Sering kita mendengar, kata “bijaksana” atau “kebijaksanaan”, tapi sedikit orang memahami artinya. Kebijaksanaan, yang dalam istilah yunani disebut “sophos”/”sophia”, merupakan suatu sifat yang perlu dimiliki manusia. Terutama di zaman yang serba terkoneksi secara sosial dengan dunia yang luas, menjadi bijaksana adalah sebuah kebutuhan. Karena, tanpa itu, dengan mudah seseorang akan melupakan bahwa setiap manusia memiliki sisi yang perlu ditoleransi.
Setidaknya, kebijaksanaan memiliki empat unsur utama, yakni; logis, etis, estetis, dan teologis. Logis, berarti bahwa kita telaten dan disiplin betul dalam menggunakan akal pikiran kita. Berfikir secara logis, adalah latihan untuk mencerna segala peristiwa dan informasi secara radikal (radikal berasal kata dari radix, yang artinya akar). Apa yang kita dapatkan perlu dikunyah dengan telaten oleh pikiran kita sendiri sampai pada akar yang paling dalam, sebelum kita melontarkan sebuah kesimpulan. Sehingga, proses mental kita terlatih untuk jernih mencerna sebuah masalah, dan dapat dijadikan dasar untuk berkomentar (tidak asal berujar).
Selain logis, kita juga perlu memiliki etis. Etis berarti bahwa kita mempertimbangkan betul unsur kebaikan atau etika sesama manusia yang dapat diterima. Etis juga terkait afeksi, mempertimbangkan perasaan dalam setiap perilaku yang kita lakukan, dan mempertimbangkan apakah selaras dengan kesepakatan umum. Kadang, kita berbicara logis, tapi tak jarang melukai perasaan orang lain atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku umum, ini contoh dimana kita memiliki logis tapi tidak etis. Etis diperlukan, agar produk logika kita diterima dengan baik oleh orang lain, sehingga pendapat yang kita lontarkan berefek positif bukan malah menimbulkan ancaman bagi orang lain.
Kemudian selanjutnya kita juga perlu memiliki estetis. Estetis seperti kita tau, terkait dengan keindahan dan hal-hal yang bersifat elok. Estetis diperlukan agar produk logika kita tidak hanya sebatas masuk diakal, namun juga menimbulkan kesan yang mendalam pada penerimanya. Sebagaimana kita pahami, kebenaran kadang terdengar pahit dan menyakitkan, namun jika kemasannya elok dan disampaikan secara etis, prodak logika kita akan efektif menghasilkan perubahan.
Terakhir, yang juga perlu menjadi pertimbangan adalah aspek teologis atau ilahiah. Menjadi bijaksana, adalah menydari bahwa diri adalah makhluk yang diciptakan sang khalik yang Maha Benar. Sehingga, apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan, tidak terlepas dari kesadaran bahwa semuanya harus dikembalikan kepada sang pencipta. Melalui kesadaran ilahiah ini, kita akan terhindar dari sifat merasa paling benar dan nirkesalahan. Kesadaran teologis ini juga membawa kita memahami dan mentoleransi kesalahan sesama manusia, karena memang hanya tuhan lah maha pemilik kebenaran.
Keempat unsur ini, perlu kita upayakan dalam setiap langkah kita agar kita memiliki sifat bijaksana. Semoga kita semua menjadi “manusia bijaksana”, walau yang maha bijaksana adalah Allah swt., semoga dengan kita berikhtiar mencarinya, kita diberi sepercik kebijaksanan oleh-Nya. Wallahu a'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar