Dalam kehidupan demokrasi, Pers
yang sering disebut sebagai pilar keempat, sama dengan tiga pilar lainnya
berupaya menegakan kebenaran. Pilar pertama, eksekutif atau pemerintahan harus
menyelenggarakan pemerintahan yang benar dan masuk akal sehingga tidak
merugikan masyarakat yang diperintah. Pilar kedua, legislatif berupaya
menghasilkan produk-produk legislasi yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang
benar dan juga tidak merugikan masyarakat. Pilar ketiga, yudikatif juga
menyelenggarakan penegakan hukum yang menganut pada kebenaran agar berlaku adil
dan tidak merugikan. Begitupun Pers, sebagai bagian dari pilar tegaknya
kehidupan bermasyarakat, harus berupaya menganut kaidah-kaidah kebenaran agar
juga tidak merugikan masyarakat.
Pertanyaan yang mucul dari
pernyataan diatas adalah, bagaimana kita bisa mendapatkan kebenaran tadi?
Kebenaran apa yang dianut agar tidak merugikan? Apakah selamanya, yang
menguntungkan masyarakat adalah sebuah kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut mungkin agak sulit dijawab karena akan memunculkan berbagai
kemungkinan. Relativitas kebenaran, menjadi batu sandungan ketika menentukan
bahwa sesuatu itu benar atau tidak. Lalu, pertanyaan selanjutnya pun muncul: dengan
menggunakan apa kita menemukan sebuah kebenaran? Jawabannya adalah : Logika.
Logika adalah sebuah alat untuk mendapatkan sebuah kebenaran.
Secara etimologis, logika berasal
dari kata benda Logos. Logos berarti
sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal. Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:9)
logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata
dan dinyatakan dalam bahasa. Ada yang menyebut logika ini sebuah ilmu, tapi ada
juga yang menyatakan bahwa logika ini merupakan sebuah seni (art) keterampilan
untuk berpikir secara lurus, tepat dan teratur. Sebagai teknik dan metode,
logika juga disebut sebagai cara untuk meneliti ketepatan berpikir. Logika
merupakan cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan dan
membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur, serta kriteria
yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional (Rapar, 1996).
Buat apa mempelajari logika?
Setidaknya ada empat kegunaan logika, pertama, membantu setiap orang untuk berpikir
secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis dan koheren; kedua,
meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif; ketiga,
menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan
mandiri; keempat, meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan
serta kesesatan berfikir.
Hukum
dasar Logika
Ada empat hukum dasar logika yang
merupakan dasar kebenaran umum yang berlaku. Keempat hukum tersebut ialah
principium identitatis, principium contradictionis, principium exclusii tertii
dan principium rationis sufficientis.
1.
Principium
indetitatis (law of identity)
Artinya hukum kesamaan. Merupakan
kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan “sesuatu itu
sendiri”. Jika sesuatu itu p maka p identik dengan p, atau p adalah p. Dapat pula dikatakan: jika p maka p dan akan
tetap p. Misalnya, Kucing, haruslah kucing yang itu yang memiliki kaki empat,
berbulu, mengeong. Selamanya, kucing akan tetap itu. Karena identitasnya.
2.
Principium
Contradictionis (Law of Contradiction)
Hukum kontradiksi adalah kaidah
pemikiran yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu pada waktu yang sama
adalah "sesuatu itu dan bukan sesuatu itu." Yang dimaksudkan ialah mustahil ada sesuatu
hal yang pada waktu bersamaan saling bertentangan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidak
mungkin p pada waktu yang adalah p dan bukan p.
Sir William Hamilton (1788-1856)
menyebut hukum ini sebagai hukum tanpa pertentangan (Law of No Contradiction)
karena kaidah itu menegaskan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang pada waktu yang
sama saling bertentangan. Misalnya, manusia bukan jin. Tidak bisa, seorang
manusia juga seorang jin.
3.
Principium
Exclusi Tertii (Law of Excluded Middle)
Hukum penyisihan jalan tengah
adalah kaidah yang menjelaskan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat
tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan
lain. Jadi p = q atau p / q. Dengan kata lain, misalnya sebuah batu haruslah keras
atau tidak keras; diam atau tidak diam.
4.
Principium
Rationis Sufficientis (Law of Sufficient Reason)
Bahwa jika terjadi perubahan pada
sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Itu berarti
tidak ada perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional. Hukum ini merupakan
pelengkap hukum identitas.
Itulah
empat hukum kebenaran yang universal dan tidak terbantahkan. Jikalah ada yang
tidak sesuai, artinya ada sebuah kesalahan dalam bernalar. Karena, tidak masuk
pada akal dan logika. Kesalahan-kesalahan dalam berfikir, sangat dimungkinkan
dalam bernalar. Bisa jadi seseorang mengalami kesalahan dalam mengambil
kesimpulan. Berikut adalah beberapa kesalahan umum dalam berfikir yang sering
ditemukan.
1.
Argumentum
ad Hominem
Argumentum ad
Hominem adalah bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang
disampaikan oleh orang lain tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi
argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang
pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: shoot the
messenger, not the message. Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling
umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem
termasuk dalah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam debat dan
diskusi politik, yang biasanya akan membawa topik ke dalam debat kusir yang tak
ada ujung pangkal. Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau
cercaan. Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan
berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu
argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya
mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa
dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan
argumen lawan.
Contoh : “Sarah berkata bahwa Zaki harus
jadi presiden BEM universitas X. Bob menjawab dengan apakah kita harus percaya
dengan perkataan wanita yang sering gonta-gant pacar, memiliki gaya rambut
aneh, dan sering bangun kesiangan.”
2.
Red
Herring
Red Herring
adalah argumen yang tak ada sangkut-pautnya dengan argumen lawan, yang
digunakan untuk mendistraksi atau mengalihkan perhatian orang dari perkara yang
sedang dibahas, serta menggiring menuju kesimpulan yang berbeda. Sesat-pikir
ini biasanya akan keluar jika seseorang tengah terdesak. Ia akan langsung
melemparkan umpannya ke topik lain, di mana topik lain ini sukar dihindari
untuk tidak dibahas. Itu karena biasanya pemilihan topik lain itu ‘baunya’
cukup kuat seperti perumpamaan ikan merah (red herring) atau terasi bagi orang
Indonesia (meminjam istilah Herman Saksono), antara lain topik yang aktual atau
isu yang cukup dengan lawan debat atau audiens.
Contoh:
Andi:
Polisi harusnya menindak tegas para aktivis lingkungan yang berdemo hingga
menyebabkan macet di beberapa ruas jalan.
Badu:
Anda merasa makin panas dan gerah saat macet kan? Kita harus peduli dengan isu
global warming itu, bagaimana opini Anda?
(ketika
Andi mengemukakan opininya tentang global warming, maka jatuhlah ia ke dalam
topik baru)
3.
Straw
Man
Straw Man yaitu
argumen yang membuat sebuah skenario yang dengan suatu imej yang menyesatkan,
kemudian menyerangnya. Untuk membuat ‘manusia jerami’ (straw man) adalah dengan
membuat ilusi telah menyangkal suatu proposisi dengan mensubstitusinya dengan
sesuatu yang mirip namun dangkal dan mudah diserang, tanpa pernah benar-benar
menyangkal argumen lawan yang sebenarnya. Seperti namanya, manusia jerami adalah
sasaran yang empuk dan mudah untuk diserang. Menyerang manusia jerami yang
diciptakan dari manipulasi argumen lawan akan membuat argumen diri sendiri
terlihat kuat dan bagus. Pada umumnya, selain terdapat dalam kampanye, manusia
jerami ini akan dikeluarkan setelah lawan selesai bicara mengenai perkara yang
dibahas.
Contoh
:
A:
Seharusnya anak-anak tidak sering makan permen dan es krim, karena tidak baik
untuk gigi.
B:
Tidak memberi mereka es krim dan permen? Kamu mau merusak masa bahagia mereka
sebagai anak-anak?
(Padahal
A tidak bilang, anak-anak seharusnya tidak diberi es krim dan permen. A
berpendapat „tidak sering makan“, tapi dibesar-besarkan oleh B)
4.
Guilt
by Association
Guilt by
Association berciri-ciri tipe generalisasi umum–yang terlalu cepat mengambil
kesimpulan–yang meyakini bahwa sifat-sifat suatu hal berasal dari sifat-sifat
suatu hal lain. Sesat-pikir ini bisa berupa ad hominem, biasanya dengan
menghubungkan argumen dengan sesuatu hal diluar argumen itu, kemudian menyerang
si pembuat argumen. Ini adalah bentuk ekstrim dari majas Totum pro parte yang
mana berupa seolah-olah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud
hanya sebagian. Intinya adalah mencari kesalahan seseorang dari apa saja yang
berkaitan dengannya, lalu jadikan hal tersebut argumen untuk menjatuhkannya.
Contoh:
Gusdur banyak bergaul dengan golongan sekuler. Golongan sekuler itu kebanyakan
berasal dari Amerika. Pasti Gusdur adalah seorang liberal dan antek-antek
Amerika.
(lihat
bagaimana dengan mudah menggeneralisasikan seseorang berdasarkan hubungannya
dengan hal lain)
5.
Perfect
Solution Fallacy
Perfect Solution
Fallacy adalah sesat-pikir yang terjadi ketika suatu argumen berasumsi bahwa
sebuah solusi sempurna itu ada, dan sebuah solusi harus ditolak karena sebagian
dari masalah yang ditangani akan tetap ada setelah solusi tersebut diterapkan.
Asumsinya, jika tidak ada solusi sempurna, tidak akan ada solusi yang bertahan
lama secara politik setelah diimplementasi. Tetap saja, banyak orang tergiur
oleh ide solusi sempurna, mungkin karena itu sangat mudah untuk dibayangkan.
Contoh:
Penerapan
UU Pornografi ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemerkosaan akan tetap
terjadi.
(argumen
yang tidak memperhatikan penurunan tingkat kriminalitas asusila)
6.
Argumentum
ad Verecundiam
Argumentum ad
Verecundiam terjadi ketika mengacu pada seseorang yang dianggap positif sebagai
pakar atau ahli sehingga apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran.
Otoritas kepakaran seseorang yang mengucapkan suatu hal tersebut kemudian
otomatis diakui sebagai sesuatu yang pasti benar, meskipun otoritas itu tidak
relevan
Contoh:
Andi
mengatakan Zina itu boleh karena Ustadznya mengajarkan demikian, Budi
mengatakan sebaliknya dengan Argumen yang diberikan berdasarkan apa yang
diajarkan Al-Qur’an.
dalam hal ini Andi melakukan kesesatan
berpikir Argumentum Ad Verecundiam,
karena Andi menggunakan Otoritas yang salah.
7.
Poisoning
the Well
Poisoning the
Well adalah sesat-pikir yang mencegah argumen atau balasan dari lawan dengan
cara membuat lawan dianggap tercela dengan berbagai tuduhan bahkan sebelum
lawan sempat bicara. Teknik meracuni sumur ini lebih licik dari sekadar mencela
lawan karena akan membuatnya menghina diri sendiri karena menyambut argumen
yang telah diracuni tersebut.
Contoh:
Kami
menduga Metro TV akan melakukan negative campaign untuk menjatuhkan Prabowo.
(dan
apa yang Metro TV beritakan tentang Prabowo dalam akan dianggap sebagai upaya
menjatuhkan Prabowo/Gerindra)
8.
Argumentum
ad Temperantiam
Argumentum ad
Temperantiam adalah kesesatan yang menyatakan bahwa pandangan pertengahan
adalah sesuatu yang benar tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Serta juga
menganggap jalan tengah sebagai pertanda kekuatan suatu posisi. Meskipun dapat
menjadi nasihat yang bagus, namun kesesatannya disebabkan karena ia tak punya
dasar yang kuat dalam argumen karena selalu berpatokan bahwa jalan tengah
adalah yang benar. Penggunaannya kadang dengan membuat-buat posisi lain sebagai
posisi yang ekstrim.
Contoh:
Daripada
mendukung komunisme atau mendukung kapitalisme, lebih baik ideologi Pancasila
yang merupakan jalan tengah keduanya.
(sedikitpun
tidak menjabarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem)
9.
Ipse-dixitism
Ipse-dixitism
adalah argumen dengan dasar keyakinan yang dogmatis. Seseorang yang menggunakan
Ipse-dixitism mengasumsikan secara sepihak premisnya sebagai sesuatu yang
disepakati, padahal tidak demikian. Premis yang diajukan dalam argumen
seolah-olah merupakan fakta mutlak dan telah disepakati bersama kebenarannya,
padahal itu hanya dipegang oleh pemberi argumen, tidak bagi lawannya.
Sesat-pikir ini akan berujung pada debat kusir.
Contoh:
Ideologi
liberalis dan kapitalis telah terbukti gagal dan hanya menyengsarakan rakyat,
karena itu harus diganti dengan sistem spiritual.
(ideologi
yang gagal itu belum disepakati lawan bicaranya, jadi bagaimana langsung dapat
menggulirkan solusi?)
10. Proof by
Assertion
Proof by
Assertion adalah kesesatan dimana suatu argumen terus-menerus diulang tanpa
mengacuhkan kontradiksi terhadapnya. Kadang ini diulang hingga diskusi pun
jenuh, dan pada titik ini akan dianggap sebagai fakta karena belum
dikontradiksi. Sesat-pikir ini sering digunakan sebagai retorika oleh
politikus, atau dalam debat sebagai usaha menggagalkan penetapan suatu
undang-undang dengan pidato yang amat panjang dan tak habis-habis. Dalam bentuk
yang lebih ekstrim lagi, juga bisa menjadi salah satu bentuk pencucian otak.
Penggunaannya dapat diamati dari penggunaan slogan politik yang terus-menerus
diulang.
Contoh:
Ambil
uangnya, jangan pilih orangnya! Karena, kita tidak boleh membiarkan korupsi
disekitar kita. Maka apabila ada politikus, menyogok, maka ambil saja uangnya
tapi jangan pilih orangnya. Benar kan? Kalau kita memilih orangnya, maka dia
akan korupsi. Maka dari itu, ambil saja uangnya tapi orangnya jangan dipilih
[dan seterusnya, berbelit-belit] (selama dua
bulan cuek terhadap argumen balasan dan terus mengulang perkara yang sama)
11. Two Wrongs Make
a Right
Two Wrongs Make a Right adalah kesesatan
yang terjadi ketika diasumsi bahwa jika dilakukan suatu hal yang salah,
tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Sesat-pikir ini biasa digunakan
untuk menggagalkan tuduhan dengan menyerang tuduhan lain yang juga dianggap
salah.
Contoh:
Dedi:
Soeharto merebut kekuasaan dari Bung Karno dan akhirnya ia berkuasa dengan
tangan besi.
Amir:
Tapi Soekarno juga mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup!
(ya,
tapi itu bukan berarti apa yang dilakukan Soeharto itu benar)
12. Argumentum ad
Novitam
Argumentum ad
Novitam muncul ketika sesuatu hal yang baru dapat dikatakan benar dan lebih
baik, dengan mengasumsikan penggunaan hal yang baru berbanding lurus dengan
kemajuan zaman dan sama dengan kemajuan baru yang lebih baik. Sesat-pikir ini
selalu menjual kata ‘baru’, dengan menyerang suatu hal yang lama sebagai hal
yang gagal dan harus diganti dengan yang lebih baru.
Contoh:
Mengganti
golongan tua dengan golongan muda serta wajah baru di parlemen akan membuat
negara ini lebih baik.
(tapi
masalah seperti korupsi bukan perkara tua atau muda)
13. Argumentum ad
Antiquitam
Kebalikan dari
Argumentum ad Novitatem, ketika sesuatu benar dan lebih baik karena merupakan
sesuatu yang sudah dipercaya dan digunakan sejak lama. Argumen ini adalah
favorit bagi golongan konservatif. Nilai-nilai lama pasti benar. Patriotisme,
kejayaan negara, dan harga diri sejak puluhan tahun silam. Sederhananya,
sesat-pikir ini adalah kebiasaan malas berpikir. Dengan selalu berpatokan bahwa
cara lama telah dijalankan bertahun-tahun, maka itu dianggap sesuatu yang pasti
benar.
Contoh:
PDI-Perjuangan
telah memperjuangkan nasib wong cilik sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu,
maka pilihlah moncong putih.
(berpuluh-puluh
tahun berjuang, lalu apa hasilnya?)
14. False
Dichotomy
False Dichotomy
atau False Dilemma terjadi apabila argumen hanya melibatkan dua opsi, yang
seringkali berupa dua titik ekstrim dari beberapa kemungkinan, di mana masih
ada cara lain namun tidak disertakan ke dalam argumen. Biasanya sesat-pikir ini
menyempitkan opsi menjadi dua saja, walaupun masih ada opsi lain. Bahkan kadang-kadang
menyempitkan opsi menjadi satu, sehingga seolah-olah mau tidak mau harus
menyetujuinya.
Contoh:
Sistem
pendidikan yang fraksi kami ajukan harus segera disahkan dan dilaksanakan, jika
tidak, kemerosotan moral pasti akan menghinggapi generasi muda kita.
(opsi
lainnya tidak disertakan sehingga membuat argumennya mau tidak mau harus
disetujui)