Keengganan pemerintah
untuk segera meniadakan penyelenggaraan UN perlu dipertanyakan dasarnya. Jika
dianalisa secara psikologis, penyelenggaraan UN seperti ini sangat berbahaya bagi
siswa. Salah satu gejala yang akan muncul salah satunya adalah Academic Burnout.
Academic Burnout secara teoritis merupakan
kondisi dimana siswa telah mengalami kelelahan yang hebat dalam belajar. Schaufeli
et al (2002) menjelaskan bahwa academic
burnout merujuk pada situasi perasaan
keletihan dikarenakan tuntutan belajar, memperlihatkan sikap sinis dan
menghindari dari pembelajaran, merasa tidak kompeten atau merasa tak mampu
sebagai pelajar.
Pada awalnya, Burnout identik dengan kondisi pekerja
yang mengalami stress diiringi kelelahan fisik dan emosional. Freudeunberger (1974)
menganalogikan kondisi ini seperti gedung yang terbakar habis (burnout) dimana secara fisik masih utuh
namun isinya (jiwanya) terbakar habis. Penelitian terbaru memaparkan, kondisi
ini tidak hanya terjadi di kalangan pekerja, melainkan siswa pun sangat rentan
mengalami burnout. Artinya, sekolah
telah tak jauh beda seperti bekerja.
Penyelenggaraan UN yang
pada faktanya hanya menuntut pemenuhan standar kuantitatif dari hasil
pembelajaran menjadikan sekolah tak ubahnya seperti bekerja. Kartadinata (2010)
menyatakan, ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses
pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan
yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan
bangsa.
Simplifikasi yang
dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat
intelektual yang diukur melalui ujian, sehingga siswa dipaksa untuk memenuhi
harapan standar tersebut yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses
linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Kondisi ini
menjadi sebuah pemicu siswa mengalami burnout
dalam pembelajaran.
Burnout
dalam setting belajar diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan belajar
kepada siswa. Penyelenggaraan UN di sekolah bagi siswa merupakan satu sumber
tekanan psikologis tersendiri. Tuntutan pemenuhan nilai yang bersifat
kuantitatif yang terkesan dipaksakan, belum lagi tuntutan citra sekolah
menjadikan kondisi stress dan burnout
tak terelakkan lagi. Hal ini sudah menjadi alasan kuat bahwa ujian nasional
harus segera dihentikan.
Academic
Burnout menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional,
kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya
keinginan untuk sukses. Dampak yang muncul pada saat siswa mengalami kondisi
ini ialah memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar,
hingga tingginya angka drop out (Aypay, 2011).
Bahkan penelitian
terakhir menyebutkan, academic burnout akan memicu gejala lain yang lebih
parah. Salah satunya adalah hasil penelitian dari Salmela –Aro (2008) yang
menyatakan bahwa kondisi burnout di sekolah bagi siswa harus segera mendapat
perhatian serius, karena akan menggiring siswa mengalami gejala-gejala depresi.
Dari berbagai fakta
diatas, maka tak ada alasan lagi UN harus dipertahankan. Pemerintah terutama
Kemendikbud jangan bertindak egois dengan tetap mempertahankan UN sebagai alat
untuk mengukur mutu pendidikan. Alasan tersebut adalah alasan yang sangat
irrasional. Jika melihat dampak buruknya, ujian nasional tidak meningkatkan
mutu pendidikan, melainkan -meminjam
istilah Sunaryo Kartadinata- akan hanya menghasilkan masyarakat yang sakit (sane society).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar