Akhir-akhir ini, media
sosial dihebohkan oleh buku Kurikulum 2013 terbitan Kemendikbud. Bukan karena
keterlambatan pengiriman seperti biasanya, tapi justeru karena konten
didalamnya. Masyarakat dihebohkan oleh munculnya materi gaya pacaran sehat yang
tercantum dalam buku Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan kelas XI.
Konten dari buku Kurikulum 2013 ini, sontak menimbulkan pro kontra dan polemik.
Pasalnya, tak semua setuju bahwa pacaran merupakan sesuatu yang dibolehkan.
Ada yang menyatakan,
bahwa dalam agama Islam, pacaran tidak dikenal. Sehingga, tidak dibenarkan
bahwa siswa melakukan pacaran. Ada juga yang menyatakan, salah satunya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh, bahwa pacaran tidak bisa dilarang karena
merupakan realita sosial. Sepertinya yang paling mengecam munculnya materi ini
adalah – meminjam istilah M.Nuh –
kelompok Islam Terpadu. Ini wajar saja, pasalnya gambar yang mengiringi materi
Pacaran Sehat tersebut adalah sepasang laki-laki dan perempuan berjilbab dan
berpeci yang kental dengan ciri khas Islami. Seolah, ingin menggambarkan adanya
sebuah kesan pacaran dengan gaya yang islami.
Terlepas dari pro kontra
dan polemik tersebut, yang menarik adalah diamininya oleh Mendikbud adanya
Pacaran Sehat. Seolah, bahwa pacaran itu sesuatu yang dibolehkan bagi remaja,
asal tidak melakukan hal-hal yang diluar batas. Logika ini sepertinya terlalu
naif dan dangkal. Seperti halnya, membolehkan seorang anak masuk ke dalam kandang
singa, asal tidak mengganggu tidurnya. Sekilas memang terdengar suatu hal yang
benar, tapi menafikan kenyataan bahwa pada suatu waktu sang singa akan
terbangun dan menerkam.
Hal-hal diluar batas,
seperti melakukan ciuman, petting bahkan hingga berhubugan seksual yang
dipagari oleh Kemendikbud melalui materi tersebut, sangatlah tidak masuk akal.
Coba kita fikirkan, apakah akan terjadi seorang anak melakukan
kegiatan-kegiatan seksual tanpa sebelumnya memiliki hubungan? Sebaliknya, justeru
pemicu utama anak melakukan kegiatan seksual adalah karena adanya pemicu
seperti kedekatan dan hubungan berpacaran. Aktifitas seksual, hanya akan
terjadi jika antara kedua belah pihak memiliki perasaan emosional, kepercayaan,
kepasrahan dan alasan kenapa kegiatan itu boleh dilakukan. Pacaran, bisa jadi
merupakan pintu masuk dari semua itu.
L.C Jensen (Sarwono:2010),
pernah melakukan penelitian mengenai hal ini. Jensen menemukan, bahwa para
remaja perempuan yang hamil diluar nikah, mereka melakukan hubungan intim
diakibatkan oleh fantasi-fantasi tentang kemesraan dan cinta. Fantasi-fantasi
itu, diproyeksikan kepada seseorang yang dekat dengannya, yang jika ia
berpacaran yaitu kepada pacarnya. Yang menarik, dari remaja-remaja yang hamil
tersebut, hampir justeru merasa tabu, tidak tertarik bahkan jijik membicarakan
atau mendengarkan lelucon yang berbau seksual.
Temuan jensen tersebut
memperlihatkan bahwa, pertama, bahwa hubungan intim sangat berpeluang terjadi
dan dipicu oleh pacaran itu sendiri. Meskipun hal itu pacaran sehat – yang sebetulnya apakah ada yang namanya pacaran
sehat? – apakah bisa menjamin, remaja tidak berfantasi tentang cinta dan
kemesraan (bukan fantasi cabul) ketika ‘pacaran sehat’. Kedua, yang diperlukan
remaja bukan bolehnya pacaran dengan rambu-rambu Kemendikbud, tetapi justeru
yang diperlukan adalah pendidikan seks! Sehingga, jika Mendikbud menyatakan
bahwa “pacaran saja dimarahi, apalagi sex education”, sungguh menggelikan.
Kurangnya informasi dan
pendidikan tentang seks, dari berbagai penelitian memberikan kontribusi
terhadap munculnya perilaku seks bebas. Informasi mengenai Seks melalui
pendidikan seksual, jauh lebih diperlukan ketimbang kebolehan tentang pacaran
dengan rambu Kemendikbud. Melalui pendidikan seksual, siswa mengetahui berbagai
macam fungsi dan bahaya hubungan seksual. Pendidikan seks, dapat menjadi
menjadi upaya preventif agar aktifitas seksual tidak dilakukan, yang salah
satunya dimulai dengan pacaran.
Maka dari itu, seperti temuan Jensen tadi, bahwa kurangnya informasi tentang perilaku seksual, justeru berkorelasi dengan tingginya kehamilan diluar nikah. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah pendidikan seks. Seks tidak boleh dianggap tabu untuk dibicarakan remaja. Remaja perlu pengetahuan yang lurus tentang seks. Sebaliknya, langkah Kemendikbud menerbitkan materi berpacaran seakan membenarkan dan membolehkan pacaran dilakukan remaja. Sehingga, langkah ini hanya membuka pintu untuk remaja tersesat, bukan menunjukkan jalan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar