Oleh: Isman Rahmani Yusron
“Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi
dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan
hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali.” -
Tan Malaka
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan arus utama,
selalu pongah dengan klaim bahwa suatu kebenaran hanya dapat diterima jika
telah diverifikasi secara empiris dengan bukti nyata menurut pengalaman.
Objektivitas dalam kegiatan ilmiah, seolah menjadi legitimasi yang berlebihan
untuk dijadikan sebagai kebenaran yang universal dan dapat digeneralisasi pada
aspek yang lebih luas. Seolah-olah, subjektifitas dan rasionalitas subjektif
tidak dapat diikutkan dan bermakna peyoratif dalam dunia ilmu pengetahuan.
Paradigma ini, memicu sebuah klaim yang berlebihan mengenai ilmiah atau
tidaknya suatu teori didasarkan semata-mata pada bukti empirik apa adanya.
Bahkan, tradisi pembuktian menurut pengalaman empiris dan objektif ini menjadi
pedoman ekslusif yang mendikhotomi realitas menjadi “yang ilmiah” dan “tidak
ilmiah”. Sesuatu yang ilmiah dikesankan pada suatu bentuk rigid yang selaras
dengan bukti yang ditemukan secara empirik. Hal-hal yang berkaitan dengan nilai
dan kepentingan masyarakat, seolah dibebaskan bahkan dijauhkan. Akhirnya,
jargon fakta ilmiah bebas nilai, seolah menjadi lazim dan tidak dapat digugat.
Pemisahan ilmu pengetahuan dengan
kepentingan, menghasilkan masyarakat keilmuan yang lari dari tanggung jawab.
Ilmu pengetahuan dijadikan sebuah domain yang tidak boleh tercampuri urusan
politis kemanusiaan. Sekaligus, secara otomatis, ilmu pengetahuan tidak
dibentuk untuk secara direktif menyelesaikan masalah nilai kemasyarakatan. Ilmu
pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, demi perkembangan ilmu
pengetahuan. Pola saintisme semacam ini, melahirkan sebuah kultur pemisahan
ilmu pengetahuan dengan realitas hidup kemasyarakatan. Akibatnya, dunia
keilmuan semakin berada di awang-awang, melesat meninggalkan realitas kehidupan
yang –jika tak bisa dibilang lamban, memerlukan proses kompleks untuk mencapai
titik kemajuan tertentu.
Meski demikian, ketimpangan jarak antara ilmu
dan realitas masyarakat, pada akhirnya menggusur pihak yang lebih lamban untuk
mengejar ketertinggalannya. Sehingga, dalam hal ini realitas kemasyarakatan
yang wajarnya bergerak berproses, dipaksa untuk berubah pesat, serba cepat,
mengejar keseimbangan dengan perubahan cepat ilmu pengetahuan. Kondisi ini menghasilkan
sebuah tatanan masyarakat yang tak pernah selesai mencerna zaman. Kultur
kehidupan berubah dari yang asalnya pendalaman makna alam semesta, menjadi
masyarakat kompetitif yang penuh persaingan mewujudkan ambisi idealnya. Situasi
yang serba berkompetisi dan bersaing ini, lama kelamaan mendistorsi nilai-nilai
kemanusiaan dalam masyarakat. Kehidupan semakin tidak manusiawi, bergerak
seperti mesin dalam sebuah pabrik yang berlomba-lomba untuk terus berproduksi,
serba transaksional dan saling tindas menindas.
Ambisi
sebagian orang yang ingin memisahkan ilmu pengetahuan dengan kepentingan
masyarakat, tentunya tak sempat membayangkan implikasi dari hal itu sedemikian
besar. Meskipun, fakta nyata tak terbantahkan dimana kian hari masyarakat
semakin tidak manusiawi. Budaya kolektif masyarakat, digantikan oleh
individulisme yang satu sama lain bersaing mewujudkan idealisme. Kompetisi
menghasilkan kemajuan di satu sisi, dan manusia yang kalah dalam persaingan dan
termarjinalkan di sisi lainnya. Dimana, masyarakat yang kalah dalam pesatnya
perkembangan zaman, semakin sulit mengejar ketertinggalan. Pada akhirnya,
terciptalah sebuah kondisi masyarakat yang serba tertekan dan depresif, yang
pada ujungnya terlahir insane society yang kian lama kian
memprihatinkan. Para praktisi pengembang ilmu pengetahuan semakin jauh
pikirannya dari realitas kehidupan, dan hanya melamunkan suatu utopia kemajuan
manusia yang tak pernah puas pada satu titik. Parahnya, masing-masing tidak
peduli apakah ada masyarakat yang sudah mengejar atau yang jauh tertinggal.
Mereka semakin tenggelam pada kekaguman temuan-temuan baru yang tak pernah
bertahan lama.
Ilmu pengetahuan yang bergerak liar melesat
jauh dari realitas kepentingan masyarakat, hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan
semu yang semakin mekanistik. Pada titik ini, kemanusiaan semakin terdistorsi
dan dikur oleh standar idealisme yang utopis. Kesenjangan masyarakat dalam
aspek sosioekonomi, menjadi jurang dalam yang sulit dilalui oleh pihak yang kalah
dalam persaingan. Pada akhirnya, kehidupan tak ubahnya seperti pertarungan
dalam persaingan dimana yang terlahir dalam kekalahan akan selamanya kalah,
yang miskin tak punya kesempatan untuk menghadapi kehidupan. Ilmu pengetahuan
hanya dapat melanggengkan penindasan, dan tidak berpihak pada realitas
masyarakat. Jikalah pemisahan ilmu pengetahuan dari kepentingan menciptakan
situasi separah ini, maka apa jadinya masa depan bagi masyarakat yang terlahir
dalam kekalahan?
B.
Ilmu
dan Kepentingan Masyarakat
Pada prinsipnya, ilmu tak harus dipisahkan
dari kemanusiaan. Ilmu pengetahuan harus senantiasa berpihak pada realitas
masyarakat. Tak seharusnya ilmu dan kepentingan masyarakat berjalan
sendiri-sendiri, keduanya harus saling melengkapi dan saling mewarnai. Ilmu
pengetahuan tidak boleh terbebas dari warna kepentingan masyarakat. Keduanya
mesti berjalan bersamaan saling menguntungkan, demi menghilangkan situasi
penindasan. Jikalah pada akhirnya kemajuan ilmu pengetahuan hanya menghasilkan
penindasan bagi masyarakat, sudah sepantasya di kritik dan diluruskan kembali
demi kepentingan masyarakat. Pasalnya, jika ilmu pengetahuan hanya dapat
menciptakan masyarakat tertindas, tak berpihak pada kepentingan kemasyarakatan,
suatu hari kemajuan ilmu pengetahuan akan hanya tinggal retorika yang sulit
diwujudkan.
Ilmu pengetahuan, mesti dibentuk dan
berorientasi pada keberpihakan pada realitas kehidupan masyarakat. Dunia ide,
tak boleh terlepas dari akarnya: kemanusiaan. Kenyaataan yang terjadi saat ini
adalah ilmu pengetahuan selalu berhenti pada temuan dan kesimpulan. Sangat
sedikit dari kesimpulan dan temuan-temuan tersebut mempertimbangkan implikasi
praktis, etis, sosial kemasyarakatan. Bahkan dengan pongahnya kebanyakan
temuan-temuan penelitian mendeklarasikan diri terlepas dari
kepentingan-kepentingan. Padahal, semestinya bahwa temuan-temuan penelitian
mesti berorientasi pada kepentingan kemasyarakatan. Titik tolak keberangkatan
dari penelitian ilmiah sudah semestinya memang didasarkan pada pertimbangan
mendalam pada kondisi kemasyarakatan dan berbagai kepentingannya. Ilmu tidak
boleh sama sekali bebas dari nilai-nilai kehidupan, sebaliknya ilmu harus
dilandasi dan melandasi nilai-nilai kehidupan. Produksi teori mesti
berorientasi pada pandangan yang memihak pada kepentingan masyarakat. Melalui
hal itu, perkembangan ilmu pengetahuan tidak jauh dan terasing dari realitas.
Kebutuhan manusia, dapat didefinisikan
sebagai segala hal yang menyangkut kepentingan individu untuk bertahan hidup
dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupan baik fisik maupun psikis. Dalam arti
ini, kehidupan manusia tidak melulu sebagai perjuangan untuk mempertahankan
hidup semata, melainkan juga kesempatan untuk menghidupi kehidupan yang
sejahtera. Termasuk didalamnya, adalah untuk hidup berdampingan dengan manusia
lain secara selaras, sejajar tanpa adanya kondisi yang saling menindas.
Definisi ini cukup untuk menjadi orientasi utama dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Dimana, ilmu pengetahuan senantiasa diciptakan dan dikembangkan
dengan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bukan sebaliknya, dimana
manusia yang terus mengejar memenuhi kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan.
Posisi manusia dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai subjek, bukan objek, aktif
bukan pasif, dan menjadi tuan bukan jadi budak dari ilmu pengetahuan.
Akar dari tujuan dikembangkannya ilmu
pengetahuan, haruslah berdasar pada asas manfaat kolektifitas manusia bukan
berasal dari kepentingan segelintir orang, apalagi pemodal. Ilmu pengetahuan
mesti dikembangkan dengan mendedikasikan diri pada kesejajaran masyarakat dalam
kehidupan. Bolehlah kita terkagum pada pesatnya ilmu pengetahuan yang
menciptakan berbagai kemudahan bagi masyarakat. Namun, apalah artinya kemajuan
tersebut jika hanya menciptakan jurang kesenjangan yang dalam. Apalah arti
kemajuan ilmu pengetahuan, jika tak semua manusia dapat dengan sejajar
merasakan manfaatnya. Apalah arti kemajuan penggetahuan jika hanya
melanggengkan penindasan. Kemajuan ilmu pengetahuan harus senantiasa memberikan
perhatian yang besar pada kepentingan masyarakat luas demi terbebasnya
masyarakat dari kondisi yang menindas.
Orientasi ilmu pengetahuan mestilah berfokus
pada penyadaran manusia demi terciptanya masyarakat yang sadar. Masyarakat
sadar yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki penguasaan pemahaman akan
kondisi dirinya sendiri dan alam kehidupannya. Masyarakat yang sadar, akan
lebih mementingkan masa depan dari kemanusiaan dibandingkan keuntungan
pragmatis yang sesaat. Sebagai contoh, ketika ilmu pengetahuan tidak
berorientasi pada penyadaran manusia dan melulu hanya memenuhi ambisi pribadi,
pengguna ilmu pengetahuan akan semakin eksploitatif terhadap alam bahkan
terhadap manusia lainnya. Ilmu pengetahuan pada saat itu, praktis menjadi
alasan seseorang menjadi kanibal bagi manusia lainnya. Namun, jika ilmu
pengetahuan berorientasi pada penyadaran manusia, ilmu akan menjadi sumber dari
kearifan menjaga kelestarian alam dan kemanusiaan. Manusia sadar akan
kemanusiaannya sendiri, tidak akan kehilangan dirinya dalam masyarakat apalagi
menjadi kanibal yang eksploitatif bagi manusia lainnya.
Pada titik dimana ilmu pengetahuan berhasil
memfasilitasi kepentingan-kepentingan kemanusiaan, mendasarkan pada realitas
kemasyarakatan, dan berorientasi pada penyadaran manusia, ilmu pengetahuan akan
dengan sendirinya akan menghasilkan peradaban yang manusiawi. Semua bagian
masyarakat dapat mencerna jaman dengan sudut pandang ilmu pengetahuan,
menciptakan keseimbangan dan kesejajaran. Ilmu tidak lagi berada pada area
eksklusif yang jauh dari jangkauan masyarakat. Setiap individu memiliki
kesempatan menikmati dan berpartisipasi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat
tidak sulit memahami setiap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan, karena perubahannya
disampaikan dengan bahasa sederhana yang berasal dari keseharian hidup manusia.
Metode-metode keilmuan membumi dan mudah dikuasai manusia karena berakar pada
problematika nyata kehidupan. Hasil-hasilnya berimplikasi pada praxis,
etis, sosal kemasyarakatan dan mendeklarasikan diri berpihak pada kepentingan
kemanusiaan.
Masa depan peradaban manusia yang manusiawi
dan memanusiakan, tidak lagi menjadi utopia jika ilmu pengetahuan
memfasilitasinya. Dalam arti, perkembangan ilmu pengetahuan yang berorientasi
pada kepentingan masyarakat dan berdasar pada realitasnya, akan menghasilkan
produk-produk pemikiran yang mementingkan kepentingan masyarakat dan
kemanusiaan. Batu uji ilmiah suatu kebenaran adalah sejauh mana implikasi
kebenaran tersebut berguna bagi penyadaran dan kegunaan praktis di masyarakat
luas. Sebuah tatanan sistem keilmuan yang tidak lagi relevan bagi manfaat
kemasyarakatan dan malah menciptakan sistem yang menindas, mesti direvisi dan
disempurnakan ke arah emansipasi masyarakat dan menciptakan sistem yang
egaliter. Ilmu pengetahuan berkembang pada koridor kepentingan kemasyarakatan
tanpa memandang kelas. Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk kepentingan
pembebasan masyarakat, bukan untuk segelintir orang yang bertendensi
mengehegemoni manusia lainnya.
C.
Penutup
Implikasi praktis dari cita-cita
mengembalikan ilmu pengetahuan untuk tidak jauh dari kepentingan manusia dan
masyarakat, pertama-tama adalah dengan menyandarkan penelitian ilmiah pada
pendalaman yang komprehensif mengenai kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan.
Kepekaan seorang ilmuan pada kondisi sosial kemasyarakatan serta menempatkan
diri sebagai bagian dari masyarakat dibanding sebagai pengamat, akan
menciptakan sudut pandang orientasi keilmuan yang berpihak pada masyarakat.
Ilmuwan mendedikasikan diri pada kepentingan masyarakat dan berbagai situasi
yang dialaminya, sehingga menghasilkan temuan-temuan penting bagi kemajuan dan
pembebasan masyarakat.
Selanjutnya, paradigma ilmu pengetahuan mesti
sepakat menolak pengembangan ilmu pengetahuan yang bertendensi memicu kesenjangan
dan penindasan diantara masyarakat. Ilmuwan mesti memiliki keberanian untuk
memfalsifikasi suatu klaim kebenaran jika pada akhirnya menimbulkan
ketertindasan pada masyarakat. Betapapun bergunanya sebuah temuan dan terbukti
empirik, jika pada akhirnya hanya mempertahankan status quo di masyarakat dan
melanggengkan ketidakadilan, maka mesti direvisi dengan mempertimbangkan
kepentingan masyarakat. Ilmu pengetahuan mesti menjadi alat untuk pembebasan
alih-alih dimanfaatkan sebagai alat penindasan. Kegunaan praktis juga mesti
selaras dengan kepentingan yang lebih luas.
Ilmu pengetahuan mesti berorientasi juga pada
penyadaran masyarakat. Dimana ilmu pengetahuan, dikembangkan dengan tujuan
untuk masyarakat memahami kondisinya sendiri dan menyadari perubahan. Ilmu
pengetahuan mesti berkembang dalam koridor memahamkan masyarakat pada realitas
yang menindas, untuk menyadarkan masyarakat agar mendobrak sistem yang secara
tidak disadari melanggengkan penindasan. Ilmu pengetahuan merangsang masyarakat
untuk emansipatif berkontribusi memperbaiki tatanan sistem kemasyarakatan yang
adil dan egaliter. Sehingga, seluruh masyarakat tanpa terkecuali menjadi subjek
dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian-penelitian ilmiah mesti berlatar
belakang pada realitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas. Peneliti
bertugas menggali dan menerjemahkan dalam bahasa yang sederhana pada
ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Melalui pijakan yang bersumber dari
kepentingan masyarakat dan fenomena kemasyarakatan yang tidak adil, penelitian
dikembangkan agar didapatkan solusi praktis menyelesaikannya. Penelitian ilmiah
mesti dijauhkan dari sifat ahistoris yang tak berakar pada sejarah kemanusiaan,
dan juga dijauhkan dari sifat asosial yang tidak menyandarkan diri pada
kepentingan-kepentingan sosial.
Metode-metode ilmiah mestilah metode yang
mudah dipraktikan oleh masyarakat awam, sehingga metode tidak hanya sebatas
jalan melainkan juga temuan panduan praktis bagi masyarakat untuk mengujinya.
Metode-metode diterjemahkan dalam prosedur yang ramah bagi masyarakat termasuk
memudahkan dan sangat memungkinkan untuk dilakukan (feasible).
Masyarakat mesti memahami kenapa metode yang sistematik mesti dilakukan, yang
oleh karenanya mesti berbentuk sederhana dan mudah difahami.
Terakhir, yang terpenting adalah hasil dari
penelitian ilmiah mesti mengandung implikasi-implikasi praktis, teoretis, etis,
moral dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Hasil penelitian ilmiah
menghasilkan nilai guna praktis untuk kemajuan hidup masyarakat tanpa
terkecuali. Kebenaran ilmiah dari hasil penelitian disandarkan pada sejauh mana
hasilnya memiliki kebermanfaatan bagi nilai kehidupan sosial. Sehingga akar
dari segala ilmu adalah masyarakat, dimana perkembangannya berada tidak jauh
dalam jangkauan masyarakat. Hasil penelitian tidak berhenti pada temuan dan
kesimpulan, melainkan pada implikasi pada praxis dan kepentingan dalam
kehidupan masyarakat.
Referensi:
Fox,D.
& Prilletensky,I. (2005). Psikologi Kritis: Metaanalisis Psikologi
Modern (terj). Jakarta: Teraju.
Hardiman,
F.B. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Smith,
W.A. (2008). Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar