Sekali lagi, Kemendikbud
dipecundangi oleh kenyataan bahwa Ujian Nasional tak lagi memiliki
kredibilitas. Kemarin, media ini mengabarkan ditemukannya fakta beredarnya
bocoran soal UN, pada saat sebelum UN berlangsung. Sepatutnya kenyataan ini
membuka mata kita, bahwa tak ada alasan lagi untuk mempertahankan UN sebagai
standar kelulusan siswa.
Jikalau jajaran
Kemendikbud masih memiliki fikiran jernih dan waras, tentunya fakta ini mesti
dijadikan bahan evaluasi untuk tidak lagi memakai UN sebagai standar kelulusan.
Pasalnya, dari sejak lahirnya, kebijakan ini telah cacat dan setiap tahunnya
tak pernah lepas dari kecurangan. Berhenti untuk menyatakan bahwa kecurangan UN
ini hanya segelintir kasus semata. Penyangkalan semacam ini hanya mempertontonkan
kebodohan yang nyata.
Bayangkan saja, jika UN
ini masih tetap keukeuh jadi penentu kelulusan siswa. Betapa banyak siswa yang
diperlakukan tidak adil karena mereka yang jujur harus dipersamakan dengan
mereka yang curang. Meski lulus atau tidak pun, mereka tak dapat menjamin
apakah kelulusan atau ketidaklulusannya adalah hal yang terjamin
kepercayaannya.
Akan selamanya mereka
dihantui rasa bersalah dan tertanamlah keyakinan kerdil bahwa pendidikan tak
menjamin seseorang memiliki budi yang terpuji. Apalagi rencananya UN akan
dipakai sebagai bahan pertimbangan masuk perguruan tinggi negeri. Semakin
besarlah peluang yang terbiasa curang menjadi sosok agen perubahan. Sudah dapat kita baca, kemana arah
negeri ini berubah. Pembiaran akan hal ini merupakan wujud nyata dari
menghancurkan bangsa.
Penderitaan negeri ini
sudah cukup besar dengan banyaknya kebodohan. Kebodohan yang akhirnya hanya
menghasilkan kemiskinan dan kriminalitas. Tentunya kebodohan yang massif ini
berbiaya sangat tinggi. Sehingga, jangan pula negeri ini memamahbiakkan
benih-benih ketidakjujuran. Sudah dapat dipastikan, hasilnya adalah para
bandit-bandit dan segerombolan penipu berijazah. Bayangkan, jika prodak
ketidakjujuran ini mengisi tempat-tempat strategis di negeri ini pada masa
depan. Celakalah kita.
Menemukan kenyataan
seperti ini, sepatutnya segera pihak Kemendikbud mengambil langkah strategis.
Tentunya, jangan hanya mempersoalkan temuan kecurangannya, bak menambal jalan
berlubang. Jika di ibaratkan, kini pendidikan sudah sedemikian kronisnya
mengidap kanker. Maka tak ada lagi jalan selain mengambil langkah total sebelum
kerusakannya semakin menjalar dan menggerogoti kesehatan pendidikan kita.
Apalagi alasan yang bisa
memperkuat bahwa UN ini mesti dipertahankan? Jika alasannya untuk memetakan
kualitas pendidikan, lantas dari penyelenggarannya yang lebih dari sepuluh
tahun ini, apa hasilnya? Dapat dilihat dengan kasat mata, kualitas pendidikan
kita masih jalan ditempat. Kualitas pendidikan kita masih kalah dari negara
tetangga. Malah, lebih parah, kerusakan moral semakin banyak terjadi dalam
wilayah pendidikan. Artinya ini tak lagi memiliki kekuatan untuk membuktikan
bahwa UN masih penting diselenggarakan.
Lantas jika alasannya,
sebagaimana apa yang dikatakan Jusuf Kalla, bahwa anak tak akan belajar jika
tak ada ujian? Inilah justru mitos dalam pendidikan yang masih kita
pertahankan. Justru seharusnya kita harus khawatir jikalau siswa hanya mau
belajar karena ada ujian. Hal ini berarti bahwa belajar bukan menjadi kebutuhan
hidup, akan tetapi menjadi kebutuhan formalitas. Padahal, seyogianya belajar
adalah kegiatan seumur hidup seseorang.
Sudah sepatutnya,
kenyataan ini dijadikan bahan introspeksi. Sebelum UN ini dipakai untuk
mengevaluasi dan meluluskan siswa, mesti terlebih dahulu dijadikan alat
mengevaluasi dan meluluskan kinerja pemerintah wabil khusus kementerian
pendidikan dan kebudayaan. Kemendikbud mesti menyadari, sebelum menstandarisasi
siswa, terlebih dahulu lah mereka menstandarisasi kinerja mereka dalam
melaksanakan kewajiban memenuhi fasiliitas pendidikan. Yang perlu di
standarisasi adalah kualitas sekolah dengan terus meningkatkan infrastruktur
dan fasilitas pendidikan. Jangan karena hal itu sulit diwujudkan, akhirnya
siswa yang jadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar