Peran sentral pendidik
sebagai agen yang mempersiapkan generasi baru, dituntut untuk lebih adaptif
dalam menghadapi pesatnya era global. Dalam proses belajar mengajar, pendidik
harus mempersiapkan langkah yang revolusioner. Mereka dituntut membebaskan
fikirannya dari konservatisme.
Para pendidik harus
pandai menuntut diri untuk membebaskan fikirannya dari belenggu paradigma
pedagogis yang telah usang. Karena, jika sikap para pendidik masih cenderung
konservatif dalam melaksanakan proses pendidikan, maka hasilnya hanya
melahirkan generasi yang tak mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman.
Setidaknya penulis
mengidentifikasi beberapa paradigma usang yang perlu untuk segera dirubah demi melahirkan
generasi era baru. Salah satunya, pola interaksi antara guru dan murid yang
feodalistis. Banyak yang menilai, pola hubungan pedagogis memang berimplikasi
pada sistem yang cenderung feodal. Posisi pendidik harus lebih tinggi dan
“terhormat” daripada murid karena terkait pola transformasi ilmu yang berasal
dari guru dan dikonsumsi oleh para peserta didik.
Paradigma ini sungguh
telah usang dan sungguh kolot. Faktanya, budaya feodal hanyalah menghasilkan
generasi yang tak percaya diri dan cenderung koruptif. Dampak dari lestarinya
sistem ini, menjadikan terpatri dalam fikiran bahwa yang berhak dilayani adalah
masyarakat dari kalangan terhormat atau yang memiliki kekayaan. Sehingga,
tindakan korupsi tak lagi terelakkan, misalnya karena tak bisa menolak
permintaan atasan atau demi menghormati atasan,
sogokan dan gratifikasi berubah makna menjadi “menghargai” atau
“menghormati”.
Selain itu, pola
interaksi antara guru dan murid yang feodal, hanya melahirkan generasi yang
konsumtif. Jika dalam proses belajar mengajar, guru menanamkan bahwa sumber
ilmu adalah dirinya, maka murid diposisikan sebagai konsumen. Padahal, masa
depan menuntut generasi yang produktif yang dapat senantiasa melahirkan ilmu.
Kebanyakan para murid hari ini, dibentuk sebagai konsumen ilmu. Akhirnya,
konstruk fikirannya dalam sikap belajar adalah senantiasa mengonsumsi bukan
memproduksi.
Untuk hal yang satu ini,
perlu sekali menjadi tekanan penting. Masa depan menuntut orang untuk merubah
caranya dalam mendapatkan ilmu. Dalam hal ini seorang filsuf pendidikan, Paolo
Freire berkomentar, “cara memperoleh pengetahuanlah yang menjadi salah satu
masalah dalam lapangan pendidikan yang perlu dipecahkan oleh sebuah masyarakat
yang revolusioner. Sebuah masyarakat yang revolusioner seharusnya melihat bahwa
usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut diri mereka berperan sebagai subjek –
pencipta (creator), pencipta kembali (recreator), dan penemu ulang
(reinvetor),” (Freire, 2000:12).
Dalam tuntutan kekinian,
yang harus dikembangkan dalam sistem interaksi antara guru dan murid adalah
sistem yang egalitarian. Guru harus berbesar hati untuk berada sejajar dengan
murid. Fungsi dari guru tak lagi bak dewa yang selalu benar, tapi merupakan
bagian dari proses belajar. Proses transformasi pengetahuan dalam kegiatan
belajar mengajar menjadi multi arah. Peserta didik diperlakukan sebagai subjek
belajar, bukan menjadi objek mengajar.
Freire sempat memberikan
wejangan dalam hal ini, “jika dikotomi antara mengajar dan belajar sampai
menyebabkan pihak yang mengajar tidak mau belajar dari peserta didik yang
diajarnya, berarti sebuah ideologi dominasi mulai tumbuh (Freire, 2000:8). Statement tersebut bermakna bahwa baik guru
maupun murid merupakan subjek yang sama-sama saling belajar.
Sekolah hari ini, harus di isi oleh para pendidik yang revolusioner. Para pendidik harus berani memecah rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang telah usang. Perlu para pendidik sadari bahwa pola feodalistis di sekolah merupakan warisan era kolonialis yang tak perlu dipertahankan. Para pendidik era baru harus menyadari bahwa dirinya sedang berada di peran sentral dalam mempersiapkan generasi baru untuk lebih siap dalam mengisi dan turut menjadi bagian dari masyarakat dunia (world citizen) yang mesti siap mengikuti arus perkembangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar