Oleh: Isman Rahmani Yusron
Definisi
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual/Transgender atau sering disingkat LGBT, merupakan sebuah identitas orientasi seksual yang merujuk pada perilaku homosekualitas. Homoseksual merupakan ketertarikan individu secara seksual terhadap sesama jenisnya1 (laki-laki kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan), yang diiringi oleh hasrat untuk membangun hubungan kepada seseorang yang berkelamin sama. Homoseksualitas, sebagai kata benda merupakan atraksi seksual atau aktivitas seksual kepada sesama jenisnya, biasanya orientasi homoseksualitas ini merujuk pada pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenisnya.
Kata homoseksual adalah hasil pernikahan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme. Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata "lesbian" berasal dari nama pulau Yunani Lesbos, di mana penyair Sappho banyak sekali menulis tentang hubungan emosionalnya dengan wanita muda. Sedangkan Biseksual, merupakan istilah bagi individu yang memiliki ketertarikan seksual kepada laki-laki dan perempuan. Orientasi biseksual bisa terjadi karena tuntutan internal dan eksternal, ataupun secara alamiah memiliki ketertarikan kepada keduanya. Transeksual/Transgender, merupakan payung istilah dimana seseorang secara identitas gendernya, ekspresi gendernya atau perilakunya yang tidak terasosiasi dengan jenis kelamin yang dimilikinya sejak lahir2.
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia. Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880). Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis, mungkin meminjamnya dari buku Jager. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Sebagai orientasi seksual, LGBT tergolong pada perilaku seksual abnormal. Istilah normal dan abnormal ini disandarkan pada dapat atau tidak diterimanya suatu perilaku atau orientasi oleh populasi masyarakat. Normal dan abnormal ini akan sangat terkait pada norma-norma yang berlaku dimasyarakat, dimana seseorang atau sesuatu dianggap abnormal adalah ketika perilaku tersebut berbeda dari norma yang dianut masyarakat atau ketidaklaziman yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Sehingga, istilah normal dan abnormal ini sangat erat kaitannya dengan perilaku mayoritas masyarakat atau juga sesuai atau tidak dengan norma yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. LGBT, dapat dikategorikan sebagai perilaku seksual yang abnormal, karena berbeda dengan norma masyarakat kebanyakan. Namun, dalam perkembangannya, LGBT lebih disebut sebagai minoritas seksual ketimbang abnormalitas. Banyak resistensi masyarakat kekinian yang menggolongkan LGBT ini sebagai perilaku “sakit”, “mental illness”, “disorder”, atau “gangguan jiwa”. Meski begitu, para ahli sepakat bahwa LGBT ini merupakan penyimpangan dari normal, meskipun sering diperhalus dan tidak diidentikkan dengan perilaku yang negatif.
Pada tahun 1973, American Psychiatric Association mengeluarkan perilaku homoseksual ini dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, dimana homosekual ini tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit psikologis, gangguan mental dan sebagainya3. Artinya, dengan hal ini homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit atau gangguan, melainkan kondisi normal seseorang yang berbeda dengan populasi kebanyakan. Implikasinya, tak ada lagi keharusan upaya “penyembuhan” atau “pelurusan” bagi seseorang yang memiliki orientasi homoseks, akan tetapi lebih pada pembimbingan untuk menerima kondisinya sebagai homoseks.
Masalah penerimaan mengenai status homoseksual ini, PPDGJ menggolongkan dua kategori seseorang saat merasakan ketertarikan terhadap sesama jenis4. Kategori pertama adalah egosintonik, dimana seseorang secara penuh menerima, menikmati, bahkan merasa senang dan bangga akan identitasnya sebagai homoseks. Kategori egosintonik ini, merasa bahwa hasrat homoseksual merupakan pemberian dari tuhan, dan tidak ada lagi konflik batin dalam dirinya mengenai kondisinya yang berbeda atau kebingungan identitas seksualnya. Individu homoseks yang terkategori egosintonik ini bahkan yang sering mengkampanyekan agar identitas homoseks diterima oleh masyarakat. Kategori kedua adalah egodistonik, dimana seseorang yang merasakan hasrat dan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, namun selama itu dia mengalami konflik batin, tidak menerima, bahkan merasakan tekanan saat menyadari dirinya menyukai sesama jenis. Kategori inilah yang biasanya menjadi sasaran penanganan bagi psikolog maupun psikiater, yang dimana penanganannya pun mengarah pada upaya untuk membantu klien homoseks ini untuk menerima kondisi dirinya sebagai homoseks sehingga tidak mengalami kecemasan, stress dan tekanan psikologis lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis, hampir tak ada upaya formal untuk mengintervensi pengidap LGBT ini untuk kembali sembuh atau kembali menjadi heteroseks. Karena, sudut pandang bagi LGBT ini bukanlah sebagai sesuatu yang perlu disembuhkan, melainkan untuk mereduksi kecemasan dan tekanannya agar tidak berlanjut pada maladaptasi atau perilaku membahayakan. Dengan kata lain, LGBT ini disebut sebagai sebuah kewajaran selama tidak melakukan perilaku-perilaku membahayakan diri atau lingkungan sosial. LGBT tidak dianggap sebagai kebahayaan, meskipun melalui perilaku ini banyak mengundang kerentanan seperti HIV/AIDS, pembunuhan (kasus Rian Jagal) hingga pemerkosaan sodomi pada anak dibawah umur. Terlepas keliru atau tidaknya penerimaan kondisi homoseksualitas seseorang sehingga dikategorikan normal, faktanya munculnya HIV/AIDS bahkan sodomi terhadap anak dibawah banyak disumbang oleh perilaku homoseksual, meskipun secara statistik kedua kasus tersebut juga banyak dialami dan dilakukan oleh seseorang yang heteroseks.
Penerimaan LGBT, bukan tanpa masalah, di Amerika sendiri dalam kurun 1969-1979 akibat pengakuan akan homoseksualitas menyumbang statistik kenaikan 245% terhadap pelacuran remaja laki-laki kepada sesama jenis5. 300-600 ribu remaja Amerika terlibat pelacuran sesama jenis, dan jelas ini menimbulkan permasalahan yang serius. Di Amerika dan Kanada secara umum, menurut penelitian (Ellis, Robb & Burke, 2005)6, 96% anak laki mengalami ketertarikan kepada perempuan dan 98% anak perempuan tertarik secara seksual kepada laki-laki, hal ini berarti populasi homoseks ini hanya 4% dikalangan laki-laki dan 2% dikalangan perempuan. Implikasinya, abnormalitas homoseksual ini masih cenderung kuat dan sebaliknya penerimaan homoseksual sebagai normal akan berefek pada meluasnya jumlah populasi homoseks. Selama masyarakat masih memegang resistensi terhadap homoseksual, populasi homoseksual tidak akan berkembang, sebaliknya permisifnya masyarakat akan homoseksualitas akan mengancam populasi heteroseksual yang salah satunya berdampak pada kerentanan resiko terjadinya HIV/AIDS dan pencabulan atau penyodomian terhadap anak dibawah umur.
Berbicara normal atau abnormal secara psikologis, seseorang akan dianggap secara psikologis normal jika dirinya dapat mengikuti norma sosial yang berlaku dan juga dapat mengendalikan dirinya akan dorongan-dorongan perilaku yang tidak sesuai dengan masyarakat. Menurut Calhoun&Acocella (1990) juga Atkinson dkk., kriteria untuk mendefinisikan abnormal adalah pelanggaran norma sosial7. Perilaku LGBT, di dalam masyarakat mayoritas heteroseksual, akan dianggap sebagai abnormal. Apakah perlu atau tidak untuk diluruskan, hal tersebut merupakan persoalan lain. Akan tetapi, mayoritas manusia yang heteroseks menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dikodratkan heteroseks dan homoseks adalah penyimpangan perilaku. Sehingga, jika ada dorongan untuk menerima LGBT sebagai perilaku yang normal, hal itu tidak dapat diterima. Kondisi faktual bahwa mayoritas manusia berorientasi heteroseks, menandakan bahwa yang beridentitas homoseks dapat kembali menjadi heteroseks, dan anggapan bahwa menjadi homoseks adalah gejala alamiah tidak mendapat posisi yang kuat.
Gejala alamiah yang paling kentara adalah melihat pada fungsi-fungsi organ secara biologis, dimana struktur organ kelamin laki-laki dan perempuan memiliki bentuk yang berbeda, oleh karena perbedaan itulah organ kelamin laki-laki dan perempuan dibentuk secara alamiah oleh tuhan untuk dipergunakan sesuai dengan fungsi dan tempatnya. Fungsi organ kelamin adalah sebagai alat reproduksi, dimana proses reproduksi itu akan terjadi hanya ketika jenis kelaminnya berbeda. Sehingga, jika organ kelamin dipergunakan pada jenis kelamin yang sama, fungsi dari organ kelamin tidak bisa dipergunakan sesuai dengan hakikat fungsinya sebagai alat reproduksi. Melalui fugsi organ kelamin ini pula lah, bahwa LGBT dikatakan sebagai alamiah dan normal terbantahkan begitu saja. Meskipun, homoseksual tidak melulu identik dengan hubungan seksual, akan tetapi secara alamiah manusia memiliki hasrat untuk melangsungkan eksistensi dan pelestarian penerusnya melalui kegiatan bereproduksi. Pada akhirnya, meski dibantah bahwa homoseks tidak melulu hubungan seksual, akan tetapi pada ujungnya hasrat seksual akan dilampiaskan melalui kegiatan hubungan seksual. Hubungan seksual sesama jenis inilah yang menimbulkan kerentanan dan kebahayaan baik individual maupun sosial, dan hal ini tidak bisa dianggap lazim atau normal.
Dinamika Psikologis
Tidak ada satu ahli pun yang dapat mendefinisikan penyebab munculnya perilaku homoseksual. Setidaknya sampai saat ini belum ditemukan fakta ilmiah yang pasti akan penyebab munculnya hasrat sesama jenis. Sama hal nya juga dengan gejala heteroseksual, tidak dapat diketahui penyebab seseorang kenapa heteroseks. Namun, jika ditilik secara historis, terutama secara teologis, tuhan menciptakan manusia berpasangan laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul anekdot “Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, bukan Adam dan Herman”. Artinya, hakikatnya tak ada gejala alamiah yang menjadi latarbelakang homoseksual. Bayangkan ketika homoseksual adalah suatu kelaziman yang alamiah, manusia pasti tidak akan selestari ini hingga sekarang, karena fungsi kemanusiaan yang secara alami bereproduksi itulah yang menjadikan manusia eksis hingga saat ini. Meski begitu, homoseksualitas ini tak dapat dinafikkan merupakan bagian dari sejarah umat manusia. Manusia terdahulu juga tercatat melakukan homoseksual, yang itupun sempat punah akibat adzab yang diturunkan Allah S.W.T.
Jika dikaji dalam sudut pandang Psikologi terutama dalam sub kajian Perkembangan, homoseksual muncul saat dinamika pencarian identitas seksual dalam perkembangan manusia. Sejak awal masa kanak-kanak, tugas perkembangan individu adalah juga menyadari identitas dan peran seksualnya. Pada masa awal kanak-kanak, individu memiliki tugas perkembangan untuk memahami perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Pada periode awal masa kanak-kanak, anak memperlihatkan minatnya terhadap isu seks dengan cara memperbincangkan dengan teman sebayanya ketika tidak ada orang dewasa. Faktor ketertarikan terhadap tayangan televisi, gambar pria dan wanita atau melihat pose pria dan wanita yang merangsang, juga memperbesar minat terhadap isu seksual awal masa kanak-kanak8. Masa ini, yang juga sering diidentikkan dengan masa meniru, cenderung tertarik untuk menirukan apa yang orang dewasa lakukan. Sehingga, anak akan mencobakan apa yang diketahuinya dengan teman sebayanya baik sejenis, maupun lawan jenis karena kurangnya pemahaman akan perbedaan antara keduanya. Pada masa ini pula, anak tertarik untuk merangsang organ kelaminnya sehingga terdorong untuk melakukan masturbasi. Karena hasrat ingin meniru kedua hal tadi akan dianggap jahat atau nakal oleh orang dewasa, maka hal tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Longgarnya kontrol orang dewasa pada isu seks pada usia awal masa kanak-kanak, akan memicu pada percobaan yang paling mungkin dan mudah dilakukan yakni bereksperimen seksual dengan teman sejenisnya yang sama-sama tidak tahu. Meskipun hal tersebut dilakukan bukan untuk memenuhi hasrat seksual, namun memenuhi hasrat keingitahuan, jika tidak mendapat pemahaman bahwa hal itu keliru maka kegiatan ini dianggap biasa dan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya.
Pada masa ini pula, anak dituntut untuk mempelajari stereotip peran seks. Pada budaya kebanyakan, stereotip akan anak laki-laki dan perempuan dibedakan dengan tegas. Contohnya, laki-laki seharusnya bermain dengan mobil-mobilan, layang-layang, robot-robotan, sedangkan perempuan bermain dengan boneka, masak-masakan, atau merias sesuatu. Hal ini Hurlock (1980) menyebutnya sebagai stereotip peran-seks tradisional. Seiring perkembangan zaman, stereotip peran tradisional ini tergerus dengan keyakinan kesetaraan gender, atau Hurlock menyebutnya sebagai stereotip peran seks setingkat. Peran seks setingkat ini, dapat memicu kebingungan anak akan stereotip peran antara laki-laki dan perempuan, sehingga anak bisa saja jadi bermain boneka atau merias diri dengan aksesoris ibunya. Sehingga, muncul perilaku feminim pada anak, ketika ini menjadi keyakinan identitasnya, anak bisa saja mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan. Hal demikian diperparah ketika anak masuk pada usia sekolah dan oleh teman sebayanya dianggap sebagai banci dan dijauhi oleh lingkungan sosialnya. Sehingga, anak laki-laki lebih diterima oleh perempuan dan merasa nyaman akibat adaptasi alamiah dengan teman perempuannya. Sehingga, jika anak ini terisolasi terus dan mulai mengadaptasi perilaku perempuan, bisa jadi ia mengidentifikasi diri sebagai perempuan. Jika telah menjadi identitas, kondisi ini akan merembet pada orientasi seksualnya juga. Tidak hanya pada laki-laki, juga perempuan yang mengidentifikasi sebagai anak laki-laki karena permisifnya masyarakat kepada perempuan tomboy.
Jika kondisi ini tak juga mendapat perhatian, puncaknya adalah ketika anak masuk pada periode usia pubertas dan remaja. Pada masa ini, sering disebut sebagai pencarian identitas atau jati diri. Biasanya, seseorang mendapatkan gairah seksual heteroseks maupun homoseks adalah pada periode ini. Periode ini juga sering disebut periode kritis, dimana banyak hal yang berubah dalam dirinya secara fisik maupun psikologis, terutama pada minat seksual. Pada periode pubertas, anak mengalami perubahan yang salah satunya adalah perkembangan organ seksual primer maupun sekunder. Pengaruh meningkatnya hormon dan perkembangan organ seksual, memicu tumbuhnya ketertarikan seseorang pada orang lain. Jika pada masa sebelumnya, anak laki-laki dekat sekali dengan identifikasi sebagai anak perempuan, pada masa ini dia bisa mengembangkan identitasnya sebagai anak perempuan yang lazimnya tertarik pada laki-laki. Pada periode ini, anak akan secara alamiah mengalami pengalaman erotis saat tidur, dan memicu mimpi basah atau polasi. Pengalaman erotis ini tak dapat dikontrol, jika sejak masa sebelumnya anak laki-laki mengembangkan ketertarikannya kepada laki-laki akibat adaptasi dengan identifikasi sebagai perempuan, bisa jadi pengalaman erotis dalam mimpi itu terjadi dengan laki-laki, yang selanjutnya akan meneguhkan identitas diri sebagai penyuka sesama jenis.
Meskipun pada periode ini, anak belum berani menyatakan dirinya sebagai sesama jenis, hasrat terpendamnya akan berkembang saat periode remaja dimana dorongan untuk memperlihatkan jatidiri semakin menguat. Pada periode remaja, fokus minat seksual beralih dari hasrat seksual menjadi hasrat untuk mendapatkan kenyamanan, kasih sayang, rasa cinta, perhatian dan teman hidup. Hasrat ketertarikan kepada sesama jenis pada periode sebelumnya, berkembang menjadi keinginan untuk mencari hubungan romantis dengan sesama jenis. Tentunya, pada masyarakat yang heteroseks, akan sangat sulit menemukan teman yang juga saling menyukai sesama jenis. Sehingga, ketika sekalinya mendapat teman yang kondisinya sama, maka tingkat kemelekatan bahkan cenderung posesif pada pasangan sesama jenis akan semakin menguat. Proses pembuktian rasa cinta kepada pasangan sesama jenis, cenderung memicu perilaku seks sesama jenis. Pada periode remaja, individu akan terdorong juga untuk memperteguh identitas dirinya, dengan cara menerima kondisi dirinya dan menyatakan diri sebagai siapa, termasuk sebagai penyuka sesama jenis. Ketika proses ini terjadi, dan masyarakat permisif, atau tidak dianggap sebagai penyimpangan, ketika itulah dia akan merasa nyaman untuk menjadi penyuka sesama jenis. Saat inilah, seseorang dapat mengidentifikasi dirinya untuk menjadi LGBT, baik dalam kondisi egosintonik maupun egodistonik.
Selain faktor penyimpangan dalam perkembangan dalam uraian diatas, homoseksualitas juga disumbang oleh faktor eksternal. Salah satunya adalah pengalaman sodomi, atau atraksi seksual dari orang lain terhadap dirinya. Dalam kasus sodomi, seseorang yang asalnya memiliki orientasi heteroseks, saat mengalami peristiwa yang mengubah pandangan terhadap dirinya atau merasa terhina, merasa pendosa, merasa dilecehkan, hal ini akan memicu tumbuhnya sikap negatif pada diri. Korban sodomi, akan terisolasi secara sosial dan akan mencari kawan senasib yang nantinya saling menerima dan terjerumus pada kegiatan homoseksual. Korban sodomi akan kehilangan kepercayaan diri sebagai laki-laki, sehingga cenderung mengidentifikasi diri sebagai perempuan. Atau dimana ketika pada periode krisis kepercayaan diri ini, sulit mengembangkan keterampilan sosialnya dan lebih permisif jika ada laki-laki yang tertarik pada dirinya yang mungkin saja hanya “mencoba-coba”.
Berasal dari faktor eksternal pula, banyak pendapat yang berkembang bahwa perilaku homoseksual terjadi akibat situasi krisis keluarga. Ketidakseimbangan peran dalam keluarga cenderung memicu tumbuhnya penyimpangan perilaku seksual anak. Misalnya anak laki-laki yang ibunya terlalu dominan dan kasar serta ayahnya cenderung lemah, akan memicu anak laki-laki menjadi keperempuanan, atau merasa dirinya harus menyeimbangkan dengan bertindak sebagai perempuan untuk menemani ayahnya dan menyeimbangkan dominasi ibunya yang bertindak sebagai laki-laki di keluarga. Sebaliknya, anak perempuan yang dikeluarganya ayahnya cenderung dominan dan keras dan ibunya lemah, akan memicu anak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki untuk menggantikan ayahnya yang dianggap jahat untuk menemani ibunya. Anak perempuan merasa harus jadi laki-laki, sebagai pembela dari kekerasan ayahnya di rumah. Identifikasi diri laki-laki sebagai perempuan atau sebaliknya, memicu tumbuhnya hasrat seksual sesama jenis meskipun tidak pasti. Terutama perempuan yang merasa trauma terhadap laki-laki atau ayahnya sendiri, akan cenderung mencari pasangan non laki-laki yang bisa mencintainya.
Seturut dengan hal diatas, menurut Carl Gustav Jung, pada diri seseorang terdapat sisi laki-laki dan sisi perempuannya masing-masing. Jung yang meski penganut psikoanalisa Freud berbeda pendapat mengenai kesadaran seperti teori Freud tentang alam kesadaran, Jung membagi alam ketakkesadaran menjadi dua yakni personal unconciousness (ketidaksadaran pribadi) dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif). Inti dari ketidaksadaran kolektif ini dinamakan sebagai shadow. Isi dalam shadow ini salah satunya adalah adanya anima dan animus. Anima adalah sifat kelaki-lakian pada perempuan sedangkan animus adalah sifat keperempuan-perempuanan pada laki-laki9. Dalam bentuknya yang ekstrem, anima dan animus inilah yang dapat membuat kepribadian homoseksual atau transeksual. Meski menjadi realita, anima-animus ini berfungsi sebagai adaptasi seseorang dalam hubungan sosial yang heterogen. Seorang laki-laki perlu untuk memiliki sifat keperempuanan dalam kondisi tertentu agar dapat memperlakukan orang dengan sesuai, begitupun sebaliknya. Namun, jika dinamika psikologis ini terjadi sebegitu sering dan condong pada satu sisi saja, misalkan dalam kondisi krisis keluarga yang merasa laki-laki dituntut untuk jadi perempuan atau perempuan yang berperan sebagai lelaki, jika dalam kondisi yang bertahan lama, akan memicu tumbuhnya pola kepribadian dan mengembangkan identitas seksualnya menjadi homoseks.
Ada banyak kemungkinan lainnya yang memicu seseorang menjadi homoseks baik Lesbian, Gay, Biseks, maupun Transeksual. Pengalaman traumatis, pengalaman maladjustment, dan faktor lainnya baik internal maupun eksternal bisa membuat seseorang menjadi homoseks, meskipun tetap tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan gejala alamiah dan normal. Akan tetapi, akar dari semua itu adalah terkait dengan pandangan masyarakat dan sangat erat terkait dengan norma yang dianut masyarakat. Selama masyarakat tidak permisif terhadap LGBT, seseorang yang memiliki hasrat homoseks akan mengembangkan adaptasi untuk diterima masyarakat dan kembali menjadi heteroseks. Namun sebaliknya, jika masyarakat menerima secara permisif, mendukung kebebasan memilih orientasi seksual, bahkan memunculkan regulasi untuk melindungi LGBT untuk bebas diterima masyarakat, maka ini pula yang akan menyebabkan munculnya individu lainnya untuk mengidentifikasi sebagai homoseks akibat gejala anima dan animus tadi. Kontrol masyarakat agar tetap menjadi lurus, akan berpengaruh besar pada orientasi seks seseorang.Yang sudah terlanjur menjadi LGBT, juga memang harus segera diperbaiki core beliefs nya untuk kembali menjadi heteroseks. Perlakuan diskriminasi terhadap LGBT, juga akan memicu penguatan identitas LGBT akibat terisolasi secara sosial dan eksklusif bergaul dengan LGBT lainnya. Diskriminasi terhadap LGBT bukanlah jalan keluar, yang diperlukan adalah bimbingan moral, religius, serta merestrukturisasi kepercayaan terhadap identitasnya untuk kembali menjadi heteroseksual. []
© Isman Rahmani Yusron,
Februari 2016
---------------------------
Catatan Kaki:
1) David Matsumoto, 2009, The Cambridge Dictionary of Psychology, New York, Cambridge University Press, hlm. 236
2) American Psychological Association, 2011, Answers to your questions about transgender people, gender identity, and gender expression, Washington DC, Diunduh dari http://www.apa.org/topics/lgbt/transgender.aspx
3) Cheryl L. Weill, 2009, Nature’s Choice: What Science Reveals About the Biological Origins of Sexual Orientation, New York, Routledge, hlm.5
4) Sarlito. W. Sarwono, 2010, Psikologi Remaja, Jakarta, Rajawali Press, hlm.228
5) Ibid, hlm.229
6) Cheryl L. Weill, Op.Cit, hlm.8
7) Alex Sobur, 2003, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia, hlm.339
8) Elizabeth Hurlock, 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga, hlm.128
9) Sarlito. W. Sarwono, Op.Cit, hlm.232
ijin share
BalasHapus