Review
Artikel :
Major
psychological dimensions of cross-cultural differences: Nastiness, Social
Awareness/Morality, Religiosity and broad Conservatism/Liberalism.
Lazar Stankov, Learning and Individual Differences 49 (2016) 138–150.
Reviewer : Isman Rahmani Yusron
Perbedaan kultur diantara berbagai
wilayah, region dan negara yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan.
Masing-masing masyarakat di area terdekatnya, berkecenderungan untuk
dipengaruhi dan mempengaruhi cara pikir, pola hidup, tatanan masyarakat,
politik dan berbagai elemen kultur lainnya. Konsensus masyarakat yang diakui
secara luas menghasilkan sebuah budaya tertentu dengan sekumpulan karakteristik
sistem nilai yang mendasar pada kehidupan. Dalam sudut pandang psikologi,
budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakteristik individual maupun
masyarakat. Meski terbilang abstrak, elemen-elemen kultur yang menjadi basis
nilai dan perilaku individu dapat menjadi variabel yang membedakan sekaligus
menggambarkan suatu budaya dengan budaya lainnya.
Atas
dasar hal itu, timbul suatu pertanyaan mengenai dimensi psikologis apa yang
menjadi variabel utama dalam membedakan suatu kultur masyarakat tertentu dengan
kultur masyarakat lainnya? Serangkaian studi yang dilakukan Lazar Stankov (2016) yang diterbitkan dalam jurnal Learning
and Individual Differences, mencoba menemukan dimensi psikologis pokok yang
membedakan perbedaan kultural. Penelitian ini dilakukan kepada 8883 partisipan
di 33 negara di dunia dengan mengujikan seperangkat pengukuran yang mencakup
kepribadian, sikap sosial, norma sosial, dan berbagai dimensi psikologis untuk
menghadirkan faktor dimensi utama yang membedakan antar budaya.
Penelitian
yang dilakukan Stankov pada kurun 2009-2012 ini menggunakan 4 dimensi konstruk
non kognitif meliputi tes Big Six personality yang dimodifikasi, skala sikap sosial
(Social Attitude and Values), Social Axioms, dan Social Norms (four GLOBE
dimension). Partisipan merupakan mahasiswa dari 33 negara yang datanya diambil
secara daring dengan seperangkat konstruk tadi yang dinamakan Survey of World
Views. Rerata usia dari partisipan dalam penelitian ini adala 22.32 tahun
dengan standar deviasi 5,62 dan 57% diantaranya merupakan perempuan. Ke-33
negara yang menjadi sampel penelitian ini diklasifikasikan kedalam 9 wilayah
region yakni Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin,
Timur Tengah/Afrika Utara, Eropa Barat, wilayah Anglo, dan Asia Timur.
Penelitian
ini bertujuan untuk menemukan dimensi laten yang bermakna untuk membedakan
dimensi psikologis antar kultur. Menyusun alat ukur dan menemukan dimensi
perbedaan kultural dalam kaitannya dengan effect size; dan untuk melihat posisi
negara-negara yang berbeda berdasarkan pengukuran ini. Dimensi-dimensi yang
diujikan antara lain Honesty, Originality, Resilience, Agreeableness,
Conscientiousness dan Extraversion, yang bergabung dalam konstruk The Big Six
model (Ashton et al., 2004 dalam Stankov, 2016). Selanjutnya dimensi Morality,
Nastiness dan Religiousity yang tergabung dalam konstruk Social Attitudes and
Values. Kemudian dimensi Social Complexity, Religiousity, Reward for Application,
Social Cynism dan Fate Control yang tergabung dalam konstruk Social Axioms.
Terakhir, dimensi Humane Orientation,
Uncertainty Avoidance, Power Distance dan Gender (non) Egalitarianism yang
merupakan dimensi dari Social Norm (four GLOBE dimension). Delapan belas
dimensi ini ditambah satu dimensi berdasar literatur antropologis yakni
Regulatory Norms yang menggenapi konstruk dari Social Norm.
19
dimensi yang menjadi instrumen Survey of The World ini, dijadikan bahan dasar
dalam membangun konstruk psikologis utama yang membedakan antar budaya. Untuk
mendapatkan konstruk ini, penelitian melakukan analisis data menggunakan teknik
faktor analisis untuk mencari faktor utama dalam perbedaan kultural. Korelasi
antar variabel dari data yang diambil, berkumpul pada faktor-faktor yang
sebangun dan menjadi sebuah konsep dan faktor baru. Melalui teknik analisis
faktor exploratori, ke 19 dimensi terekstraksi dan berkumpul membangun faktor
yang saling berkorelasi. Melalui teknik ini ditemukan 3 solusi faktor. Kemudian
hasil ini lalu diuji menggunakan teknik analisis faktor konfirmatori, dengan
solusi tiga faktor. Berdasarkan hasil dari analisis exploratori dan
konfirmatori, maka ditemukan 3 faktor dengan konstruk konseptual yang baru.
Dari
hasil analisis faktor, variabel social complexity, morality, reward for
application, dan power distance berkumpul menjadi satu faktor yang memiliki
korelasi tinggi antar variabel. Variabel ini menjadi variabel utama yang
membangun konstruk konseptual Social Awareness/Morality. Melalui analisis
eksploratori dan konfirmatori, variabel originality, extraversion, dan
conscentiousness menjadi variabel tambahan yang termasuk pada faktor Social
Awareness/Morality ini. Variabel yang tergabung dalam faktor ini berhubungan
dengan ciri kehidupan komunal dan interaksi kuat sesama manusia. Orang dengan
skor tinggi pada faktor ini memiliki kesadaran sosial yang lebih dan mendukung
perilaku moral yang mempermulus kehidupan sosial serta menghindari friksi
antara anggota kelompoknya (Stankov, 2016, p. 142).
Selanjutnya,
hasil analisis menemukan variabel Nastiness, Social cynism, Fate control,
Gender (non) egalitarianism, dan Regulatory norms, berkorelasi antar variabel
dan berkumpul menjadi inti dari faktor kedua. Variabel honesty, korelasinya
menonjol melalui eksploratori dan confirmatori bersama faktor ini. Stankov
menamakan gabungan variabel ini sebagai Nastiness/Social dominance, karena
konten variabel yang bergabung pada faktor ini menggambarkan konsep mengenai
Nastiness/Social dominance. Faktor ini, menjadi faktor yang berlawanan dengan
konsep pada faktor pertama yakni Social Awareness/Morality. Faktor ini
menggambarkan suatu konsep seseorang yang pro terhadap kekerasan, perilaku
sosial yang amoral, interes pribadi yang berlebih, kecenderungan pro terhadap
agresi, dendam dan materialisme.
Faktor
ketiga yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan variabel religiousity
yang berasal dari dimensi Social attitudes, dan religiousity yang berasal dari
dimensi Social axioms, memiliki korelasi yang tinggi dan berkumpul pada faktor
ketiga. Selanjutnya melalui analisa exploratori dan konfirmatori, variabel
Conscientiousness, morality, dan reward for application serta satu variabel
dari Four Globe yakni humane orientation, secara meyakinkan berkumpul membentuk
konstruk faktor ketiga. Faktor ini dinamai dengan faktor Religiousity, yang
pada data ini juga secara umum saling berhubungan prosesnya dengan Faktor
pertama. Berdasarkan hasil dari Analisis Faktor, muncullah konstruk faktor
utama yang teruji untuk dijadikan faktor utama dalam membedakan perbedaan
kultural secara psikologis. Berdasarkan hasil data, masing-masing memiliki
kekhasan masing-masing dengan korelasi yang rendah, kecuali faktor religiousity
yang berkorelasi dengan kedua faktor lainnya.
Dari
ketiga faktor yang didapat, korelasi intraklas menunjukkan nilai dari
masing-masing faktor sebagai berikut; Social Awareness/Morality, memiliki nilai
korelasi intraklas yang rendah yakni 0.093 yangberarti bahwa faktor ini tidak
menjadi poin utama dalam perbedaan kultural. Dengan kata lain, setiap budaya
memiliki faktor ini dalam kebudayaannya. Selanjutnya, ditempat kedua,
Nastiness/Social dominance diantara negara menjadi faktor yang cukup besar
dalam membedakan antar kultur dengan poin korelasi intraklas 0.217. Terakhir
Religiousity, menjadi faktor yang paling
utama untuk menandakan perbedaan antar budaya dengan nilai korelasi intraklas
0.423.
Setelah
melalui analisis data menggunakan tiga faktor ini, didapatkan hasil bahwa dari
faktor pertama yakni Social Awareness/Morality, kebanyakan negara
memperlihatkan hasil yang sama dan setara. Maroko hanya satu-satunya negara
yang memperlihatkan hasil yang sangat rendah, dan peneliti tidak bisa
menjelaskan perilaku orang-orang Maroko yang tidak biasa ini. Sebagai konsekuensinya,
region timur tengah, memiliki nilai paling rendah pada faktor ini. Perbedaan
antara skor tertinggi yakni Amerika latin (0.361) dengan yang paling rendah
yakni Timur tengah (-0.404) adalah 0.765 standar deviasi. Sedangkan jika digantikan
dengan nilai terendah kedua yakni Asia
timur (-0.015), perbedaannya menurun 0.466. Ini berarti jika tak ada anomali
data dari Maroko, maka sebenarnya perbedaan skor pada faktor ini sangat kecil.
Level skornya hampir sama, dengan kata lain dari faktor Social Awareness/Morality,
masing-masing negara memiliki kesamaan kultur.
Faktor
kedua yakni Nastiness/Social dominance, membuat wilayah negara terbagi dua.
Skor yang tinggi dari faktor kedua ini diperlihatkan oleh negara-negara Asia
tenggara, Sub-Sahara afrika, Asia selatan, dan Asia timur. Hal ini berarti,
bahwa negara-negara ini memiliki kesamaan kultural dari segi Nastiness/Social
dominance yang tinggi. Sedangkan negara-negara kaukasia yakni Amerika latin,
Eropa barat, Eropa timur dan negara Anglo memiliki nilai rendah pada faktor
kedua ini. Peneliti memberi catatan, negara-negara Muslim dari timur tengah dan
afrika utara berada diposisi tengah-tengah (Stankov, 2016, p. 144). Perbedaan antara skor faktor kedua
yang tertinggi yakni Asia tenggara (0.829) dan terendah yakni Eropa barat
(-0.923) yakni 1.752 standar deviasi. Hasil ini memperlihatkan perbedaan yang
signifikan antara situasi kultur di negara belahan asia dengan kaukasia dalam
hal Nastiness/Social dominance.
Pada
faktor ketiga, yakni Religiousity, region Asia tenggara, Sub-Sahara Afrika dan
Asia selatan mendapatkan skor Religiousity yang paling tinggi. Skor tertinggi
pada faktor ketiga ini diperoleh region Asia tenggara dengan rerata 0.957, dan
Malaysia menjadi negara dengan Religiousity tertinggi dengan rerata 1.451
(0.844). Negara-negara eropa timur, anglo, asia timur, dan beberapa negara
eropa barat mendapatkan skor yang rendah dari faktor ini. Amerika latin dan
timur tengah berada di pertengahan dan wilayah rerata. Perbandingan nilai region
tertinggi dengan terendah yakni eropa barat (-1.156) adalah 2.113 standar
deviasi, dengan menempatkan negara Jerman sebagai negara dengan skor
Religiousity terendah.
Gambaran
menarik muncul jika melihat bentuk dari perbandingan data antara Religiousity
dengan Nastiness/Social dominance. Pada negara-negara Confusian (Asia timur),
menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam Nastiness/Social dominance dibandingkan
faktor Religiousity yang rendah. Disisi lain, region asia lainnya yakni Asia
tenggara dan sebagian dari Sub-Sahara Afrika, mendapatkan skor yang tinggi
dalam Religiousity namun lebih rendah faktor Nastiness/Social dominance darinya.
Meskipun secara keseluruhan dari kebanyakan negara memiliki korelasi yang
tinggi dan bernilai sejajar dari kedua faktor ini di masing-masing region.
Hanya dua region yang tadi yang menunjukkan ketidak sejajaran dimana di wilayah
confusianism, menunjukkan rendahnya skor Religiousity dengan skor Nastiness
lebih tinggi sedikit dari area rata-rata sedangkan Asia tenggara sedikit lebih
tinggi dari rerata dalam faktor Nastiness namun sangat tinggi skor faktor
Religiousity.
Selanjutnya
hasil data menunjukan sebuah bentuk baru, terutama saat dilakukan analisa
struktur melalui eksploratori dan konfirmatori analisis antar negara.
Berdasarkan hasil analisa data, faktor loading muncul dari variabel variabel
Religiousity, Gender (non) Egalitarianism dan Humane orientation. Bersandar
pada penelitian sebelumnya, ketiga dimensi yang bergabung ini dapat
didefinisikan sebagai faktor Conservatism/Liberalism. Penelitian Stankov (2009)
sebelumnya juga menunjukkan bahwa Conservatism berkorelasi negatif dengan keterbukaan
pada pengalaman, yang juga erat berhubungan skala Originality studi ini. Dan
dimensi-dimensi tersebut dapat menjadi faktor Conservatism/Liberalism yang
mengukur perbedaan antar negara.
Hasilnya,
melalui faktor Conservatism/Liberalism ini yang mendapat skor tinggi dalam
faktor yakni Nepal (109.91), Tanzania (109.47), India (108.92), Kenya (108.11)
dan Malaysia (107.98). Negara-negara dengan skor tinggi dalam faktor ini
didefinisikan sebagai negara-negara konservatif dan tidak liberal. Kontras,
dengan negara-negara yang mendapatkan skor rendah dari faktor ini yakni Belanda
(87.46) dan Jerman (88.66), dimana dapat didefinisikan sebagai negara-negara
yang menganut Liberalism. Meski tidak berkaitan secara langsung dengan
faktor-faktor psikologis, namun faktor ini menggambarkan eratnya hubungan bahwa
negara-negara miskin dan berkembang bertendensi memiliki kultur yang
konservatif atau menganut konservatism. Sebaliknya, negara-negara yang sudah
berkembang dan maju, berkaitan erat dengan variabel-variabel yang menunjukkan
Liberalism. Jika dikaitkan dengan faktor Religiousity, juga memunculkan
korelasi yang positif dimana skor Religiousity yang tinggi berhubungan dengan
tingginya skor konservatisme. Sebaliknya, Belanda dan Jerman dengan
Religiousity yang rendah, juga memiliki skor konservatisme yang rendah.
Penelitian
ini berhasil untuk menemukan empat faktor psikologis yang digunakan dalam
perbedaan antar budaya. Keempatnya, dapat menjelaskan warna budaya dari segi
psikologis di masing-masing negara dan juga kawasan yang lebih luas. Implikasi
teoritisnya, penelitian ini menyajikan sebuah gambaran kombinasi warna budaya
yang unik sebagai bahan untuk membedakan suatu kultur dengan kultur tertentu
secara psikologis. Hasil data yang ditunjukkan cukup memuaskan dalam
menjelaskan kondisi psikologis antar budaya. Penelitian ini dapat dijadikan
bahan landasan teoritis bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam wilayah
yang mikro terutama kaitannya dengan Indonesia. Misalnya apakah empat faktor
ini dapat menjelaskan perbedaan budaya secara psikologis antar wilayah dalam
suatu negara yang sangat multikultur seperti indonesia?
Akan tetapi,
penelitian ini bukan tanpa kritik. Seperti dijelaskan oleh penelitian ini,
sampel subjek yang diambil merupakan penelitian kepada para mahasiswa di
masing-masing negara. Memang selama ini, penelitian cross culture psychology
kebanyakan meneliti perbedaan budaya dengan sample mahasiswa. Namun, hal ini
menjadi pertanyaan, apakah sample mahasiswa dapat digunakan sebagai
representasi dari sebuah kultur masyarakat luas? Mungkin perlu juga ada sebuah
penelitian apakah kultur mahasiswa memiliki kesetaraan dengan kultur non
mahasiswa di suatu wilayah. Tak dapat dinafikkan, bahwa pengaruh proses
pendidikan dan berbagai arus informasi, dapat mempengaruhi sudut pandang kultural
dari individu dan bahkan menciptakan kultur sendiri. Sehingga, hal ini dapat
menjadi asumsi bahwa antara kultur mahasiswa dengan masyarakat non mahasiswa
memiliki representasi kultural yang berbeda. Sehingga hal ini menjadikan hasil
data dalam penelitian ini belum tentu mencerminkan situasi psikologis dalam
kultur suatu negara, namun hanya mencerminkan situasi psikologis dalam kultur
masyarakat tertentu (masyarakat terdidik) dari suatu negara.
Kritik lain
dari penelitian ini juga adalah banyaknya variabel yang diukur. Memang untuk
mendapatkan hasil pengukuran yang komprehensif maka harus menggunakan alat ukur
yang multidimensional. Akan tetapi, hal ini juga dapat berpengaruh pada hasil.
Selain itu efek dari pemahaman kultural dari konstruk yang dipakai. Tidak
menutup kemungkinan, alat ukur yang digunakan menghasilkan bias kultural karena
tidak dijelaskan ada pembahasan mengenai penyesuaian item pada masing-masing
budaya. Adaptasi item dan konsep pada kultur akan sangat penting karena terkait
dengan pemahaman yang tidak terlepas dari pengaruh budaya. Sehingga hal ini
memungkinkan akan menghasilkan pemahaman yang berbeda dengan apa yang
sebenarnya diukur. Seperti misalnya skor Faktor pertama di Maroko,
memperlihatkan hasil yang tidak biasa. Bisa jadi hal ini akibat dari pengaruh
budaya dalam memahami variabel-variabel yang diukur dalam faktor yang pertama.
Secara umum,
penelitian ini membuka cakrawala pemahaman psikologi antar budaya. Penelitian
ini menyediakan bahan yang menarik untuk penelitian-penelitian cross culture
psychology dimasa selanjutnya. Berbagai kekurangan dan kritik dalam penelitian
dapat dijadikan bahan yang mengundang keingintahuan untuk menghasilkan
penelitian-penelitian selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar