Setiap tahunnya, saat
memasuki semester genap mendekati Ujian Nasional, para siswa khususnya kelas
akhir (kelas IX & XII) harus mengikuti pemantapan persiapan ujian. Siswa
digenjot paksa untuk intensif mempersiapkan ujian yang hanya beberapa hari.
Hampir selama 6 bulan terakhir, mereka ditekan habis-habisan untuk memenuhi
keegoisan citra sekolah agar lulus seratus persen dalam UN.
Mempersiapkan diri untuk
menghadapi ujian memang sah-sah saja. Sudah seharusnya memang, para siswa
menampilkan performa yang prima pada saat diuji. Namun, jika persiapan ujian
diperlihatkan dalam bentuk tekanan yang mencekam, siswa tak akan menikmati
proses belajarnya. Terlebih lagi, jika pemantapan ujian ini dalam bentuk
tuntutan dari sekolah bukan hasil dari upaya mandiri siswa. Pemantapan tak
ubahnya seperti kerja rodi, mekanistik juga tak manusiawi.
Berminggu-minggu, siswa
dipaksa untuk terus menerus mengisi soal ujian latihan, tanpa diberi kesempatan
menyelami makna soal yang diujikan. Proses berpikir dikerdilkan dengan
siasat-siasat bagaimana menebak jawaban soal yang sulit. Berjam-jam selama
berbulan-bulan, kepala siswa dipaksa berhenti untuk berpikir komprehensif,
kognitifnya direkontruksi untuk siap mengisi soal dengan jawaban-jawaban yang
tak perlu difahami maknanya: tak perlu njelimet memahami, yang penting, jika
soal begini isinya pasti begini!
Pada akhirnya, dalam
proses pemantapan ujian ini muncul benih-benih dehumanisasi dalam proses
pendidikan. Maksud baik, bersiap untuk menghadapi momentum ujian, yang terjadi
adalah penyimpangan kaidah pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan adalah
memanusiakan manusia yang maknanya, pendidikan bukan soal pintar mengisi soal
ujian, melainkan pandai memecahkan persoalan kehidupan. Menurut W.B. Yeats
Pendidikan adalah proses menyalakan api pikiran, bukan malah pintar mengisi
soal ujian.
Setidaknya, dehumanisasi
ini terlihat dalam bentuk sebagai berikut: Pertama,
siswa dipaksa berfikir kerdil dan dangkal karena hanya bertugas untuk mengisi
soal ujian tanpa sempat memahami maknanya. Kedua,
siswa yang memiliki potensi dan minat berbeda, dipaksa harus sama belajar mata
pelajaran yang diujikan saja. Ketiga, selama proses pemantapan, siswa
dipadamkan minatnya untuk mempelajari pelajaran lain karena harus fokus
mempersiapkan ujian yang hanya beberapa mata pelajaran saja. Keempat, siswa tak diberikan pilihan
untuk menghindari tekanan, mau tidak mau siswa harus ikut pemantapan.
Proses pemantapan yang
dipaksakan intensif selama beberapa bulan demi ujian yang hanya beberapa hari,
tentunya sangat melelahkan bagi siswa. Mereka mengalami tekanan fisik dan emosi
dalam waktu yang lama. Dalam teori psikologi pendidikan, tekanan dalam jangka
waktu yang lama akan memicu kejenuhan dalam belajar.
Kejenuhan belajar ini
memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar, hingga
tingginya angka drop out (Aypay, 2011). Lebih jauh, kondisi ini akan memicu
siswa memperlihatkan sikap sinis (cynism),
menghindar dari pembelajaran hingga siswa merasa tidak kompeten atau merasa tak
mampu sebagai pelajar (Schaufeli, 2002).
Pemantapan di sekolah
pada akhirnya terkesan mengeliminasi proses belajar siswa yang telah dijalani selama
hampir 3 tahun. Pemantapan selama beberapa bulan, seperti menyepelekan kerja
kerja keras siswa yang telah berusaha bertahun-tahun sebelumnya. Persiapan
ujian yang instan ini hanya menghasilkan generasi-generasi instan.
Pemantapan seolah
merupakan bentuk ketidakpercayaan sekolah terhadap proses belajar siswa,
sekaligus bentuk pengakuan sekolah bahwa mereka tak mampu mencetak siswa yang
siap menghadapi berbagai evaluasi. Ironisnya, ketidakmampuan ini terkadang dibebankan
kepada siswa dengan harus membayar sejumlah uang demi menyelenggarakan
pemantapan (dalam harian “PR”, 7/1/2014)
Namun, memang tak perlu
sepenuhnya menyalahkan sekolah atas malpraktik pendidikan seperti ini. Semuanya
bermuara pada sistem yang memang dirancang oleh yang bukan ahlinya. Seharusnya,
kebijakan pemicu pemantapan ini yang juga perlu dievaluasi. Pemerintah jangan
menutup mata, segala bentuk kekacauan bermuara pada ketidaktahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar