Oleh : Isman Rahmani Yusron
Saat disekolah, siswa tak
diperkenankan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Setiap minggunya, siswa
mesti menelan bahan ajar yang telah ditentukan sebelumnya. Seolah, guru dan
pembuat kurikulum lebih tahu apa yang harus dan tidak harus dipelajari siswa.
Ironisnya, apa yang diajarkan dari sabang sampai merauke bersumber dari
kurikulum yang dibikin di Jakarta. Seolah, standarisasi pengetahuan -yang jauh
dari konteks kehidupan siswa, lebih baik dan dibutuhkan siswa.
Tidakkah standarisasi
ini, tak ubahnya seperti penjajahan kreatifitas siswa? Siswa yang memiliki
kemampuan dan potensi yang tak sama, dipangkas dan ditekan agar memenuhi
standar yang serupa. Siswa yang memiliki daya nalar tinggi, dipangkas direduksi
hingga memenuhi standar yang sama. Lantas, siswa yang memilii kemampuan
terbatas, ditekan, dipaksa memenuhi standar yang jauh dari jangkauan
kemampuannya. Pada akhirnya, kreatifitas siswa tidak berkembang, yang
kemampuannya terbatas, digusur dipaksa dan akhirnya jenuh dan kelelahan.
Alih-alih siswa kasmaran
untuk belajar, yang terjadi hanya kecanduan disuapi pengajaran. Belajar yang
asalnya bentuk kata kerja aktif, direduksi jadi kepasifan. Esensi pedagogis,
yang asalnya membimbing siswa untuk mengembangkan kemampuan belajar, malah jadi
praktik pembentukan dan pemaksaan. Siswa bak lilin yang bebas dibentuk jadi apa
saja oleh gurunya. Kebebasan siswa diperkosa, dipaksa menerima penetrasi
pengetahuan yang tidak diperlukannya.
Sepantasnya, di sekolah,
siswa diberikan kebebasan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Penulis yakin,
setiap siswa tahu pengetahuan apa yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari
hari. Sekolah, seharusnya melakukan need asessment pada siswa, sebelum tahun
ajaran dimulai. Sehingga, dapat tergambar kebutuhan belajar apa yang
betul-betul diperlukan siswa. Perumusan konten kurikulum, sepatutnya
berdasarkan atas kebutuhan itu, bukan berdasarkan ilusi yang bahkan ngawur dan
tidak kontekstual bagi kehidupan siswa.
Praktik kurikulum yang
berdasarkan kebutuhan siswa itu, tak mungkin bisa jika masih tersentralisasi.
Sepatutnya, tingkat kemampuan siswa, dan kebutuhan materi ajar yang berguna
bagi kehidupan siswa, diakomodir dalam perumusan kurikulum. Tentu nantinya,
kurikulum akan semakin plural dan beragam, tapi tak apa, bukankah perbedaan
mestinya jadi keniscayaan? Justeru faham sentralistik dalam kurikulum yang
selama ini terjadi, toh tidak menghasilkan prodak yang memuaskan?
Maka dari itu, pemerintah sudah sepatutnya mulai membuka diri untuk mengambil langkah pembebasan siswa dari jerat sistem yang seragam. Akomodasi perbedaan kemampuan siswa, adalah bentuk pemerdekaan siswa saat disekolah. Toh, pendidikan adalah hak siswa, dan siswa juga berhak memilih apa yang ingin dipelajarinya, dan mengembangkan kemampuan berfikirnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Akhirnya, penjajahan yang berbentuk standarisasi baik dalam kurikulum maupun ujian kesetaraan, perlu segera dimusnahkan, demi melahirkan siswa yang bebas dan merdeka.
*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2015