Tulisan
ini saya dedikasikan untuk ayah saya tercinta H.Uro Yusup, S.Ag. Selain saya
tak sudi Ayah saya tak abadi dalam tulisan, ini merupakan bentuk terapi saya
mengobati luka kehilangan beliau. Tak dapat dipungkiri, hati saya hancur lebur
ketika mendapat kabar ayah saya meninggal. Selain saya banyak menggantungkan
hidup pada beliau, saya bisa bilang ayah saya adalah cahaya yang setia menemani
perjalanan hidup saya. Bisa dibayangkan bagaimana ketika berjalan di kegelapan, selalu ada cahaya menerangi, lalu tiba-tiba saja padam? Begitulah diri saya saat ini, meraba-raba dalam kegelapan, memaksakan diri melanjutkan kehidupan. Untuk beberpa waktu saya mengalami depresi, hilang pengharapan. Kalau saja bukan karena ingat perjuangan beliau, saya bagai kayu yang patah dan rapuh, tersandar di sudut gelap sendirian.
Ayah saya, adalah anugerah terbesar yang tak pernah saya
minta. Betapa tuhan mencintai saya, sehingga saya dilahirkan di keluarga dengan
ayah saya sebagai kepala keluarga. Meski saya ceritakan panjang lebar, pembaca
tak akan pernah mengerti bagaimana pedihnya saya kehilangan beliau. Saya hanya
ingin bercerita, sembari memelihara ingatan saya tentang sosok yang saya kagumi
ini. Sebulan ia pergi, hampa dan rapuh rasanya, tapi saya terus belajar kuat.
Memori pertama yang saya ingat tentang
beliau adalah memori menunggu ia pulang. Seingat saya ketika masih kecil, sulit
rasanya saya bertemu ayah saya sendiri. Beliau adalah sosok pekerja keras yang
tak pernah berleha-leha diam di rumah. Saya masih ingat, saya biasa terbangun
pukul 11 malam atau bahkan pukul satu dini hari, mendengar ketukan khas dari
ayah saya saat ia pulang. Kebiasaannya, ia mengetuk pintu dengan ujung jarinya
yang berkuku, bukan dengan punggung lipatan jarinya. Boleh ditanya pada semua
anaknya, tak pernah ayah saya menggedor pintu dengan keras, kecuali hanya
mengetuk-ngetukkan ujung jarinya. Dengan itu, cepat saya tau bahwa ayah saya
telah pulang.
Dulu, beliau selalu pulang malam,
padahal ayah saya waktu itu guru SD di SDN Banjaran IV, yang pukul 14.00 siang
juga sudah selesai. Tapi, ayah saya tak biasa pulang siang, ia selalu lanjut
mewakafkan dirinya di Jam’iyyah Persatuan Islam Cabang Banjaran, di Pajagalan
Banjaran. Baru beberapa tahun belakangan saya tahu, ketika saya juga menjadi
tasykil Pemuda Persis Banjaran, bahwa biasa beliau selalu mengerjakan Buletin
Sambung Rasa, media dakwah mingguan, dengan rekan-rekannya, bahkan hingga larut
malam (yang pada beberapa tahun belakang, saya yang ikut meneruskannya). Selain
itu, kesibukannya adalah mengurus pendirian dan pengelolaan Pesantren Persis 31
Banjaran, hingga akhir hayatnya. Selain itu beliau juga menjadi pengurus Baitul
maal wa tamwil (BMT), dan berbagai kesibukannya yang mungkin tak saya ketahui
dengan baik. Sehingga sejak kecil, yang saya tau beliau tak pernah banyak diam
di rumah. Kesibukannya mengurus Jam’iyyah, saya saksikan betul dengan militansi
dan loyalitas yang sangat tinggi. Beliau menyebutnya ini adalah bentuk Wakaf
Diri pada Jam’iyyah. Bahkan hingga waktu beliau meninggal, ia sedang
berkegiatan dalam rangka kegiatan Jam’iyyah.
Tak hanya itu, saat pulang pun
tak jarang beliau ikut melakukan kegiatan lain. Seperti momen yang sangat saya
ingat betul. Waktu pagi, entah kapan tapi saya masih sangat kecil, saya
merengek ingin ikut dengan ayah saya ke sekolah tempat ia mengajar. Waktu itu
mungkin ia sedang banyak pekerjaan, sehingga membujuk saya untuk tidak ikut.
Kemudian, beliau menjanjikan pada saya untuk ikut ronda pada malam hari. Ronda?
Iya, ronda di kampung. Dengan syarat saya tidak ikut, dan harus tidur dulu
siangnya. Betapa senangnya saya, waktu itu. Sampai pukul 10 malam, saya
menunggu beliau pulang. Sehingga tiba saatnya beliau datang, ia tak mengingkari
janjinya. Kamipun berangkat, namun terlebih dahulu ayah saya mengajak saya ke
Banjaran, ke toko baju untuk membeli sweater hangat. Girangnya saya waktu itu,
saya dibelikan sweater hangat warna hitam dengan sleting sampai dada. Karena
waktu itu, saya tak punya jaket atau sweater. Saya masih simpan sweaternya.
Kemudian kami kembali, dan ikut ronda malam, sampai pukul 12 saja, karena saya
ketiduran. Entahlah, ayah saya meneruskan atau tidak, yang jelas pagi-pagi saya
sudah bangun di rumah. Meski sangat sederhana, tapi memori itu cukup
menyenangkan.
Boleh di bilang, saya adalah anak
laki-lakinya yang paling manja pada beliau. Selalu ingin ikut kemana dia pergi,
meski tak jarang sangat merepotkan. Tapi karena itu, saya belajar bagaimana
ayah saya bekerja. Hingga, kalau sekalinya dibolehkan ikut, saya kelelahan
karena harus ikut kesana kemari, beliau tak pernah diam selalu siap kalau ada
pekerjaan, apapun itu. Tak sekali dua kali, ketika saya ikut ayah saya bekerja,
saya tertidur karena menunggunya selesai. Apa pekerjaan ayah saya? Banyak!
Pekerjaan utama mengajar di SD sebagai PNS pensiun tahun 2010, lalu mengajar di
Tsanawiyyah di Pesantren yang ia ikut rintis sendiri sejak 1995, menjadi wakil
kepala bagian kurikulum, menjadi kepala sekolah di Ibtidaiyyah, menjadi
pengurus jama’ah, cabang, daerah, dan wilayah Persis, pengelola BMT, mengurus
pemberangkatan jama’ah haji, mengurus penyaluran dana dari timur tengah ke
mesjid-mesjid hingga menjadi panitia pembangunannya, membantu mencari
donatur-donatur pembangunan mesjid dan pesantren, menjadi kepala sekolah Mu’allimin,
belakangan saya tahu beliau juga pengurus MUI kabupaten Bandung. Mungkin tak
hanya itu, banyak pekerjaan ayah saya yang tak saya ketahui. Karena sulit
sekali menemui beliau beristirahat.
Betapa sangat sibuknya beliau,
sehingga saya pernah mengalami perasaan tidak mendapat perhatiannya. Mungkin
wajar, pada saat itu saya masih remaja, sehingga suka protes pada beliau yang
tak banyak ada di rumah. Pernah suatu kali, saya memaksanya untuk beliau hadir
pada pembagian hasil psikotes di salah satu bimbingan belajar yang saya ikuti.
Saya tau waktu itu banyak agendanya yang akhirnya dibatalkan, karena pada saat
bersama saya, banyak telepon yang datang dan beliau meminta maaf tidak bisa
hadir karena memenuhi permintaan saya. Kadang saya merasa sangat bersalah waktu
itu, tapi ada rasa keegoisan dari diri saya bahwa kehadiran ayah saya, pantas
saya dapatkan. Hingga seharian, setelah pulang dari acara itu, saya bawa beliau
makan dan jalan-jalan ditempat-tempat yang saya ingin kunjungi. Beliau tak
menolak, meski sepanjang perjalanan, HP nya selalu berbunyi tanda ada yang
menelpon. Selalu saya merasa bersalah saat mengingat momen ini, saya tau ayah
saya sangat sibuk, tapi meski begitu ini adalah momen terbaik saya bersama ayah
saya sendiri, hanya berdua, seharian jalan-jalan. Sejak itu, saya tak berani
mengganggu agendanya lagi.
Hal yang paling unik saat bersama
ayah saya, adalah ayah saya begitu sangat dermawan. Saat makan-makan dan jalan
bersama saya, setiap ada pengemis, pengamen, dan yang kelihatan membutuhkan ia
tak pernah tidak memberi uang. Bahkan, saat itu setelah makan, lalu ayah saya sedang
merokok dekat pangkalan ojek, datanglah seorang preman jalanan menghampiri.
Lalu, entah bagaimana ayah saya dimintai uang olehnya. Saya sempat takut, tapi ayah
saya malah mengajaknya bercengkrama. Ngobrol ngalor-ngidul, tanya-tanya darimana
asalnya, menawarkan rokok lalu merokok bersama, beberapa kali ayah saya memberi
nasehat padanya, sampai akhirnya si Preman menjadi segan pada ayah saya. Pada
si preman, Ayah saya bercerita tentang dulu dia pernah berjalan kaki dari
rumahnya ke wilayah jajahan preman itu, untuk sekolah. Lalu kemudian, entah
kenapa si Preman menjadi sangat ramah dan seperti malu pada ayah saya. Sampai
terakhir, bukannya si Preman meminta uang, tapi ayah saya memaksa si Preman
untuk menerima uang dari ayah saya. Si Preman menolak, malu katanya. Tapi ayah
saya memaksa, waktu itu ayah saya memberinya uang dengan jumlah besar. Sampai
akhirnya si Preman berterimakasih sampai mencium tangan ayah saya. Begitulah
ayah saya, dan momen ini pernah beberapa kali saya saksikan sendiri dengan
beberapa preman lainnya. Kadang sampai tertawa-tawa bersama, padahal kenal saja
tidak.
Begitulah ayah saya, tak pernah
segan bercengkrama pada siapapun bahkan pada pengemis dan tukang becak. Banyak
tukang becak yang menjadi langganan ayah saya, bahkan yang terakhir diangkat
bekerja di kebun ayah saya. Keluwesan dan kharismanya saat bergaul dengan kaum fakir,
banyak diketahui orang. Betapa tidak bangga saya punya ayah seperti ini. Banyak
kebaikannya yang malah tak mau diketahui orang. Ia mengamalkan sebuah hadits
yang pernah ia ajarkan kepada saya :
“Innallaha
yuhibbul abda taqiyya alghaniyya alkhafiyya..”
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang
bertaqwa, kaya hati, dan tersembunyi." (HR Muslim)
Saya, bersedia menjadi saksi di Akhirat nanti,
kalau ayah saya mengamalkan hadits ini selama hidupnya. Begitupun, ia selalu
mengajarkan pada saya dan anak-anaknya untuk mengamalkan hadits ini. Dan saya,
menjadi saksi bagaimana hadits ini betul terwujud, saya melihat sendiri Allah
mencintai Ayah saya, kami tak pernah mengalami hidup sulit, ayah saya setiap
hari menerima cinta Allah karena ketaqwaannya, kekayaan hatinya, dan ia selalu
tersembunyi mengamalkan semuanya. Ia bukan orang yang sombong, yang
memperlihatkan betapa kaya hatinya. Ia tersembunyi, memberi kebaikan kepada
semua orang, bahkan pada keluarganya sendiri. Apa yang saya saksikan, adalah
kebaikan yang kebetulan saja saya saksikan, bukan untuk diperlihatkan. Dan saya
tau, kebaikan hatinya itu adalah kebiasaannya, bukan karena ada maksud
tertentu.
Hadits ini adalah salah satu
bahan ajarnya pada saat di Tsanawiyyah kelas 9. Mungkin bagi yang pernah diajar
oleh ayah saya di Pesantren, masih ingat hadits ini di BAB Zuhud wal Wara.
Beliau sendiri yang meminta muridnya menghafal hadits ini, untuk kemudian di
tes menalar setiap pertemuan. Dan, ayah saya tak hanya mengingatnya dan
menjadikannya bahan ajar, tapi juga mengamalkannya. Semoga para muridnya,
termasuk saya juga bisa ingat kembali dan mengamalkan hadits ini. Karena saya
lihat sendiri, Allah begitu mencintai ayah saya, semoga para muridnya juga
dicintai Allah. Mengamalkan ini, bagi manusia memang sangat berat, tapi beliau
melaksanakan ini dengan penuh keikhlasan. Ikhtiar untuk dunia beliau jalankan
dengan baik, ikhtiar untuk akhirat dia jalankan penuh kekhusyuan. Kalaulah,
suatu hari nanti di akhirat beliau ditanya mengenai ini, saya ingin menjadi
salah satu saksi, bahwa betul dia melakukannya dengan sangat baik. Dan semoga
para santrinya kemudian menjadi saksi beliau di Akhirat kelak. Teladan ini yang
mungkin untuk saya manusia biasa, terasa begitu berat bagaimana meniru
kebaikkannya. Saya ingin berusaha untuk bisa, agar saya tak jadi pemberat
beliau menuju surga.
Masih banyak hal yang ingin saya
ceritakan tentang ayah saya, namun untuk kali ini saya cukupkan saja dulu,
karena kembali saya menjadi rapuh mengingat memori tentang ayah saya. Saya
masih belum cukup kuat, semoga dilain waktu saya bisa melanjutkan cerita ini,
agar kebaikannya terus abadi dan menjadi teladan juga manfaat bagi orang lain.
Sebagaimana dalam hadits, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu
yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR.
Muslim no. 1631). Saya
meyakini apa yang ditinggalkannya, tetap menjadi amal bagi beliau di alam
kubur, karena ia tak pernah berhenti berjariyyah, tak pernah berhenti memberi
ilmu yang manfaat, dan semoga kami anak dan cucunya menjadi amal ketiga beliau
yang tak terputus.
Ini adalah
tulisan, tepat sebulan setelah ia meninggal.