar jadi otonom? Tantangan melawan penguasa otoriter yang menindas kian berada di depan mata. Selamat berjuang!

Kamis, 17 Mei 2012

Sebuah Hipotesa : Mengkonseling Diri Sendiri?

Selamat waktu anda membaca tulisan ini! Bertemu lagi dengan tulisan saya, sudah lama kiranya saya tak menulis. Kesibukan saya bersenang-senang sungguh menguras energi dan waktu, akhirnya saya jadi jarang menulis disini. Namun, sekarang saya menulis lagi, dikala bosan, saya jadi mendapatkan sebuah inspirasi, selamat membaca.. :D
Begini kawan,
Pernahkah kawan-kawan calon konselor bertanya kenapa kita tidak bisa mengkonseling diri sendiri? Kawan pernah berharap dan mencoba untuk dapat mengkonseling diri sendiri, atas permasalahan yang tengah menimpa? Dan itu selalu gagal? Kenapa?
Mari kita coba mengkaji persoalan ini, pasalnya ini hal yang mendasar yang perlu difahami secara komprehensif. Kita tahu bahwa tugas konselor adalah untuk membantu klien/konseli yang tengah mendapatkan permasalahan. Namun, suatu fenomena terjadi bahwa kita jarang berhasil untuk menerapkan ilmu konseling kepada diri kita sendiri.
Ini mungkin terdengar klasik, namun ini menjadi suatu kajian yang menarik jika didalami. Baiklah, kita mulai analisa mengenai persoalan kenapa masalah itu muncul. Dalam konsep Psikodinamika, suatu permasalahan muncul disaat terdapat konflik antara das Es, das Ich dan das Uber Ich. Sederhananya ialah, saat apa yang diharapkan (dinamika das Es) tidak sesuai dengan apa yang didapatkan. Tapi teori tentang masalah, tentunya banyak sekali apalagi dipandang dari berbagai perspektif. Namun, sederhananya, katakanlah seperti itu.
Dalam kacamata Psikodinamika, segala hal yang identik dengan aktifitas psyche, merupakan sebuah energi.  Lebih tegas, mbah Freud menekankan bahwa energi ini pada dasarnya berasal dari dinamika das Es tadi.  Artinya, segala kebutuhan yang sifatnya biologis atau kebutuhan dasar merupakan sumber energi. Selanjutnya, energi yang dihasilkan lalu didistribusikan kepada das Ich dan das Uber Ich, yang lebih lanjut proses ini disebut sebagai Identifikasi.
Konsep identifikasi ini, dicetuskan oleh Freud tentunya sebagai sang empu Psikodinamika. Meskipun awalnya Freud menyebut Identifikasi ini merujuk pada mekanisme distribusi energi das Es, das Ich dan das Uber Ich, namun selanjutnya Identifikasi ini tak hanya dibatasi oleh internal diri, namun juga dapat dilakukan untuk distribusi kepada jiwa yang lainnya (Semiun, 2006). Artinya, saluran energi yang dihasilkan das Es ini dapat disalurkan pula kepada pribadi yang lain.
Hal ini yang menjadi titik tolak hipotesa saya tentang kenapa kita tidak dapat mengkonseling diri sendiri. Dalam jiwa kita, dinamika kepribadian senantiasa beraktifitas dan didistribusikan secara seimbang. Itu memang idealnya, namun pada saat muncul apa yang disebut sebagai “masalah”, maka dapat diartikan bahwa masalah itu merupakan sebuah energi yang menumpuk dan tak dapat didistibusikan.
Timbunan energi jiwa kita akan terus menumpuk seiring dengan tidak adanya Identifikasi yang seimbang dalam dinamika struktur kepribadian. Maka dari itu, semakin kita memikirkan masalah itu bagaimana untuk dapat segera diatasi, maka sebenarnya das Es tengah mengeluarkan energi-energi yang baru. Karena, pada dasarnya das Es menginginkan diri untuk tidak mengalami masalah. Sebuah keinginan das Es inilah yang merupakan sebuah “masalah”.
Timbunan konflik dari das Es, das Ich dan das Uber Ich ini, di saat Identifikasi tidak berjalan dengan baik, atau dengan kata lain tidak disalurkan, maka semakin lama akan semakin membuat fikiran kita kacau. Sebuah analogi mengenai hal ini, kita ibaratkan sebagai segelas kopi panas. Air kopi yang suhunya panas, jika derajat suhunya terus naik, maka yang terjadi adalah gelas yang pecah akibat kapasitas gelas untuk menahan panas sudah terlalu overheat. Begitupun dengan jiwa kita, semakin masalah dalam diri kita terus dirangsang untuk menghasilkan energi yang baru, maka yang terjadi adalah pecahnya kepribadian kita.
Dalam situasi tersebut, maka jiwa akan mencari-cari medium untuk menyalurkan energi psikis yang tengah bergejolak. Atas hal itu, maka muncullah apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan ego. Dimana ketika energi psikis sudah overheat, maka jiwa ini akan mencari cara bagaimana melepaskan energi tersebut. Akhirnya, ketika salah dalam menyalurkannya, muncullah apa yang dinamakan sebagai maladjustment.
Jadi, apa hubungannya dengan hipotesis tentang kita tidak dapat mengkonseling diri kita sendiri? Begini kawan, seperti halnya tadi yang telah diuraikan, saat mendapatkan masalah das Es mengeluarkan energi instingtif dengan berbagai bentuk. Saat kita berusaha mengkonseling diri sendiri, atau dengan kata lain mencoba menyelesaikan masalah jiwa kita sendirian, artinya kita tengah menambah energi yang dikeluarkan oleh das Es. Yang terjadi, bukanlah masalah itu terselesaikan, melainkan hanya memperbanyak pengeluaran energi jiwa namun tak tersalurkan. Adapun saat kita merasa bahwa masalah kita teratasi sementara, maka perlu di introspeksi apakah diri kita tengah melakukan defence mechanism?
Jika ya, berarti itu bukan masalah yang selesai, namun permasalahan justru bertambah. Lalu apa solusinya? Akhirnya, seperti disinggung sebelumnya, kita perlu mendistribusikan energi jiwa kita kepada medium yang tepat. Analoginya, penyaluran energi ini seperti saat kopi panas tadi sudah sedemikian panas, maka berikanlah sendok. Maka, energi panas yang dihasilkan akan tersalurkan kepada sendok, dan suhu dari kopi panas tersebut akan semakin normal dan seimbang.
Begitupun, saat kita mengalami masalah, jangan kita memunculkan kehendak-kehendak baru bahwa masalah itu dapat segera diatasi. Namun, carilah medium yang lain yang dapat membuat kita menyalurkan energi tersebut, dan menjadikan “suhu” energi kita menjadi normal. Nah, disinilah konseling memiliki posisi, yakni memberikan bantuan sebagai medium untuk menyalurkan energi konseli. Makanya, muncul sebuah keyakinan bahwa saat konseli menceritakan permasalahannya kepada konselor, maka sebenarnya setengah dari masalahnya telah teratasi. Namun, secara teoritis hal ini merupakan bagian dari proses distribusi energi dalam konsep Psikodinamika.
Meski begitu, penting digarisbawahi bahwa penyaluran energi ini harus pada medium yang tepat. Karena, jika tidak tepat, maka akan muncul maladjustment yang berbahaya. Misalnya, ketika mendapat masalah, lalu kita menemukan medium Narkoba, akhirnya kita terjerat dalam Narkoba. Kita menemukan medium alat seksual, maka akan terjerumus pada free sex. Menemukan medium motor, maka akan ugal-ugalan dijalan atau ikut geng motor. Lantas ketika kita menemukan medium jiwa, namun jiwa tersebut sama “panasnya” (lingkungan sosial yang bermasalah) maka yang terjadi adalah kebakaran. Hehe.. Namun, saat kita menemukan medium Konselor, atau jiwa yang memahami bagaimana menyalurkan energi tersebut, maka niscaya kondisi jiwa kita akan senantiasa normal.
Sekian mungkin yang bisa saya sampaikan, semoga tidak muak dengan tulisan saya. Saya ucapkan terimakasih atas kesediaannya membaca tulisan saya.

*menulis dikala bosan dan di sela-sela kesibukan bersenang-senang, ditemani beberapa batang Rokok dan segelas Aqua.