Oleh : Isman Rahmani Yusron
Setiap tahun penyelenggaraan Ujian Nasional, setiap tahun
juga kebijakan itu mengundang masalah. Masalah tidak hanya terkait dengan
urusan teknis, namun pula bersebrangannya semangat UN dengan konsep pedagogis
dan filosofis pendidikan. Riak-riak protes tahunan mengenai penyelenggaraan UN,
seolah menjadi banal dan lazim. Pemerintah, terutama Kemendikbud, seolah sudah
kebal pada aspirasi penghapusan sistem UN ini. Alasannya, tak ada solusi lain
sebagus penyelenggaraan UN untuk memetakan kualitas Pendidikan di Indonesia.
Beberapa
tahun belakangan, terutama setelah pemerintahan berganti, ada sedikit
tambalan-tambalan mengenai penyelenggaraan evaluasi nasional ini. Sempat hampir
dihapus, namun ujungnya berakhir sama: UN tetap terselenggara. Proses
standarisasi pendidikan melalui UN ini seolah memiliki dasar konseptual dan
filosofis kuat, meski pada faktanya bau-bau bisnis dan berbagai kepentingan,
ikut tercium di setiap dipertahankannya kebijakan ini. Meski akhirnya,
legitimasi kelulusan dikembalikan ke sekolah, namun penyelenggaraannya seolah
tak boleh hilang.
Penghilangan
legitimasi UN sebagai penentu kelulusan, seolah menjadi win-win solution
menghadapi riak penolakan UN. Bagi penyelenggara, dalam hal ini pemerintah,
mungkin kebijakan ini menjadi angin segar bagi para siswa. Namun bagi siswa,
suasana psikologis UN sebagai momok di setiap momen akhir pembelajaran akan
tetap menjadi tekanan. Padahal persoalan utamanya justeru hal ini : UN menjadi
sumber stress negatif dan mengacau sistem pendidikan. Betapa tidak, banalitas
belajar untuk ujian menjadi proses yang lazim setiap tahunnya. Padahal
pendidikan, tidaklah dibentuk untuk kepentingan pragmatis seperti ujian, tapi
untuk membangun karakter dan kasmaran akan belajar.
Oleh karena
itu, sudah sepatutnya sistem ini dicabut dan dicari solusinya. Secara
filosofis, proses belajar di sekolah tidaklah hanya untuk mengejar kelulusan
beberapa mata pelajaran Ujian Nasional saja. Lebih jauh, proses belajar
seharusnya memacu target hasil belajarnya sendiri setiap saat. Targetnya, tidak
hanya yang penting lulus UN, namun memiliki target prestasi di setiap semester.
Proses pembelajaran di sekolah, harus melahirkan need of achievement yang
tertumpu tidak hanya untuk lulus ujian. Para siswa harus terbiasa mengejar
target keberhasilan bahkan sejak semester pertama di sekolah.
Maka dari
itu, kebijakan evaluasi tidak harus hanya tertumpu pada akhir kelulusan.
Kebijakan evaluasi pendidikan, perlu menghargai proses pembelajaran sejak awal
pembelajaran dimulai. Sehingga, mesti dimunculkan sebuah sistem evaluasi
kumulatif yang memacu siswa untuk mengejar target hasil pembelajaran di setiap
semesternya. Sistem ini sepenuhnya menjadi target-target pribadi siswa dalam
proses belajar di sekolah. Melalui sistem ini, siswa diharapkan mampu terpacu
memenuhi target ketercapaian belajar untuk kepentingan kelulusan sejak semester
pertama.
Sebagai
contoh, misal pemerintah yang terkoordinasi antara kemendikbud dan
kemenristekdikti, menetapkan sebuah ambang minimum keberhasilan siswa
berdasarkan akumulasi nilai setiap semesternya dari seluruh mata pelajaran.
Hasil nilai kumulatif ini dapat juga digunakan sebagai bahan seleksi masuk
perguruan tinggi untuk tingkat SMA. Katakanlah ambang batasnya adalah 80, namun
nilai ini merupakan nilai kumulatif dari semester pertama hingga semester
terakhir. Sehingga, jika pada saat semester pertama akumulasi nilainya belum
sampai pada target nilai 80, maka siswa akan terdorong untuk memperbaiki nilai
di semester berikutnya.
Melalui
sistem ini, siswa akan termotivasi memperbaiki hasil nilai belajarnya sendiri
di setiap semester. Akan tetapi, siswa juga memiliki kesempatan sepanjang
semester untuk termotivasi mengejar target pribadinya sampai ambang batas
minimum tercapai bahkan lebih. Apalagi ketika siswa juga memiliki visi untuk
lolos di jurusan tertentu di Universitas. Sehingga, siswa terdorong memacu
dirinya selama proses pembelajaran dengan sedikit-sedikit mengoleksi nilai agar
secara akumulatif memenuhi target nilai minimum diterima di salah satu
universitas impiannya.
Melalui
sistem ini, need of achievement siswa tidak hanya ketika mau ujian akhir, namun
terus dipelihara sepanjang semester. Sistem ini juga memberikan kesempatan luas
untuk siswa fokus pada matapelajaran kesukaannya dan kemampuannya sendiri. Sehingga
jika nilai lain tidak terlalu menonjol, dapat diperbaiki oleh peningkatan nilai
pelajaran yang disukainya. Melalui hal ini, keragaman kemampuan belajar siswa
tetap terakomodasi, namun motivasi siswa mencapai target belajar tetap
terpelihara. Urusan hasil akhir, tak ada kata tidak lulus. Hasil usaha
sepanjang semesterlah yang menjadi bukti kualitas belajarnya sendiri.
*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar