Pagi
itu, Cici terpekur memandangi layar handphonenya.
Sepagi ini, selepas euphoria pesta
wisudanya semalam, pesan dari Bunda begitu mengejutkan. “Nak, jika kau belum
dapat kerja sampai akhir bulan ini di
Bandung, pulanglah, ayahmu sudah siapkan pendamping,” tulis Bundanya.
Bukan alang kepalang, betapa mengagetkannya pesan Bundanya. Cici punya mimpi,
dia ingin hidup di Bandung untuk dapat bekerja dan merengkuh mimpi-mimpinya
sebagai pengajar. Bukan tak terpikir olehnya, jadi pengajar di Padang maupun di
Bandung sama saja. Tapi, setelah 3,5 tahun kuliah di Bandung, hatinya terpaut
untuk menetap. Bandung, seperti salah satu kata komedian, tak hanya masalah
geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Kutipan yang terpampang di
dinding jembatan Jalan Asia Afrika yang beberapa waktu lalu Ia kunjungi, begitu
terpatri. Sejak itu, ia bertekad menikmati perjalanan hidupnya di kota ini.
Kontras
dengan keceriaan semalam, pagi ini Cici begitu gamang. Ia tak dapat membalas
pesan sosok yang melahirkannya. Kepalanya jadi begitu berat, pening dan
berkunang-kunang matanya. Tak terasa, air mata yang bahkan selama 3,5 tahun
dibandung tak pernah ia kucurkan, mengalir jua. Sembab matanya, menahan
kebingungan yang tak ia kuasa hadapi. Sejenak ia melamun, menatapi Ijazah
sarjananya. Tiga koma empat delapan, nilai IPK nya hampir cumlaude. Kalaulah,
ia tak sempat sakit gastritis, sehingga tinggalkan kuliahnya dan harus
mengulang, pastilah ia dapatkan predikat itu. Tak berapa lama Cici menyadari,
ada harapan yang masih bisa ia gantungkah: dengan IPK besarnya, mungkin
pekerjaan tak begitu sulit didapat.
Tak
mau larut dalam kesedihan, Cici bangkit bergegas mengumpulkan kertas-kertas
berharga yang ia simpan rapi. Ada sertifikat pelatihan ini itu, ia dapati juga
beberapa piagam penghargaan. Ia kumpulkan semuanya, tak lupa juga Ijazah akta
mengajar, juga transkrip yang ia harap bisa jadi tiket dapat pekerjaan di
Bandung. Ia pun tak bodoh bodoh amat pikirnya, karena hanya gagal dapat cumlaude
tak berarti ia belum layak dapat kerja. Apalagi dengan passionnya mengajar,
membuat Ia yakin: segera mendapat sekolah yang mau menampungnya.
Bersegera
ia memfotocopy seluruh dokumen terbaiknya, membuat Curriculum Vitae se prestise
mungkin, dan membuat surat lamaran. Lantas masalah baru datang seketika, ia tak
mampu menulis. Menulis surat lamaran dengan kata-kata yang meyakinkan ternyata
tak semudah lulus dari universitas. Baru ia sadari: kuliah, tak membuatnya
pandai menulis. Sejenak ia menyesali, kenapa saat diberi tugas dari dosennya,
ia hanya mengandalkan copy paste. Begitu banyaknya artikel di dunia maya dan
begitu canggihnya mesin pencari, membuatnya terlena. Bahkan ia mulai sadari,
tak sempat ia baca semua artikel yang ia dapat. Bahkan, hampir sulit mengingat
isi-isi dari tugas yang dikumpulkannya.
Cici
tak biasa membaca tulisan begitu panjang. Keahliannya: mengambil, memodifikasi
agar sekonten dengan maksud tugas yang diberi dosennya. Kala itu ia meyakini,
dengan mahasiswa sebanyak itu, mana mungkin dosen memeriksa dan baca tulisannya
satu-satu. Toh, akhirnya ia selalu dapat A di mata kuliahnya. Meski sesekali B,
dan pernah sekali dapat C namun ia ulang perbaiki dengan nilai akhir B. Tapi
hari ini Ia menyadari, deret nilai yang bagus tak membuat ia pandai menulis.
Hanya menulis surat lamaran! Oh, betapa Ia mengutuk dirinya sendiri, sarjana
yang ia dapat dengan waktu singkat tak membuatnya pandai membuat tulisan, hanya
tulisan di surat lamaran.
Tak
habis akal, dan satu satunya yang ia bisa pikir, cari di mesin pencari daring!
Bergegaslah ia buka Ineternet, menulis kata kunci “contoh surat lamaran”. Satu
persatu Cici buka, dan baca isinya. Tak satupun ia dapati contoh lamaran
menjadi pengajar. Ribuan deret yang didapati mesin pencari, tak jua ia dapatkan
contoh surat lamaran untuk menjadi pengajar. Seketika ia merenung, apakah
menjadi pengajar tak perlu surat lamaran? Buru-buru ia hapus pikirannya itu,
bahwa jadi pengajar sama saja seperti menjadi karyawan, perlu surat lamaran.
Hampir
satu jam Ia mencari, tak jua ia dapati. Cici mulai panik, matanya kembali
berkunang-kunang seperti pagi ini. Beberapa kali mulutnya berkomat kamit
mengutuki diri: kenapa juga sarjananya tak buat pandai menulis. Disela
pencariannya dari laman ke laman, muncul kutukan baru: kenapa pula ia tak
banyak membaca. Ia mengingat, selama berkuliah, tak banyak buku ia baca. Buku
yang pernah ia baca hanya seputar buku teks perkuliahan, sesekali modul yang
dijual dosennya, itupun tak selesai di baca. Cici terus berperang pikiran dalam
diamnya. Mengutuki: sarjana tak pernah baca, tak pandai menulis. Lama-lama Ia
mulai frustasi. Tangannya yang memegang tetikus komputer, mulai lemas. Matanya
mulai berat, dan tak terkira detak jantungnya berderu cepat. Solar plexus di
dadanya mulai pedih, tak kuasa ia tahan tangis: kali kedua ia meneteskan air
mata.
Sempat
terpikir untuk meminta bantuan temannya. Tapi, siapa? Kebanyakan temannya
banyak menanya padanya. Nilai-nilainya yang selalu bagus, lantas membuatnya
menjadi pusat pertanyaan. Cukup besar juga gengsinya untuk bertanya pada teman,
yang ia pikir lebih rendah kemampuannya darinya. Teman-teman seangkatan belum
ada yang lulus: dia yang pertama. Mana mungkin sarjana dengan IPK yang hampir
cumlaude bertanya pada mahasiswa yang bahkan perkuliahannya banyak belum
selesai. Tapi Cici mulai putus asa. Kembali ia mengutuki diri, dan menyadari:
betapa berat gelar yang dipikulnya.
Tak
menyerah, Cici mencoba menulis. Lima menit.. sepuluh menit.. setengah jam Ia
memelototi layar komputer, tak juga terlintas kata pertama untuk memulai
tulisannya. Ah! Betapa sukarnya hanya membuat surat lamaran saja, pikir Cici
mengutuki. Sampai akhirnya, tak ada satupun contoh yang Ia dapat, tak satu
katapun yang Ia tulis, Cici menyerah. Ia lalu merebahkan badan dengan mata
sembab berair. Pikirnya melayang, membayangkan jika sampai akhir tahun Ia tak
dapat kerja. Membayangkan, hari dimana ayah dan bundanya menikahkan dirinya
dengan laki-laki yang tak barang satu waktupun pernah ia lihat dan bayangkan.
Tak kuasa ia menahan tangis membayangkan saat suami yang tak ia tahu siapa
mulai menjamah dan melampiaskan hasrat kelelakiannya: ngeri. Betapa saat itu, gelar
sarjana pengajaran yang ia raih tak dapat menolongnya dari kuasa suami kepada
istri.
Sempat
ia terpikir untuk meraih handphonenya mengabari bundanya disana. Menegaskan
menolak perjodohannya. Tapi apa kuasa dia sebagai anak yang lahir di lingkungan
serba patuh. Titah orang tua adalah titah dewa yang pamali ia tolak. Pikirannya
terus bergejolak. Badannya lemas tak kuasa menahan gejolak pikirannya. Ia pun
bangkit, mengusap seluruh airmatanya.
***
Pagi
itu, belum sempat juga semburat matahari muncul di sudut lazuardi, tak seperti
biasanya: Kosan Melati Hijau gempar. Awalnya, Suci, salah satu pengisi kosan
tersebut, hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Namun, saat melewat
kamar nomor 13, ia sempat mencium bau busuk. Bau busuk yang menusuk hidung, seperti
bangkai tikus berhari hari. Sejenak ia menyadari, pengisi kamar itu tiga hari
ini tak keluar kamar. Ia mengetuk-ngetuk, tak ada jawab.
Suci
mulai penasaran, mengintiplah ia ke kaca nako yang atasnya sedikit
terbuka. Bukan main ia kaget, tersentak
ia mendapati: pengisi kamar tergantung dengan jerat tambang di lehernya.
Dindingnya bercoretkan darah: “GELAR TIADA GUNA, JIKA ISI KEPALA SEKEPAL SAJA”.
Pagi
ternyata mendung, gemuruh petir dikejauhan meredam riuh manusia yang berkumpul
di Melati Hijau. Lalu titik hujan membasahi bendera kuning dari kertas wajit,
layu seakan berduka cita melepas kepergian sarjana yang beberapa saat lalu
telah diwisuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar