Review
Artikel Neuropsikologi:
Effect of chronic
stress during adolescence in prefrontal cortex structure and function.
Otávio
Augusto de Araújo Costa Folha, Carlomagno Pacheco Bahia, Gisele Priscila Soares
de Aguiar, Anderson Manoel Herculano, Nicole Leite Galvão Coelho, Maria
Bernardete Cordeiro de Sousa, Victor Kenji Medeiros Shiramizu, Ana Cecília de
Menezes Galvão, Walther Augusto de Carvalho, Antonio Pereira.
Behavioural Brain Research 326
(2017) 44–51
Reviewer : Isman Rahmani Yusron (407565)
A.
Pendahuluan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari stress
kronis pada usia remaja pada struktur dan fungsi prefrontal korteks. Prefrontal
korteks merupakan area otak yang berada pada lobus frontalis, yang berhubungan
dengan fungsi eksekutif seperti mengorganisasikan, mengontrol, serta mengatur
perilaku, dan membuat keputusan yang besar terutama perilaku yang berhubungan
dengan sosial, memutuskan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu (Zillmer, Spiers, & Culbertson, 2008). Prefrontal
korteks ini berperan penting untuk regulasi diri serta hal yang berhubungan
dengan fleksibilitas kognitif. Berbagai gangguan kognitif seperti ADHD,
autisme, gangguan bipolar, depresi, skizofrenia berhubungan dengan
ketidakberfungsian dari prefrontal korteks.
Dalam pendahuluan artikel ini, Folha dan timnya (2017, p. 45) menyitir
penelitian dari Hanson, et.al, 2012; Mizoguchi, et.al, 2000; Rolls 2004, yang
menyebutkan bahwa cedera di area prefrontal korteks, terutama di area Medial Prefrontal cortex (MPC) dan Orbitofrontal Cortex (OFC), erat
berhubungan dengan gangguan working memory, serta buruknya penilaian dan
maladaptasi pengambilan keputusan yang menjadikan individu tidak memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya. Dalam konteks
penelitian ini, rusaknya area prefrontal korteks dihubungan dengan hasil dari
stress kronis pada individu. Dengan kata lain, yang menjadi latar belakang dari
penelitian ini ialah dimana stress kronis yang rentan dialami individu akan
sangat berisiko pada perkembangan dan cederanya prefrontal korteks yang akan
menyebabkan berbagai macam gangguan kognitif.
Kondisi stress kronis atau pengalaman yang menyebabkan
stress pada individu, akan secara langsung meningkatkan kadar kortisol yang
dapat merusak perkembangan dari prefrontal korteks (Lupien et.al, 2009 dalam Folha et al., 2017). Pengalaman
stress akan memicu kelenjar pituitary pada hipotalamus anterior untuk
melepaskan glucocortisoid yang
membuat kelenjar adrenal memproduksi kortisol yang banyak. Sehingga, banyaknya
kadar kortisol ini berpengaruh pada beberapa organ yang berhubungan dengan
respon stress terutama dalam penelitian ini pada rusaknya prefrontal korteks.
Kerentanan
pengalaman stress kronis, pada penelitian ini, terutama adalah pada tingkat
perkembangan remaja. Menyandarkan pada penelitian Niwa, et.al (2013) &
Sinclair, et.al (2014), pada usia remaja, individu berada pada periode yang
disebut Critical Periods of Cortical
Development dimana seseorang rentan terpengaruhi oleh pengalaman stress
kronis. Kemudian dalam abstrak penelitian ini, periode individu berada pada
interval perkembangan dimana sirkuit neuronal mudah terpengaruhi oleh
liingkungan disebut sebagai Critical
Periods of Plasticity (CPPs). Peneilitian ini berfokus pada usia remaja
karena pada usia ini banyak terpapar situasi stress dan banyaknya kondisi
neuropsikiatrik yang terdiagnosa pada usia remaja (Christie et.al, 1988; Costello et.al, 2008; Mels
et.al,2010; Kieling et.al; 2011 dalam Folha et al., 2017). Sehingga,
peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa tingkat resiko yang tinggi akibat
stress kronis adalah pada saat periode kritis dari plastisitas (CPPs), yang
dimana periode ini terjadi pada usia perkembangan remaja.
B.
Metode dan Hasil Penelitian
Penelitian
yang dilakukan Folha serta timnya ini mempelajari bagaimana efek dari stress
kronis pada struktur dan fungsi Prefrontal Corteks pada tikus pada saat perode
kritis plastisitas (CPPs). Secara spesifik, penelitian ini melihat efek dari
stress kronis pada distribusi spatial-temporal dari perineuronal net (PNN+) neuron dalam prefrontal korteks
dan pada tes fungsi eksekutif pada tingkat perkembangan remaja. Penelitian ini
menggunakan 48 tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan berusia 28 hari sejak
dilahirkan. Tikus-tikus secara random dibagi pada kelompok eksperimen (n=24)
dan kelompok kontrol (n=24). Masing-masing kelompok dibagi pada tiga subgrup
yang pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan lingkungan stress selama 7
hari (n=8), 15 hari (n=8) dan 35 hari (n=8) pada masing-masing subgrup.
Kelompok
tikus eksperimen diberikan lingkungan stress kronis dengan diberikan kondisi
dikurung dalam tabung plastik selama 2 jam tanpa makanan atau air; dimandikan
dalam tank silinder (tinggi 60cm x diameter 30cm) selama 30 menit dalam air
panas 32 derajar C; dipasangkan dengan tikus stress lainnya dalam serbuk
gergaji basah selama 18 jam; ditempatkan pada kondisi cahaya gelap dan terang
bergantian; ditempatkan pada ruangan sesak yakni 8 tikus pada kandang berukuran
4x3x2cm selama 24 jam; dijepit ekor selama 10 menit; diberikan udara panas
(mendekati 38 derajat C) dengan hairdryer
selama 10 menit. Berbagai kondisi stress ini diberikan kepada tikus secara
random bergantian selama 7 hari pada subgrup pertama, 15 hari pada subgrup
kedua, dan 35 hari pada subgrup ketiga. Paradigma eksperimen ini disandarkan
pada penelitian Duccotet dan timnya (2003).
Setelah
pemberian eksperimen, perilaku tikus dievaluasi dengan dua tes yakni Spontaneous Arm Alternation Test (SAAT)
dan Thigmotaxis. Thigmotaxis digunakan untuk mengukur kecemasan tikus pada saat
tikus ditempatkan pada suatu ruangan terbuka, dan diukur berapa kali tikus
menjauh dari dinding sejauh 5cm selama 5 menit pada ruangan kayu 60x60x30cm.
SAAT digunakan untuk mengukur spatial
working memory, dimana tikus ditempatkan ditengah maze berbentuk silang, mengukur seberapa kali tikus secara
berurutan memasuki lorong maze yang
berbeda tanpa mengulang memasuki lorong yang sama secara berurutan yang
diobservasi selama 10 menit. Setelah diukur perilakunya, tikus diberikan
campuran xylazine dan ketamin chloride, serta satu mili darahnya diambil untuk dilihat kadar
kortisol dalam darah tikus. Setelah pengambilan darah, tikus disembelih dan
diambil otaknya untuk dianalisis melalui histologi. Irisan prefrontal korteks
otak tikus direkam dengan Microphotographs,
dan dianalisis dengan menggunakan mikroskop untuk melihat bentuk sel neuron
area prefrontal korteks terutama pada area prefrontal
medial cortex (cingulate anterior
cortex dan pre-limbic cortex) dan
prefrontal ventral cortex (orbito-ventral cortex).
Hasil
dari penelitian ini memperlihatkan beberapa hal sebagai berikut; pertama, dari
level kortisol yang pada tikus disebut sebagai corticosteron yang dianalisis dari darah tikus, secara signifikan
(p<0.05) memiliki perbedaan kadar kortisol antara tikus kelompok eksperimen
dengan tikus kelompok kontrol. Rerata varian tingkat corticosteron pada tikus kelompok eksperimen antara kondisi 7, 15
dan 35 hari secara berurutan yakni 85.00 SD=57.47, 43.25 SD=11.87, dan 62.00
SD=64,29. Berbeda signifikan dengan rerata kelompok kontrol dengan varian yang
tinggi. Hal ini menunjukkan efek dari stress kronis yang sama dalam level corticosteron pada plasma darah tikus
dan menurunkan variabilitas hormon pada kematangan. Hasil ini menunjukkan efek
negatif dari stress kronis yang menyebabkan terpacunya secara masif hormon
stress. Terutama yang paling signifikan bedanya adalah pada subgrup eksperimen
15 hari pemberian kondisi stress.
Kedua,
untuk melihat efek dari stress kronis pada prefrontal korteks, melalui analisa
histologi terhadap Perineuronal net
(PNN+) pada Medial Prefrontal
cortex ditemukan bahwa terdapat interaksi signifikan (p<0.0001) antara
lingkungan dengan perlakuan. Pada kelompok kontrol, PNN+ neuron pada
subgrup 35 hari lebih tinggi jumlahnya (74.00, SD=2.65) daripada subgrup 15
hari (33.33 SD=1.45) yang signifikan (p<0.001), yang juga lebih tingg
daripada subgrup 7 hari (22.00 SD=1.53). Pada kelompok eksperimen, penelitian
ini menemukan jumlah PNN+ neuron menurun seiring dengan pengondisian
stress kronis yang diberikan. Terlihat pada subgrup eksperimen 35 hari
perlakuan stress, memperilhatkan jumlah PNN+ neuron lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan jumlah hari yang sama (34.22
SD=1.33 versus 74.00, SD=2.65) dengan signifikansi yang tinggi (p<0.001).
Namun
yang menarik, subgrup kelompok perlakuan stress 7 hari, menunjukkan jumlah PNN+
neuron lebih tinggi daripada kelompok kontrolnya (45.33 SD=2.67 versus
22.00 SD=1.53). Hal ini menunjukkan bahwa stress dalam jangka waktu tertentu
atau dalam taraf yang cukup, meningkatkan jumlah PNN+ neuron pada
prefrontal korteks. Meskipun dalam penelitian ini, Folha mengakui bahwa
terdapat perbedaan dinamika kematangan dalam kelompok eksperimen (2017, p. 46). Pada analisis
area Orbitofrontal Cortex (OFC), juga
memperlihatkan pola serupa yang menunjukkan kondisi stress kronis menghambat
tumbuhnya jumlah PNN+ neuron dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Akan tetapi pada area OFC, tidak menunjukkan jumlah yang lebih besar pada 7
hari perlakuan di kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol seperti
pada MFC.
Temuan
penelitian ini dalam konteks perilaku, melalui analisis SAAT, menunjukkan hasil
yang menarik terutama pada kelompok subgrup eksperimen 7 hari. Pada kelompok
ini, performa alternasi tikus reratanya lebih tinggi dan lebih baik daripada
pembandingnya dalam kelompok kontrol. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
anlisis SAAT ini digunakan untuk melihat performa fungsi eksekutif dalam
kaitanya dengan spatial working memory.
Tikus yang diberi perlakuan stress selama tujuh hari, memperlihatkan performa
yang lebih tinggi dengan signifikan. Temuan ini paralel dengan temuan
sebelumnya pada jumlah PNN+ neuron di area Medial Prefrontal cortex. Korelasi ini menguatkan temuan sebelumnya
yang dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh positif stress pada tingkat
tertentu. Sekaligus dikuatkan dengan temuan dimana pada perlakuan 15 dan 35
hari, menunjukkan performa yang lebih rendah daripada pembandingnya di kelompok
kontrol. Temuan ini cukup untuk mengarahkan pada kesimpulan mengenai stress
diperlukan pada dosis tertentu, namun akan berefek negatif jika paparannya
lebih lama .
Analisa
Thigmotaxis yang mengukur tingkat
kecemasan dan evaluasi resiko, menunjukkan hasil bahwa berkembangnya kecemasan
dipengaruhi oleh perkembangan pada masa remaja. Hal ini mungkin dipengaruhi
oleh kematangan hubungan neuron antara amygdala
dan prefrontal cortex (2017, p. 48). Performa pada
subgrup 35 hari, lebih tinggi dari subgrup 15 hari pada kelompok kontrol,
meskipun terdapat penurunan pada rerata subgrup 7 hari dibanding subgrup 15
hari pada kelompok yang sama. Pada kelompok tikus eksperimen, hasil analisa Thigmotaxis menunjukkan penurunan rerata
performa pada subgrup 15 hari dibanding subgrup 7 hari, dan kemudian hasilnya
cenderung stabil pada subgrup 35 hari pada kelompok perlakuan.
C.
Komentar dan Analisis
Dari
berbagai hasil temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Folha beserta timnya
ini, memberikan wawasan mengenai dinamika stress yang berpengaruh pada individu
terutama pada tingkat perkembangan remaja. Analisa neurologis dan psikologis
dari penelitian ini cukup memberikan sudut pandang untuk memahami stress pada
periode kritis perkembangan otak. Meskipun penelitian ini hanya mengungkap
khusus mengenai efek stress pada usia remaja dan tidak mengungkap pada tingkat
perkembangan selanjutnya. Berdasar pada temuan ini, kita memahami bahwa stress
yang kronis berefek negatif pada perkembangan otak area prefrontal korteks,
area yang begitu penting dalam proses kognitif individu. Hal ini dibuktikan
tidak hanya pada timbulnya kerusakan atau hambatan perkembangan neuronal, namun
juga didukung dengan bukti perilaku yang terobservasi. Fungsi eksekutif
individu yang bersemayam pada area otak ini, dengan sendirinya terganggu akibat
dari paparan stress kronis yang dialami individu.
Usia
remaja, dalam perkembangan individual merupakan periode yang sangat penting
untuk mendukung perkembangan pada tahap selanjutnya. Meski penulis meyakini
bahwa perkembangan otak manusia akan senantiasa dinamis, plastis dan berkembang
seiring pengalaman selama perkembangan, kerusakan neuron pada periode kritis
perkembangan otak akibat paparan stress yang kronis akan menghambat individu
mencerna dan mengembangkan pengalaman yang bisa jadi sangat penting pada
tingkat perkembangan selanjutnya. Penelitian ini menyajikan bukti empirik
mengenai efek negatif dari stress pada area prefrontal korteks yang sangat
vital dalam pemrosesan informasi dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. Terkhusus
penulis menyoroti pada implikasinya dalam belajar. Individu yang pada usia
remaja mengalami paparan stress yang massif dalam kehidupannya, bertendensi
mengalami disfungsi kognitif dalam proses belajar pada usianya. Hal ini jelas
berpengaruh sangat buruk pada perkembangan selanjutnya karena yang seharusnya
individu mencerna nilai-nilai pengalaman usia remajanya, terhalang oleh
disfungsi dan kerusakan pada area prefrontal korteksnya.
Periode
kritis perkembangan otak yang dialami pada usia remaja, melalui temuan penelitian
Folha dan timnya ini, perlu mendapat perhatian yang cukup agar lingkungan tidak
memberi umpan balik negatif melalui tekanan yang tinggi. Kembali penulis
mengaitkan periode ini merupakan periode belajar dan periode pendidikan pada
individual, lingkungan perlu berhati-hati dalam menyajikan proses pendidikan
bagi remaja agar tidak menimbulkan stress. Dalam konteks Indonesia misalnya,
waktu pada usia remaja dominan dihabiskan di persekolahan atau lembaga
pendidikan lainnya. Artinya, lingkungan pendidikan dimana remaja menghabiskan
waktunya, perlu sadar dan hati-hati agar dalam penyelenggaraanya tidak
menimbulkan efek stress yang negatif. Asumsi ini bersandar pada penelitian Hiew
& Glendon (Spielberger & Sarason, 1996) yang menyebutkan bahwa stress di kalangan
remaja, juga disebabkan oleh sekolah yang mengurangi kesempatan siswa untuk
mengembangkan dirinya menjadi lebih sehat, optimal, dan menempuh kedewasaan
yang matang. Selaras dengan hal ini penelitian Aypay & Eryılmaz (2011) juga
menyebutkan bahwa dalam proses pembelajaran, stress muncul dari pelajaran di
kelas, tugas mata pelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat
menghantarkan pada kelelahan emosional.
Stress
dalam kadar tertentu diperlukan, namun pada konteks pendidikan pengalaman
stress bisa jadi terjadi dalam waktu yang panjang yang sangat memungkinkan
sekali untuk menjadi tekanan yang kronis. Selaras dengan temuan penelitian
Folha dan timnya ini, tekanan kronis akan memicu massifnya kadar kortisol yang
menimbulkan mekanisme timbal balik negatif dari akis Hippotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA Axis) yang menyebabkan rusaknya
area prefrontal korteks. Penelitian ini menyebutkan bahwa stress kronis akan
mengganggu fungsi sistem saraf simpatetik dan HPA Axis (Folha et al., 2017, p. 48). Meskipun,
temuan pada penelitian ini juga memperlihatkan, pada kelompok eksperimen dengan
paparan stress subgrup 7 hari, memperlihatkan performa lebih baik daripada
kontrolnya yang tidak diberi perlakuan. Ini menandakan bahwa stress ini juga
merupakan bagian dari stimulan untuk meningkatkan performa, dengan catatan
tidak sampai pada kondisi yang kronis atau stress berkepanjangan.
Temuan
lain yang penting dan implikatif dalam penelitian ini juga adalah mengenai
pengaruh dari stress kronis terhadap performa executive function. Pada penelitian ini terungkap, bahwa terdapat
efek negatif dari paparan stress yang kronis dimana ada hubungan antara durasi
paparan stress dengan performa fungsi eksekutif. Hasil analisa peneliti, ditemukan
bahwa paparan stress kronis yang menimbulkan cedera dan kerusakan prefrontal
korteks paralel dengan menurunnya performa dari tes perilaku dalam kaitannya
dengan fungsi eksekutif. Jika kembali dikaitkan dengan implikasi pendidikan,
Meltzer, Pollcia & Barzillai (Meltzer, 2007) menyatakan bahwa kesuksesan akademik siswa
tergantung pada kemampuannya untuk merencanakan waktunya, mengorganisasi dan
memprioritaskan informasi, mengambil ide utama dari sebuah detail, memonitor
kemajuan, dan merefleksi hasil pekerjaannya; dan hal-hal ini adalah proses inti
dari executive function. Berdasarkan
hal ini, menjadi jelas bahwa stress kronis akan sangat berpengaruh negatif pada
kemajuan dan kesuksesan akademik siswa, karena terkait dengan gangguan fungsi
eksekutifnya yang terbukti secara empirik pada penelitian Folha ini.
Meski
memberikan banyak implikasi baik praktis dan teoritis, bagaimanapun penelitian
ini dilakukan terhadap binatang dalam hal ini kepada tikus. Efek generalisasi
dari hasil penelitian ini pada manusia tidak bisa sepenuhnya diterima karena
memiliki perbedaan secara biopsikologis. Bisa jadi, dari segi proses timbulnya
kerusakan atas prefrontal korteks dan mekanisme HPA Axis, secara umum sama
dengan manusia, akan tetapi ada hal-hal yang dimungkinkan dilakukan manusia
yang tak mungkin dilakukan oleh tikus. Sebagai salah satu contoh, manusia
memiliki kemampuan adaptatif dan plastisitas serta pengalaman belajar yang jauh
lebih banyak daripada binatang pengerat. Tidak bisa dinafikkan, bahwa hal ini
juga akan mempengaruhi pada hambatan terjadinya efek negatif pada stress.
Pengalaman belajar lingkungan pada manusia, kepribadian, bahkan hingga unsur
spiritual, juga akan menjadi penghalang timbulnya kerusakan pada prefrontal
korteks yang disebabkan oleh pengalaman stress.
Keberdayaan
manusia, jauh lebih tinggi daripada tikus dalam merespon stress, sehingga hal
ini setidaknya menjadi preferensi manusia dalam beradaptasi menghadapi stress
agar terhindar dari efek yang lebih negatif. Selain itu, perlakuan stress
kronis yang diberikan pada eksperimen ini juga tidak dapat dikatakan setara
dengan pengalaman stress yang dialami manusia. Paradigma stress kronis yang
digunakan dan diberikan secara spontan dan bergantian, lebih mengarah pada
penyiksaan dan beban fisik ketimbang beban psikologis. Sedangkan pada manusia,
kecenderungan terbesar adalah berasal dari beban psikologis yang besar ketimbang
beban fisik. Olehkarena itu, sudut pandang skeptis juga perlu diberikan pada
hasil penelitian ini, terkait apakah yang menimbulkan kerusakan pada prefrontal
korteks ini adalah akibat dari tekanan fisik, atau akibat dari tekanan
psikologis yang notabene dialami manusia. Namun, bukti empiris yang didapat
pada penelitian ini tidak harus ditolak, karena secara pragmatis juga
mengandung kebenaran dan makna yang dapat diambil manfaatnya terhadap manusia.
D.
Referensi
Aypay, A., &
Eryılmaz, A. (2011). Relationships of high school sdutent’subjective well-being
and school burnout. International Online Journal of Educational Sciences,
3(1), 181–199.
Folha, O. A. de
A. C., Bahia, C. P., Aguiar, G. P. S. de, Herculano, A. M., Coelho, N. L. G.,
Sousa, M. B. C. de, … Pereira, A. (2017). Effect of chronic stress during
adolescence in prefrontal cortex
structure and function. Behavioural Brain Research, 326, 44 – 51.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.bbr.2017.02.033
Meltzer, L.
(2007). Executive function in education: from theory to practice. New
York: Guilford Press.
Spielberger, C.
D., & Sarason, I. G. (1996). Stress and Emotion: Anxiety, Anger, and
Curiosity. Taylor & Francis.
Zillmer, E., Spiers, M., &
Culbertson, W. (2008). Principles of neuropsychology. Belmont, Calif:
Thomson Higher Education.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar