Tidak mudah merumuskan sebuah perasaan dalam simbol Matematika. Karena tentu saja, perasaan bukanlah sebuah kalkulasi, atau sebuah proses transaksi. Perasaan, terkhusus rasa cinta, adalah sebuah konstruk imajiner yang sering kali tak masuk diakal. Karena memang bukan di lobus frontal ia berasal, rasa itu muncul di gerbang sebelum masuk pada bagian rasio. Cinta, yang merupakan bagian dari emosi, di proses di sebuah bagian tengah otak bernama amygdala. Ketika lobus temporal mengindra seseorang, melalui proses equipotesialitas, lalu didistribusikan ke bagian otak lainnya untuk disimpan dalam memori. Saat masuk memori, otak akan menentukan apakah akan masuk ke long-term memory, atau akan dibuang kemudian. Tapi, ada sebuah proses yang berbeda ketika kau lihat orang yang kau cintai, ia akan lama diproses di amygdala sebelum kemudian akan disimpan di memori jangka panjang.
Rasa suka saat melihat seseorang, di proses melalui amygdala. Tapi, ketika otak menyadari
bahwa seseorang yang kau indra, tidak cukup di proses dengan rasa suka, secara
cepat dia akan segera di evaluasi dengan mendistribusikannya ke belahan otak
lainnya untuk direpresi menjadi memori. Kemudian, semua bagian otak akan me-recall segala hal yang relevan dengannya.
Saat, otak lalu menyadari bahwa dia relevan dengan segala yang kau fahami
tentang sebuah relasi, lalu lobus frontalis akan memprosesnya secara rasional.
Namun, ketika rasio tak mampu mendefinisikan segala kesamaan tentangnya, memori
itu akan dikembalikan ke lobus temporalis, dikonfirmasi oleh amygdala didalamnya untuk diproses
secara deklaratif: aku mencintaimu.
Jadilah jelas, rasa cinta bukanlah proses yang mudah
dalam otakku. Dirimu, diproses oleh semua bagian otak untuk didefinisikan
secara rasional, namun akhirnya tak berhasil. Meski, tak berarti mencintaimu
bukan berdasar pertimbangan rasional. Otak rasionalku jelas mendefinisikanmu,
tapi kemudian tak jua menemukan jawabannya karena ada keganjilan yang tak bisa
dikalkulasikan. Otak depanku, merepresentasikanmu seperti akar minus satu. Otak
meng-encoding dirimu berupa bilangan
yang tak ada hasil secara rasional. Jangankan kalkulator mendefinisikan akar
minus satu, otak rasio saja tak mampu. Tapi kamu menjelma bilangan akar minus
satu, karena kamu adalah konstruk imajiner yang tak perlu alasan, juga tak
perlu dikalkulasikan. Tapi, dirimu mengandung filosofi: kamu adalah bilangan “i”,
tak bisa didefinisikan namun relevan dengan segala yang aku miliki.
Jika semua realitas yang ada didunia ini berada disumbu X dalam persepsiku,
jelas aku adalah sumbu Y untuk mengukurnya. Semua yang ada disekitarku selalu
bisa kudefinisikan dengan bilangan rasional: entah mereka bilangan positif,
atau mereka berada di sisi negatif. Relatifitas kehidupan bergerak di sumbu X
baik sisi negatif maupun positif. Semua bisa kudefinisikan, otakku berhasil
meng-encode nya untuk dipilah dalam
beberapa skema yang sudah terbentuk. Tapi saat aku menemuimu, kamu adalah akar
minus satu, tak bisa otakku meng-encode nya
dengan cara yang biasa. Kamu tak bisa dikalkulasikan dan lalu dimasukkan pada satu
dari jutaan skema yang kumiliki. Kamu, hanya bisa membuatku membentuk skema
baru. Skema yang tak relevan dengan segala relatifitas kehidupan. Kamu hanya
bisa masuk pada satu skema: tentang diriku.
Atas hal itulah, semua jadi jelas kenapa engkau adalah
akar minus satu. Karena bilangan imajiner yang melekat padamu, tak diterima
dalam sumbu horizontal. Kamu adalah yang membuat segala keganjilan perasaan,
menjadi genap berada dalam sumbu yang hanya milikku: Y.
Otakku
menyadari, akar minus satu hanya bisa kudefinisikan saat kamu berada di
sumbuku. Sebagaimana filosofi akar minus satu, menjadi operator memindahkanmu
kedalam sumbuku. Saat kau berada di sumbu Y milikku, semua tentangmu bisa
kudefinisikan: semua tentangmu berbeda dengan semua tentang yang ada didunia
ini. Kamu hanya bisa menjadi rasional, ketika kamu menjadi aku, berjalan
bersama dalam sumbu yang sama.
Lalu otakku kembali menemukan keganjilan saat secara
deklaratif menyebut namamu. Kamu adalah keliling lingkaran tanpa ujung, yang
tak pernah sampai pada kesimpulan di bilangan apa kau berakhir. Namamu, saat di
encode dalam otakku, disimbolkan
dengan angka ganjil yang tak habis dibagi. Engkau adalah keliling, dengan
milyaran angka yang tak ada satupun orang dapat menentukan akhirnya. Engkau
adalah “Pi”! angka yang tak pernah ada
ujungnya. Itulah kenapa kau tak masuk pada skema manapun tentang dunia. Itulah
kenapa lobus temporalku mendeklarasikanmu sebagai Cinta: karena kamu, tak
pernah berakhir. Saat aku menyadari kau adalah π, segera aku sadar kamu
adalah sosok yang tak pernah berakhir dalam dunia imajiku. Kekagumanku saat
mempersepsi dirimu, tak pernah berhasil aku temukan ujungnya. Sumbuku menjadi
sangat panjang tak berakhir, saat aku berusaha mendefinisikanmu. “Pi”, kamu
berhasil menggambarkan suatu bilangan imaji yang tak pernah berakhir: masa
depan. Dan π selalu relevan denganmu dalam dunia imaji dan
realitasku.
Tak mudah mendefinisikan rasa yang kumiliki ini dalam
simbol Matematika. Tapi, saat ada kamu didalamnya, aku bisa. Dengan sendirinya,
saat aku membayangkanmu, otakku lalu membuat sebuah rangkaian rumus tentangmu :√(-1) ♥ π
Tidak ada komentar:
Posting Komentar