Review Artikel:
Are
conservatives happier than liberals? Not always and not everywhere.
Olga Stavrova, Maike
Luhmann. Journal of Research in
Personality 63 (2016) 29–35
Reviewer: Isman Rahmani Yusron
Penelitian ini mencoba memeriksa kembali beberapa
kesimpulan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai tingkat
kebahagiaan terkait ideologi yang dianut masyarakat. Beberapa penelitian
sebelumnya menemukan fakta yang menyebutkan bahwa penganut konservatisme
dilaporkan mendapat level kesejahteraan subjektif lebih tinggi daripada
penganut liberalisme (Bixter, 2015; Jetten, Haslam & Barlow, 2013;
Napier&Jost, 2008; Schlenker, Chambers & Le, 2012). Temuan ini kontras
dengan gambaran peneliti psikologi sebelumnya yang menggambarkan konservatif
sebagai ketakutan, kerapuhan, dan mudah terancam oleh ketidakpastian
(Adorno,Frenkel-Brunswik, Levinson, & Sanford, 1950). Studi lain yang
dilakukan oleh Onraet, Van Hiel, & Dhont (2013) melalui meta-analisis dari
9 studi menyebutkan terdapat hubungan positif yang signifikan meskipun kecil
antara politik konservatf di satu sisi dan kebahagiaan atau kepuasan hidup di
sisi lainnya. Temuan-temuan ini menggambarkan kebahagiaan suatu masyarakat,
terkait dengan konservatisme sosiopolitik.
Namun temuan-temuan tersebut memiliki keterbatasan yang
sama: studinya didasarkan pada data yang diambil di Amerika pada periode 1990an
hingga 2000 pada saat ideologi konservatif lebih besar daripada liberal.
Stavrova & Luhmann (2016) mencoba menguji kembali mengenai “happiness gap” antara
konservatif dan liberal yang ada pada periode berbeda di Amerika beberapa tahun
terakhir (Studi 1) juga pada 92 negara lainnya di dunia (Studi 2). Pada studi
ini Stavrova & Luhmann mencoba melakukan pengujian baru mengenai
ideological gap of happiness yang berakar pada literatur person-culture fit dan
shared reality. Studi ini mencoba meningkatkan pemahaman mengenai mekanisme
yang melatarbelakangi asosiasi positif antara ideologi konservatif dan
kebahagiaan. Penelitian ini melakukan pemeriksaan sistematis dari variasi antar
budaya dalam waktu tertentu dalam kaitannya antara ideologi politik dan
kebahagiaan.
Peneliti dalam penelitian
ini berasumsi bahwa penyesuaian individu terhadap lingkungannya juga berperan
terhadap munculnya kebahagiaan. Menurut perspektif person-cultur fit, individu
menunjukkan kepuasan yang tinggi dan penyesuaian psikologis saat atribut
personalnya sesuai dengan lingkungannya (Fulmer et al., 2010; Stavrova,
Schlösser, & Fetchenhauer, 2013). Hal ini menjadi poin pijakan dalam
mengkritisi beberapa penelitian sebelumnya terkait ideologi politik konservatif
yang berkorelasi positif dengan kebahagiaan. Berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan sebelumnya, banyak bukti yang menyebutkan bahwa pemilihan ideologi
dilandasi oleh keinginan untuk berafiliasi dengan kelompok sosial tertentu
disekitarnya (Greene, 1999; Stangor, Sechrist, & Jost, 2001). Dalam hal
ini, mendukung dan menjadi bagian dari ideologi politik tertentu dapat
memuaskan kebutuhan relasional, dan berhubungan dengan tingginya kebahagiaan.
Penelitian dari Kruglanski
& Orehek (2012) menyebutkan bahwa individu cenderung menerima informasi
baru sebagai kebenaran sejauh informasi tersebut dibagikan oleh grup sosialnya.
Sehingga, keyakinan ideologis membuat individu dalam kelompok memiliki lensa
yang sama dalam memandang dunia yang menjamin kepastian dan kebenaran yang
dilakukan selama sesuai dengan lingkungannya. Baik keyakinan ideologi
konservatif maupun liberal memberikan kontribusi pada “sense of shared
reality”, yang memunculkan hipotesis bahwa hidup dengan orang yang seideologi
akan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup.
Pada studi ini, peneliti
mencoba memeriksa kembali apakah kebahagiaan itu muncul akibat dari salah satu
ideologi –dalam hal ini konservatif- atau hanya efek dari pengaruh ideologi
yang dominan dalam suatu lingkungan sosial. Karena penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa kebahagiaan yan berkaitan erat dengan ideologi konservatif,
dilakukan pada saat ideologi tersebut sangat dominan dalam masyarakat (pada
masyarakat Amerika). Penelitian pada Studi 1 menggunakan General Social Survey
(GSS) untuk menjelaskan keterkaitan ideologi dengan kebahagiaan. Pada studi 2
peneliti melakukan penelitian ke 92 negara dengan mereplikasi pada penelitian
yang dilakukan di Amerika untuk menguji mengenai hipotesis mengenai keterkaitan
kebahagiaan dengan ideologi politik yang dipengaruhi oleh lingkungan yang
menganut ideologi tertentu yang dominan antara konservatif dan liberal. 48.000
individu menjadi sample untuk mengukur tingkat kebahagiaan.
Hasil penelitian
menunjukkan bukti mengenai person-culture fit terjadi dalam ideologi politik
pada studi 1. Semakin konservatif ideologi politik nasional dalam kurun tahun,
berkaitan dengan kuatnya hubungan positif antara ideologi konservatif dengan
kebahagiaan. Akan tetapi jika melihat perbandingan kurun waktu antara 1974 dan
2004 serta 1974 dan 2008, penelitian ini tidak menemukan interaksi yang
signifikan antara ideologi politik individual dengan gini index. Pada studi ini
menemukan bahwa kebahagiaan terus meningkat meski ideologi konservatif tidak
kuat pada kurun waktu tertentu. Juga, efek dari ideologi konservatif pada
kebahagiaan individu tidak signifikan berhubungan dengan tingkat kesetaraan
sosial (gini index) dalam waktu tersebut (binteraction
= 0.23, ORinteraction=1.26, p>0.250) di Amerika.
Pada studi 2, hasil
penelitian menunjukkan ideologi konservatif berhubungan dengan kepuasan hidup
di tingkat individual (b=0.08, p<0.001) dan tingkat kontekstual (b=0.20,
p<0.001), mengindikasikan bahwa happiness gap antara konservatif dan liberal
juga ditemukan diluar Amerika. Akan tetapi, kuatnya keterkaitan ini adalah
sebagai fungsi dari ideologi konservatif (b=0.06, p<0.001), dimana
keterkaitan yang kuat ini dalam konteks dominannya ideologi konservatif dalam
suatu negara. Begitupun dalam konteks ideologi politik nasional liberal,
indvidu dengan ideologi liberal dilaporkan memiliki kepuasan hidup lebih tinggi
daripada individu yang menganut ideologi konservatif (b= -0.03, p=0.045). Studi
ini menunjukkan gap ideologi dalam kebahagiaan tidak terbatas di Amerika saja,
namun terdapat di 50% konteks kultur yang ada dalam studi ini. Konsisten dengan
hipotesis person-culture dan replikasi studi 1, menunjukkan bahwa keuntungan
dari ideologi konservatif, sangat besar pada konteks negara konservatif, dan dalam
konteks ideologi liberal berhubungan juga dengan kebahagiaannya bagi penganut
liberal.
Penelitian ini memberikan
indikasi bahwa literatur akademik yang menunjukkan keuntungan dari ideologi
konservatif, kesimpulannya terlampau prematur (Stavrova & Luhmann, 2016, p. 33). Hasil dari dua studi ini menunjukkan bahwa orang-orang
konservatif berbahagia dan lebih puas dalam hidup daripada liberal mendekati 65%
dari konteks sosiokulturalnya. Hal ini menunjukkan bahwa gap kebahagiaan
ideologis merepresentasikan gejala psikologis yang universal, dan didorong oleh
karakteristik kontekstual yang ada dan yang tidak ada disisi lainnya dalam
sosio kultur atau konteks politiknya. Hasil penelitian menunjukkan individu
konservatif menunjukkan kebahagiaan dan kepuasan daripada individu liberal pada
saat konteks ideologi politik konservatif berlaku dalam konteks
sosiokulturalnya. Menariknya, bahwa asosiasi positif antara ideologi
konservatif dan kebahagiaan jarang berkebalikan. Liberal signifikan lebih
bahagia daripada konservatif hanya pada 5 dari 92 negara dan tidak pernah di
Amerika. Sedangkan pengaruh ideologi, silih berganti dalam kurun waktu
tersebut. Dalam dua studi, rata-rata ideologi kontekstual lebih konservatif dan
menyesuaikan dalam satu konteks sosial lebih penting bagi orang konservatif
daripada liberal. Ideologi konservatif berkaitan dengan konformitas dan nilai
keamanan.
Penelitian ini memberikan bukti empirik untuk
memberi penjelasan bahwa tidak selamanya bahwa konservatisme memberi keuntungan
pada kebahagiaan. Konteks budaya juga sangat mempengaruhi kebahagiaan seseorang
terutama dalam penyesuaian dengan ideologi mayoritas dalam masyarakata.
Penelitian ini sudah membantah bahwa kebahagiaan seseorang bukanlah hanya
terkait dengan konservatisme, atau dengan kata lain bukan konservatisme yang
menimbulkan kebahagiaan, melainkan penyesuaian individu dengan kultur yang
kebetulan dominan konservatif lah yang menjadi faktor pendorong tingginya
kebahagiaan. Pada saat individu menyesuaikan dan mengikuti dengan kultur
masyarakatnya, maka individu mendapatkan kebahagiaan. Poin inilah yang justru
mesti menjadi titik penting, bukan akibat dari keuntungan dari ideologi konservatif.
Hal yang jauh lebih penting, bahwa dalam hal ini menjadi konservatif dalam
konteks kultural adalah sangat universal, namun sebaliknya bahwa kontribusi
ideologi konservatif terhadap kebahagiaan tidaklah universal.
Namun, penelitian ini
memiliki kekurangan, terutama sudut pandang mengenai konservatif dan
kebahagiaan. Konservatisme merupakan konsep yang kompleks dan tidak mudah
difahami masyarakat awam meskipun mereka berkecenderungan menganutnya.
Penilaian suatu kultur konservatif dan ideologi yang konservatif, didasarkan
pada penilaian subjektif yang tidak terkonfirmasi pemahamannya mengenai
konservatisme dan liberalisme. Hal ini membuat sangsi, apakah yang dinilai oleh
sampel penelitian benar-benar menggambarkan konservatisme secara objektif atau
besar dipengaruhi oleh kultur konservatif yang berlaku universal. Begitupun
dengan kebahagiaan, penilaian tentang kebahagiaan akan sangat erat kaitannya
dengan kondisi emosional, dan akan sangat sulit mengukur secara umum apakah
hidupnya bahagia atau tidak dalam konteks kurun waktu. Kebahagiaan dan
ketidakbahagiaan sangat terkait dengan hal-hal yang spesifik, bisa jadi
seseorang bahagia dalam persoalan sosial, namun tidak bahagia dalam persoalan
ekonomi. Penulis berasumsi bahwa kecenederungan individu akan menilai dirinya
cukup bahagia dan sulit mengaitkannya dengan kondisi sosiopolitik dan kultural
karena sangat personal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar