Pers merupakan satu dari empat pilar
tumpuan berdirinya demokrasi. Artinya, hidupnya pers merupakan simbol tegaknya
demokrasi. Dimana, pers yang berfungsi sebagai “anjing penjaga” yang mengawasi
kinerja tiga pilar demokrasi lainnya yakni eksekutif, legislatif, serta
yudikatif, berperan penting agar cita-cita demokrasi terwujud di setiap lembaga
publik tak terkecuali di kehidupan kampus.
Universitas atau lembaga pendidikan tinggi
lainnya juga merupakan miniatur lembaga negara. Seperti halnya Negara, dimana
didalamnya memiliki elemen-elemen pilar demokrasi, peran pers mahasiswa, tidak
hanya perlu, melainkan sebuah keharusan. Sehingga, pers mahasiswa tak bisa
dibedakan fungsinya seperti halnya pers arus utama.
Kemunculan pers mahasiswa, identik dengan
perjuangan mahasiswa menentang represifitas penguasa, hingga pemantik perubahan
sosial politik yang bergerak dibalik layar. Mulai dari kemunculan Indonesia Merdeka yang menyuarakan
kemerdekaan serta penentangan kolonialisme, Mahasiswa
Indonesia yang menentang konsepsi demokrasi terpimpin, hingga di masa meledaknya
peristiwa 15 Januari 1974 di masa fasisme Soeharto.
Pasca peristiwa Malari, represifitas
terhadap gerakan mahasiswa, pun pers mahasiswa semakin menjadi-jadi. Pers
mahasiswa yang kala itu dituduh sebagai pengganggu stabilitas keamanan,
diberangus. Puncaknya pada 1978, rezim orde baru mengeluarkan kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang menjadikan
mahasiswa sebagai menara gading dan dibungkam habis-habisan. Mahasiswa
“dikembalikan” ke habitat alaminya yakni perguruan tinggi. Kewajiban mahasiswa
hanyalah belajar, berprestasi, atau mengharumkan nama bangsa. Mahasiswa
dijauhkan dari fikiran macam-macam apalagi soal politik.
Namun, betapapun kerasnya tekanan kepada pers
mahasiswa, tak menjadikan padamnya api semangat perjuangan merubah tatanan
negara serta masyarakat yang lebih baik. Terbukti, pers mahasiswa yang menjadi
media alternatif ikut menorehkan sebuah catatan perlawanan pada rezim fasis Soeharto
di masa keruntuhannya.
Akan tetapi, apakah dengan runtuhnya rezim
orde baru lantas represifitas terhadap pers mahasiswa juga hilang? Ternyata
jawabannya tidak! Pers mahasiswa kini dihadapkan pada represifitas tersembunyi
yang masih merupakan jejak-jejak orde baru. Disadari atau tidak, bekas-bekas
NKK/BKK masih bercokol di kehidupan mahasiswa. Melalui NKK/BKK yang menjauhkan
mahasiswa dari fikiran-fikiran kritis, serta penekanan mahasiswa agar study oriented, berprestasi,
mengharumkan nama bangsa, menjadikan kondisi mahasiswa yang apolitis dan apatis
terhadap kondisi sosial bangsa.
Betapa tidak, bisa dibuktikan kondisi
mahasiswa kini semakin tak peduli terhadap isu-isu yang berhubungan dengan
kepentingan publik maupun mahasiswa sendiri. Kondisi mahasiswa yang semakin
individualis, menjadikan kesadaran mahasiswa menjalankan tugasnya sebagai agent of change serta merta hilang.
Keadaan ini didukung pula oleh sistem
akademik kampus yang merepresi dengan cara terselubung, melalui pemadatan masa
kuliah dan pembatasan aktifitas mahasiswa diluar kegiatan akademik. Semakin
terbataslah kekritisan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan kampus yang tak
jarang merugikan kepentingan mahasiswa.
Ditambah lagi, sistem feodalisme yang
ditanam kuat oleh para birokrat kampus demi mengamankan kepentingan-kepentingan
busuk mereka. Iklim feodalisme ini terasa dimana mahasiswa ditanami
fikiran-fikiran agar tidak melawan kebijakan-kebijakan para “orang tua” yang
duduk di kursi jabatan birokrasi kampus. Sehingga, meminjam istilah Paolo
Freire, kondisi feodal ini melahirkan “kebudayaan bisu” di kalangan mahasiswa.
Kebudayaan bisu yang dimaksud, merujuk pada kondisi mahasiswa yang semakin jauh
dari kesadaran bahwa dirinya tengah tertindas, bahkan mahasiswa merasa takut
untuk sadar bahwa mereka tengah tertindas.
Kondisi seperti iniliah yang secara
signifikan melahirkan kebobrokan sistem di kampus. Maka dari itu, pers
mahasiswa yang salah satunya berfungsi sebagai kontrol sosial dituntut perannya
untuk melahirkan tatanan baru yang lebih baik. Berbeda perannya pada saat
sebelum era reformasi, kini pers mahasiswa lebih concern pada stabilisator mutu mahasiswa yang bergelar agent of change. Mengutip Soe Hok Gie,
bahwa satu-satunya kemewahan yang dimiliki mahasiswa adalah Idealisme.
Akhirnya, tugas pers mahasiswa ialah menjaga agar mahasiswa tetap memiliki
satu-satunya kemewahan itu. Selain itu, peran utama pers mahasiswa untuk menjaga
kekritisan mahasiswa ditengah iklim apatis, juga merupakan salah satu bentuk
perlawanan jejak sejarah kelam NKK/BKK yang masih terasa.
Akhirnya, sintesis dari hal itu, musuh
utama pers mahasiswa bukan lagi hegemoni kekuasaan maupun represifitas
pemerintah. Lebih jauh, perjuangan pers mahasiswa berada di posisi untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa yang diperkosa oleh birokrat
kampus. Selain itu, perjuangan melawan jejak-jejak penumpulan pemikiran
mahasiswa yang merupakan prodak NKK/BKK, menjadi salah satu perhatian utama pers
mahasiswa.
Betapa kuatnya dampak NKK/BKK yang
melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang apatis terhadap kepentingan publik, menjadi
epidemi yang menjangkit kehidupan kampus. Tak terkecuali di Universitas
Pendidikan Indonesia. Di kampus yang berjargon pendidikan ini, iklim penindasan
terhadap mahasiswa sangat kuat. Tak hanya itu, birokrat kampus yang feodal
menciptakan kebudayaan bisu di kehidupan mahasiswa. Ditambah, represi kampus
dalam sistem akademik menjadikan mahasiswa terlalu disibukan oleh aktifitas-aktifitas
kuliah dan apolitisasi terhadap kebijakan-kebijakan kampus. Pada akhirnya, isu-isu terkait kebijakan
kampus yang merugikan mahasiswa, luput dari perhatian para agent of change.
Pada titik inilah pers mahasiswa bergerak
melawan segala bentuk penindasan dan penumpulan daya kritis mahasiswa yang
semakin menjadikan kampus pendidikan ini bobrok. Memiliki fungsi strategis
sebagai pembentuk opini publik, pers mahasiswa berada di titik sentral untuk
merubah perspektif mahasiswa terkait kebijakan kampus. Pola sistem kampus yang
membentuk mahasiswa menjadi para bebek yang hanya ikut pada segala aturan yang
dibuat oleh kampus, menjadikan mahasiswa hilang taringnya sebagai agen
perubahan. Tak ada lagi posisi mahasiswa menyikapi kebijakan yang tak jarang merugikan,
bahkan mereka tak lagi mau peduli terhadap kepentingan mahasiswa yang lebih
luas.
Pers mahasiswa, dalam hal ini mendapatkan
tantangan berat untuk mengembalikan daya kritis mahasiswa melalui penyebaran
informasi. Penyadaran melalui informasi dan penyampaian aspirasi secara bebas
dan terbuka, merupakan inti dari perjuangan pers mahasiswa mewujudkan cita-cita
demokrasi. Sehingga, pada saat mahasiswa tersadar dari “tidur” panjangnya, mahasiswa akan kembali menjalankan fungsinya
sebagai agen perubahan.
Keberhasilan demokrasi ditandai oleh
munculnya kesadaran masyarakat bahwa dirinya tengah dibodohi oleh rekayasa
sistem para penguasa. Kebebasan berekspresi dan berbagai bentuk perlawanan
terhadap segala penyalahgunaan kekuasaan, merupakan ciri dari terwujudnya
demokrasi. Artinya, ketika masyarakat masih dikelabui oleh sistem yang
merugikan, serta masih hanya “membebek” pada penguasa tanpa memahami arti
sebuah kebenaran, maka demokrasi belum benar-benar tegak.
Kacamata tersebut dapat dipakai pula dalam
melihat kehidupan di kampus. Kenyataan tersebut telah benar-benar jelas
terlihat. Berbagai kebijakan kampus yang selalu mengarah pada pengekangan
terhadap segala kegiatan kritis mahasiswa, ini merupakan bentuk dari
pembungkaman kebebasan berekspresi secara tersembunyi. Selain itu,
kebijakan-kebijakan yang mengarah pada komersialisasi merupakan bentuk sistem
yang merugikan mahasiswa. Dan parahnya lagi, mahasiswa hanya “membebek” saja
pada sistem yang diterapkan oleh kampus.
Maka dalam posisi inilah pers mahasiswa
berupaya mengontrol kehidupan sosial mahasiswa agar lebih menaruh perhatiannya
pada sistem kampus yang sudah sedemikian rusak. Sehingga, di saat kesadaran
mahasiswa terbangun, maka cita-cita demokrasi dapat terwujud secara progresif.
(Dari
berbagai sumber)
*)Ketua Umum Unit Pers
Mahasiswa UPI 2012-2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar