Oleh : Isman Rahmani Yusron
Sudah sejak lama, dan hingga
kini bercokol suatu keyakinan, bahwa mengajarkan anak kedisiplinan di sekolah, adalah
dengan menjalankan mekanisme reward and punishment. Keyakinan
kuno yang berakar pada tradisi behaviorisme ini, sangat diyakini sebagai metode
yang efektif dalam membentuk karakter anak yang disiplin, patuh, penurut, dan taat
pada aturan bersekolah. Anak didik, diperlakukan sebagai robot mekanis yang
bisa disetel sesuai keinginan si pemegang aturan. Atau, diposisikan sebagai
anjing peliharaan, yang bisa dilatih sesuai keinginan si pemilik, jika patuh
beri dia hadiah, jika tak patuh: hukum dan paksa, jangan diberi pilihan untuk
tidak patuh.
Pendidikan model seperti ini
memang paling mudah, namun berakar pada keyakinan yang salah.
Pendidikan, kata kuncinya adalah ‘mengembangkan’, dan bukan ‘membentuk’.
Memang, tradisi behaviorisme meyakini bahwa manusia dapat dipandang sebagai
tabula rasa, yang bisa dibentuk oleh lingkungan. Saya tak akan mementahkan
seluruhnya sudut pandang ini apalagi berdebat, namun untuk konteks “Pendidikan”, kita mesti
sangat skeptis dengan keyakinan seperti ini.
Setidaknya, sebelum
memutuskan dengan gaya tersebut, kita perlu bertanya: apa iya, manusia semudah
itu bisa dibentuk? Apa semua manusia bisa dibentuk? Bagaimana kita tau, bahwa
landasan kita membentuk seorang manusia itu didasari pada alasan yang tepat?
Bagaimana jika kita membentuk mereka menjadi “salah”? Kebenaran mana yang kita
pegang? Apa kebenaran kita cocok dengan kebenaran anak yang kita bentuk?. Jika
kita yakin ini paling tepat tanpa bertanya, kita telah melakukan simplifikasi
yang sangat naif!
Sebagai contoh, praktik
pendidikan di indonesia membentuk suatu iklim pembelajaran dimana siswa harus
duduk tegap rapih, berjejer jejer, dengan guru di depan sebagai sumber utama
belajar, dan siswa dibelakangnya sebagai obyek mengajar guru. Kadang mereka tak
diperkenankan menyela guru, tak diperbolehkan mempertanyakan kebenaran yang
disampaikan guru, bahkan tak diperbolehkan bersuara jika belum diijinkan guru.
Guru sebagai otoritas mutlak saat di kelas.
Apa ini praktik yang tepat
dalam konteks “pendidikan”? Tidakkah, itu hanya membentuk siswa sebagai makhluk
pasif, tak berdaya, hanya disuapi, dan dipaksa menelan bulat semua ajaran guru
tanpa mereka bisa membedakan apakah yang guru cekoki itu vitamin atau racun?
Ini sangat mengerikan bagi anak yang sejatinya harus berkembang, meski sangat
banal terjadi di Indonesia.
Begitupun dengan mekanisme
hukuman. Siswa terlambat di hukum, tak mengerjakan tugas dihukum, dianggap
tidak sopan dihukum, tak berseragam rapih dihukum, sepatu berbeda dihukum. Come
on, ini lembaga pendidikan atau lembaga pemasyarakatan? Coba kita renungkan
ulang, pernah tidak kita memikirkan apa yang terjadi dibalik perilaku yang menyebabkan
siswa mendapat hukuman? Siswa terlambat misalnya, kita pernah merenungkan secara serius “apa
yang menyebabkan siswa terlambat?”, bisa jadi karena rumah yang jauh, bisa jadi
karena semalam membantu orang tua berdagang hingga bangun kesiangan, bisa jadi
karena kesalahan teknis bajunya kena kotoran hingga mesti dicuci dahulu demi
menyelematkan hargadirinya, bisa jadi karena kemacetan, bahkan bisa jadi karena
memang sekolah sudah sebegitu memuakkan baginya!
Yang terakhir ini misalnya,
apa salah siswa, jika ia malas ke sekolah karena memang sekolah sudah
sedemikian membosankan dan tidak menarik baginya?? Atau ke sekolah bagai dipaksa
masuk penjara, sehingga mengulur waktu adalah ide brilian bagi dia? Atau
sekolah sudah sedemikian tidak ramahnya sehingga tak muncul simpati dan motivasi
untuk memprioritaskan masuk sekolah tepat waktu?
Kontras, -dengan pengalaman
saya- jika misalnya saya saksikan anak-anak yang antusias ingin pergi ke
stadion untuk mendukung tim kesayangannya. Pertandingan pukul 18.00, dia sudah
bersiap dari pukul 15.00. Mempersiapkan makanan bekal, memakai baju tim
kesayangan yang sudah dipersiapkan sejak kemarin, merencanakan berangkat pukul
berapa, sehingga dalam pikirannya mengantisipasi banyak hal seperti kemungkinan
kemacetan, atau menghindari waktu berdesakan masuk stadion, membayangkan tempat
parkir yang dipilih agar tidak dicuri, mudah akses, tidak terjebak kemacetan
dan berbagai planning brilian lainnya.
Kemudian di stadion, dia
segera dengan mudah berbaur dengan penonton lain, saling berbagi makanan dengan
orang yang tak ia kenal. Mematuhi untuk tidak duduk di sandaran kursi stadion, menyaksikan
pertandingan dengan penuh kognisi bercirikan mengomentari taktik, sensitif pada
kesalahan dan keteledoran langkah pemain, dan berbagai penggunaan fungsi
kognitif lainnya. Ia juga sedemikian emosionalnya terlibat dalam pertandingan
sehingga 90 menit bukan waktu yang lama baginya.
Kenapa bisa seperti itu? Padahal
tim kebanggaannya tak pernah menjanjikan reward sedikitpun bagi para
pendukung, apalagi punishment misalnya jika telat mendukung? Kata kunci
utamanya adalah Terlibat! (Engagement). Bagi saya, alih-alih kita membuang
waktu memikirkan hukuman apa yang pantas untuk siswa yang terlambat, bagaimana
hukuman yang tepat bagi anak yang tidak mengerjakan PR, lebih baik kita investasikan
pikiran kita tentang bagaimana membuat siswa menjadi terlibat pada segala
bentuk kegiatan pendidikan di sekolah. Bagaimana kita membuat kelas adalah
rumah yang menyenangkan. Bagaimana belajar tidak lagi upaya formil yang rigid,
kaku, dan tidak menyenangkan. Bagaimana membuat siswa menjadi rindu sekolah,
sehingga terlambat adalah kerugian pribadi baginya karena ia dapat melewatkan
momen menyenangkan.
Jika dalam situasi ini,
masih perlukah ada hukuman? Atau bahkan reward? Saya yakin, jika siswa
sudah terlibat dalam proses pendidikan yang sangat menyenangkan, reward
berupa nilai dari guru atau kelulusan sudah tidak penting lagi baginya.
Filsuf pragmatisme, John Dewey
pernah mengatakan, suatu pengalaman pendidikan yang dapat mereduksi tumbuhnya
pengalaman-pengalaman selanjutnya, adalah salah didik! Ini bisa jadi sebuah
indikator bagus atau tidaknya suatu lembaga pendidikan. Kita bisa evaluasi
sendiri, apakah proses pendidikan kita menghambat keinginan siswa untuk
memperoleh pengalaman belajar selanjutnya? Jika iya, maka kita telah
menjalankan praktik pendidikan yang salah. Karena sejatinya pendidikan, mesti
membuat siswa begitu antusias untuk mendapatkan pengalaman belajar selanjutnya.
Jika siswa, dengan begitu
mudahnya menyepelekan tugas-tugas sekolah, menyepelekan ketepatan waktu hadir,
artinya pendidikan yang dijalankan telah merintangi tumbuhnya pengalaman siswa
selanjutnya. Maka bisa dievaluasi juga, seberapa banyak siswa yang trauma pada
pendidikan yang ia dapatkan? Sehingga menganggap sekolah adalah mimpi buruk di
episode hidupnya.
Kemudian pertanyaannya,
bagaimana kita menumbuhkan keterlibatan positif siswa pada pembelajaran?
Bagaimana kita merancang sebuah proses pendidikan yang membuat siswa menjadi
sangat engage dalam proses pembelajaran? Jawabannya adalah ubah
paradigma kita bahwa pendidikan adalah kewajiban! Alih-alih sebagai kewajiban
yang banyak menuntut, sekolah mesti ditempatkan sebagai hak.
Ketika kita menempatkan
pendidikan sebagai hak, artinya kita harus membentuk proses pendidikan yang
sesuai harapan si penuntut hak. Jika kostumer (siswa) kita adalah anak-anak,
bentuklah proses pendidikan yang sesuai dengan karakter psikologis anak-anak.
Anak-anak mesti bertumbuh, memerlukan sinar matahari, maka jangan dibuat
sekolah sebegitu pagi dan gelap, sehingga mengurangi kesempatan secara fisik
mendapat anugerah sinar matahari. Buat kegiatan di luar ruangan yang
menyenangkan, seperti pembelajaran berbasis permainan dan berbagai kegiatan
lainnya yang tidak mengurangi kesempatan mereka menghirup udara pagi dan sinar
matahari.
Anak-anak juga mesti matang,
maka buat sistem pembelajaran yang tidak membuatnya duduk berlama-lama,
melainkan aktif bergerak melatih motorik kasar dan halusnya. Anak-anak mesti
mengembangkan kognitifnya, maka berilah suatu stimulus yang membuatnya tengelam
dalam menyelesaikan masalah, yang artinya hindari textbook dan LKS, tapi
buatlah proyek belajar yang mengasah kemampuan kognitif sekaligus sosialnya.
Anak perlu bersosialisasi, maka jangan batasi kerjasama dengan
mengotak-ngotakkan tempat duduk. Anak perlu mengasah etika dan keindahan, maka
berikan dia kesempatan mengeksplorasi jiwa seninya ketimbang diajarkan
menggambar dua gunung satu matahari dengan sawah, jalan dan gubuknya.
Anak perlu berani mengungkapkan
pendapat, maka berilah dia kesempatan untuk menceritakan pengalaman hidupnya.
Anak perlu matang secara emosi, maka beri kesempatan untuk mengendalikan rasa
marahnya. Anak perlu bertoleransi, maka beri kesempatan mereka untuk
mengapresiasi hasil kerja temannya. Dan berbagai hal lainnya dengan sumber
pengetahuan psikologis tentang anak yang tepat dan terbebas dari mitos-mitos
populer.
Jika siswa kita adalah
remaja, beri kesempatan luas dia untuk mengembangkan dirinya. Memperoleh
jatidirinya, berhenti mendiktenya, perlakukan sebagai temannya, jauhkan dari
prasangka kepadanya, jadilah pendengar setianya, fasilitasi keingintahuannya,
apresiasi segala sikap kreatifnnya. Masa remaja adalah masa-masa kreatif, maka
berikan kebebasan dia berfikir, jauhkan dari penghakiman, fasilitasi dirinya
untuk mengungkap identitasnya, beri kesempatan untuk ia memperlihatkan
kemampuannya.
Remaja adalah masa emosional
dan sosial, maka beri fasilitas untuk mengungkapkan emosinya secara positif,
jauhkan tekanan yang berlebihan, berikan kesempatan untuk bekerjasama secara
tim. Tumbuhkan kebanggaan pada dirinya, berikan iklim kompetisi berkelompok,
jangan sepelekan kerja kerasnya. Berbagai hal bisa dilakukan, dengan tujuan
menumbuhkan attachment siswa pada sekolah baik secara fisik, psikologis maupun
sosial.
Jika siswa sudah engage
pada pendidikan, secara fisik, kognitif, emosional, sosial, saya yakin kita
tidak lagi sulit memikirkan hukuman apa yang tepat bagi mereka yang
terlambat, mengerjakan tugas, melanggar aturan, dan berbagai stigma dan asumsi
negatif yang bahkan belum terbukti. Siswa akan dapat menghargai lembaga
pendidikan, jika lembaga pendidikan menyediakan rumah yang penuh dengan
pengalaman, daripada menyediakan seabreg tuntutan.
Siswa akan mendisiplinkan
diri sendiri, karena ia sangat butuh untuk disiplin, bukan karena dituntut
untuk disiplin. Berbagai penelitian membuktikan bahwa lokus kontrol internal, sangat
efektif dibanding eksternal. Motif instrinsik lebih berkekuatan daripada motif
ekstrinsik. Terakhir, jika sekolah telah menjadi kebutuhan yang menyenangkan,
kenapa siswa harus menyepelekan? Think about it!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar