Dalam setiap retorika dan
wacana politik di Indonesia, selalu saja wacana mengenai Pendidikan Indonesia
bernada minor. Pendidikan tak pernah menjadi perhatian utama pihak manapun,
termasuk pemerintah sendiri. Isu mengenai kesejahteraan, bantuan langsung,
hingga iming-iming peningkatan pendapatan masih menjadi wacana utama. Adapun
wacana tentang pendidikan, paling baru menyentuh pada wacana penggratisan
pendidikan dasar.
Kenyataan itu
memperlihatkan kita: paradigma bangsa kita masih berputar-putar pada persoalan
materialistik. Padahal, kemajuan sebuah bangsa tidak dihitung oleh
standar-standar material. Kemajuan bangsa diukur dari sejauh mana kualitas
masyarakat dari berbagai segi. Kualitas masyarakat ini tak akan pernah bisa
dibangun secara instan. Kualitas masyarakat dibangun oleh upaya serius dan
konstan dalam bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan dimasa
depan.
Jika kita kaji lebih
dalam, praktik pendidikan hari ini semakin dangkal. Pendidikan berorientasi
pada kepentingan jangka pendek, instan, dan materialistik. Sehingga, pendidikan
yang seyogianya mempersiapkan peserta didik untuk tangguh dalam menghadapi
segala kemungkinan dimasa depan, direduksi menjadi langkah untuk mencapai
kepentingan sementara. Pola pendidikan di simplifikasi sebagai langkah
pencarian hasil-hasil kuantitatif. Kualitas masyarakat dengan pendidikan bak
jauh panggang dari pada api: tak ada korelasi.
Pengerdilan pendidikan
ini setidaknya adalah akibat dari beberapa kekeliruan-kekeliruan yang masih
dipertahankan. Pertama, proses
pendidikan masih difahami sebagai proses transformasi pengetahuan saja –bahkan
lebih buruk dari itu, transformasi trik jalan pintas- ketimbang transformasi
nilai. Proses pendidikan sekadar mempersiapkan siswa untuk menyelesaikan soal
ujian, bukan menyelesaikan persoalan kehidupan. Lembaga pendidikan tak lain
sekadar mempelajari jalan pintas paling mudah dalam menyelesaikan persoalan.
Sehingga, jangan salahkan jika output-nya
adalah insan yang manipulatif dan memikirkan keuntungannya sendiri.
Kedua,
proses pendidikan di sederhanakan menjadi proses mempermudah mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan masyarakat, bahkan masyarakat yang berada dalam
lingkungan pendidikan mengamini bahwa pendidikan adalah cara mudah untuk
seseorang mendapatkan pekerjaan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang,
semakin tinggi peluang mendapatkan pekerjaan juga pendapatan.
Hal ini menyebabkan
tereduksinya hakikat pendidikan sebagai media untuk mengoptimalkan
perkembangan, mempertajam pemikiran dan memperhalus perasaan. Pendidikan
dipaksa memenuhi orientasi dan ekspektasi peserta didiknya sebagai jalan tol
mendapatkan syarat untuk memperoleh pekerjaan. Ijazah dan besaran nilai menjadi
orientasi utama ketimbang kualitas pemahaman dan produktifitas pemikiran.
Sehigga, pengangguran terdidik tak dapat dielakkan. Sarjana-sarjana, tak mampu
memecahkan persoalan kehidupan, karena kadung terbiasa menghapal teori dan
mengisi soal ujian.
Kekeliruan ketiga, proses pendidikan menjadi proses
transformasi yang feodalistik. Proses pendidikan khususnya mengenai relasi
antara guru dan peserta didik, tidak dapat berlangsung secara egaliter. Guru
ditempatkan sebagai dewa pengetahuan yang berhak melakukan doktrinasi-doktrinasi
pemikiran terhadap peserta didiknya. Sumber pengetahuan bukan lagi berasal dari
buku atau literatur, melainkan dari sosok guru yang terkadang kemampuannya
terbatas. Buruknya, sumber kebenaran akhirnya dimonopoli. Sehingga, proses
pendidikan tak lebih dari bentuk imperialisme pemikiran.
Pola pembelajaran yang
berpusat pada guru ini, memicu kekerdilan pemikiran dan hambatan kecerdasan.
Betapa tidak, setiap siswa yang memiliki corak berfikir yang berbeda dengan
gurunya, dipaksa harus meyakini bahwa pikirannya keliru. Padahal belum tentu,
bisa jadi pemikiran baru peserta didik yang tak dapat difahami gurunya tersebut
adalah cikal bakal inovasi dan temuan yang besar.
Proses pembelajaran
seperti ini akhirnya menjadikan peserta didik tak lebih dari konsumen
pengetahuan. Mereka dibiasakan menelan bulat pengetahuan yang diberikan
gurunya. Padahal, seharusnya pendidikan menghasilkan peserta didik yang dapat
menjadi produsen ilmu pengetahuan, bukan konsumen pengetahuan. Maka, jika
banyak disebut bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat konsumtif di segala
bidang, kita tau siapa yang membentuknya.
Berdasarkan identifikasi
kekeliruan dalam praktik pendidikan diatas, seyogianya pendidikan harus merubah
arah paradigma yang asalnya pragmatik materialistik, menjadi paradigma
futuristik. Pendidikan harus berorientasi pada masa depan, dimana peserta didik
menemukan kehidupan yang sebenarnya. Sehingga, pendidikan menghasilkan output yang siap menghadapi tantangan
masa depan, terbiasa memecahkan persoalan kehidupan, dan menjadi produsen ilmu
pengetahuan.
Pendidikan yang siap
dimasa depan, diejawantahkan dengan bentuk proses belajar mengajar yang
menekankan pada keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Griffin (2011)
mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan masyarakat pada abad ke 21 yakni
salah satunya adalah keterampilan cara bagaimana berfikir yang menekankan pada
kreatifitas dan inovasi, berfikir kritis, problem
solving, belajar bagaimana belajar
dan metakognisi. Selanjutnya, cara bekerja yang menekankan pada keterampilan
berkomunikasi dan berkolaborasi.
Bersumber pada definisi
ini, proses pendidikan yang berbentuk proses belajar mengajar dikelas tidak
lagi dipaksa untuk menghafal, menulis dan mendengarkan materi dan ceramah guru.
Proses pembelajaran semestinya memfasilitasi peserta didik kreatif, inovatif,
berfikir kritis serta memecahkan persoalan dalam setiap materi pembelajaran.
Sebagai contoh, ketika siswa belajar fisika, maka yang diperlukan adalah
memfasilitasi kebutuhan dan diarahkan untuk menciptakan temuan-temuan baru yang
berasal dari konsep fisika. Peserta didik dilatih mengkritisi teori yang ada,
bukan dipaksa menerima. Mereka digiring memecahkan persoalan nyata dalam
kehidupan di lingkungannya.
Fungsi guru dalam proses
belajar tak boleh menjadi subjek yang menghegemoni pengetahuan. Guru harus
berada sebagai fasilitator, dan memiliki posisi yang sejajar dengan peserta
didik. Sehingga, tercipta iklim egalitarian dan memudahkan peserta didik untuk
berkomunikasi dan berkolaborasi dengan gurunya. Jika iklim kesejajaran ini
tercipta, maka peserta didik akan lebih mudah pula berkolaborasi dan
berkomunikasi dengan teman sebayanya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal
keterampilan bekerja yang dibutuhkan dimasa depan. Selain itu, dengan konsep
pembelajaran seperti ini, mendorong peserta didik lebih toleran dan menghargai
keragaman potensi individu.
Pola seperti ini merubah paradigma pembelajaran yang asalnya teacher centered, menjadi student centered. Dengan langkah ini, proses pendidikan menjadi proses yang begitu bermakna dan menjadi cikal bakal produktifitas bangsa. Tentunya, Indonesia membutuhkan agen masyarakat yang dapat memberikan solusi, bukan malah menjadi bagian dari masalah. Prodak peserta didik dalam pola ini, mereka terbiasa berfikir mendalam dan memecahkan persoalan nyata. Sudah barang tentu, begitu menghadapi kehidupan nyata dia tak akan kesulitan sehingga tak jadi bagian dari permasalahan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar