Disadari
atau tidak, hari ini sekolah sudah semakin menjauhkan peserta didik dari
lingkungannya. Pendidikan, disimplifikasi menjadi sebuah kegiatan formil yang
prosedural, kaku, dan eksklusif bernama sekolah. Logika industri lebih dominan
di sekolah, ketimbang logika pendidikan sendiri. Sehingga, sekolah menjadi
wadah yang merubah manusia menjadi asing di lingkungannya sendiri.
Kenyataan
ini menunjukkan pada kita, bahwa pendidikan negeri ini tengah mengalami
disorientasi. Tujuan pendidikan hakikatnya adalah untuk dapat memahami kondisi
disekitarnya dan melahirkan solusi untuk memperbaikinya. Akan tetapi, jika
kemudian kenyataanya pendidikan malah membuat peserta didik menjadi eksklusif
dan enggan membaur di masyarakat, saat itulah kita katakan bahwa pendidikan
sudah gagal mencapai tujuannya.
Sungguh
ironis, jika kita temui kenyataan bahwa prodak dari pendidikan malah
memperjelas dan memperlebar kesenjangan hidup masyarakat. Pendidikan dijadikan
sebagai eskalator untuk meninggalkan kondisi kemiskinan. Saat berhasil lepas
dari kondisi itu, mereka semakin jauh dari masyarakat kalangan bawah, tak
menjadi solusi malah ikut menjadi penjajah bangsa sendiri. Hal ini mencerminkan
sebuah kondisi pendidikan yang kapitalistik.
Belum
lagi, semakin hari biaya untuk meraih pendidikan berkualitas, kian melangit tak
terjangkau. Sehingga muncul kesan bahwa orang kaya lah yang berhak pintar dan
berhak untuk berpendidikan. Sayangnya, mereka yang berhasil meraih pendidikan
itu tak pernah memikirkan solusi untuk menghancurkan benteng kesenjangan ini.
Sehingga, yang kaya semakin kaya, yang miskin tak punya harapan untuk merubah
kehidupan. Maka kian hari, kian lebarlah jurang kesenjangan sosial negeri ini.
Kekacauan
paradigma ini hendaknya segera disadari dan diakhiri. Sudah semakin jelas, hari
ini pendidikan di sekolah hanya berhasil memisahkan peserta didiknya dari
masyarakat dan kehidupan nyata. Sehingga, perlu ada langkah yang revolusioner
untuk mendekatkan kembali kehidupan sekolah dengan kehidupan masyarakat. Bukan
malah membuat kebijakan yang semakin menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya.
Kebijakan
kurikulum 2013 baru-baru ini yang menambah lebih banyak waktu di sekolah,
semakin memperparah keadaan. Mengondisikan peserta didik lebih lama di sekolah
yang kondisi fasilitas seadanya dengan guru berkualitas buruk hanya akan mebuat
siswa semakin buruk. Kebijakan ini semakin menjauhkan insan-insan pendidikan
dari kehidupan nyata serta masyarakat lingkungannya. Mereka hanya tau hidup di
sekolah, sehingga akan rapuh saat harus bertahan hidup di ruang nyata.
Sudah
sepatutnya pemegang kebijakan mencetuskan sistem pendidikan yang berbasiskan
pengalaman dan masyarakat. Sehingga, tujuan dari pendidikan bukan hanya
mengejar angka semata, tetapi menjadi bagian dari solusi perubahan kondisi
masyarakat yang lebih baik. Anak-anak sekolah harus terbiasa hidup
bermasyarakat dan terbiasa mengamalkan ilmu yang didapatkannya di masyarakat.
Mereka tidak boleh merasa asing untuk membaur di masyarakat yang lebih
membutuhkan mereka ketimbang tempat kerja.
Upaya
ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menghancurkan kekakuan dan
keformalan dalam pendidikan. Seperti sekolah hanya bisa dilakukan di kelas,
harus memakai seragam, pelajaran dan jam belajar yang tidak fleksibel dan jauh
dari kebutuhan masyarakat, tak bisa belajar tanpa ada guru, hingga belajar yang
hanya untuk tes atau ujian nasional yang semakin menghancurkan tujuan belajar
itu sendiri.
Dalam momen hari pendidikan nasional, sudah sepatutnya pihak-pihak pemegang kebijakan memikirkan ulang sistem pendidikan indonesia. Mereka harus responsif membaca keadaan bahwa sistem yang selama ini berjalan tak menjadi solusi dan perbaikan bagi masyarakat. Malahan, pendidikan hanya menambah panjang daftar masalah yang dihadapi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar