Beberapa
waktu lalu, saya kurang mengingat waktu tepatnya, kawan saya –yang juga
merupakan kakak tingkat saya, bertanya mengenai referensi Filsafat Ilmu. Waktu
itu ia sedang memiliki tugas kuliah di studi S2 nya yang meminta untuk mengkaji
Filsafat Ilmu dari berbagai referensi. Kebetulan waktu itu perbendaharaan buku
yang menjelaskan mengenai Filsafat imu masih sedikit dan itupun sedang dipinjam
oleh kawan saya yang lain –yang juga kakak tingkat saya meskipun tak sejurusan.
Waktu
itu saya ingin sekali berdiskusi mengenai hakikat Filsafat Ilmu dengan kawan
saya itu. Tapi sepertinya karena limit
waktu yang dimilikinya untuk mengumpulkan tugas, maka diskusi tak bisa
dilakukan. Tapi sampai saat ini seolah argumen-argumen mengenai diskusi Filsafat
Ilmu meluap-luap difikiran saya. Saya ingin berdiskusi, dan mengeluarkan segala
isi otak saya. Tapi hingga saat ini saya belum menemukan orang yang tepat
berdiskusi mengenai hal ini.
Memang,
berbicara mengenai Filsafat Ilmu merupakan field
of knowledge yang cukup rumit. Biasanya kita hanya menerima Ilmu secara
instan dan tak pernah terfikir untuk menelusuri asal-usul Ilmu sampai pada akar
yang sangat mendasar. Dan berdiskusi mengenai hakikat Ilmu pasti membutuhkan
waktu berjam-jam, tak cukup hanya dengan diskusi sampai subuh hari. Saking
rumit dan sungguh kompleksnya pembahasan. Butuh juga beratus-ratus lembar untuk
menuliskan segala problematika dan diskursusnya.
Sekilas
saya coba bahas mengenai hal ini, tapi saya tak akan mungkin membicarakan hal
itu semua. Saya akan coba menakarnya dan menuliskannya secara mudah saja.
Sekaligus saya ingin mengawinkan dengan tradisi keilmuan Islam –yang bersumber
dari Al-Qur’an tentunya, yang saya rasa jauh lebih kaya dibanding tradisi keilmuan
barat.
Filsafat Ilmu, adalah
bagian dari Epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat Ilmu. Epistemologi
merupakan bagian dari cabang Filsafat yang berarti knowledge yakni sebuah bagian kontemplasi yang mengkaji mengenai
asal-usul, metodologi serta hakikat sebuah pengetahuan. Berbicara mengenai Filsafat
Ilmu berarti sebuah Ilmu yang mempelajari mengenai Ilmu secara komprehensif.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Filsafat Ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
Sering kita membicarakan
persoalan mengenai asal usul Ilmu. Salah satu yang paling populer adalah
mempertanyakan kevalidan Ilmu untuk dijadikan bahan argumentasi. Semisal, teori
yang ada, lalu dijadikan sebuah asumsi dalam sebuah penelitian. Kadang kita
mempertanyakan apakah teori tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan
argumentasi? Sederhananya misalkan kita katakan bahwa manusia adalah makhluk
yang senantiasa berkembang. Hal itu dapat kita pertanyakan: apa yang
mendasarinya? Jika pertanyaan itu terlontar, maka satu jawaban yang muncul :
hal itu hasil dari penelitian “si anu” dengan metodologi “anu” metode “anu” dan
lain-lain. Sehingga kita dapat mempercayai bahwa Ilmu itu memang dapat kita
jadikan argumentasi karena sudah dibuktikan dengan sebuah penelitian.
Nah, dalam sudut
pandang Filsafat Ilmu, metodologi atau metode yang disiplin dalam memperoleh
satu Ilmu adalah penguat yang menjadikan absahnya sebuah Ilmu atau teori.
Pusing kawan? Mari kita sederhanakan. Kita tahu tentunya bahwa sebuah hasil
penelitian yang dapat kita akui sebagai sebuah Ilmu pengetahuan adalah sebuah
hasil dari pengolahan berbagai teori dan asumsi yang dibuktikan kembali dengan
sistematika penelitian. Seperti misalnya, dengan pendekatan kuantitatif, dengan
metode eksperimen, lalu desain penelitian “pretest
and posttest control group” dan dengan analisis data tertentu.
Setelah dilakukan
dengan metode yang telah direncanakan dan dari hasil analisis data maka munculah
sebuah hasil yang menunjukkan hal tertentu. Lalu semua itu dituliskan dalam
karya ilmiah dengan sistematika yang tepat dan standar. Hasil dari tulisan itu
bisa kita ketahui sebagai skripsi, tesis atau disertasi. Itulah yang dinamakan
sebagai pencarian kebenaran Ilmu. Hasilnya bisa dikatakan sebagai sebuah Ilmu.
Lalu dimana letak Filsafat
Ilmu bermukim? Filsafat Ilmu tempatnya ialah yang menciptakan sebuah metode dan
berbagai sistematika didalamnya. Cukup rumit bukan? Tapi coba kita
sederhanakan. Hasil dari Filsafat Ilmu ialah sebuah rambu-rambu yang sadar,
aktif dan sistematis yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh sebuah Ilmu
tertentu. Jadi, adanya sebuah metode penelitian, desain penelitian dan berbagai
sistematikanya ialah hasil dari Filsafat Ilmu. Jadi, jangan heran adanya metode
penelitian atau metode riset tidak disebut sebuah Ilmu. Karena yang merupakan
akar Ilmu ialah Filsafat Ilmu.
Pernahkah kawan
mempertanyakan kenapa “metode penelitian” itu bukan sebagai Ilmu seperti halnya
Ilmu Konseling atau Ilmu Psikologi? Ya, jawabannya adalah karena metode
penelitian adalah rambu-rambu atau cara yang dilahirkan untuk menemukan sebuah
kebenaran ilmiah dan itu merupakan hasil dari Filsafat Ilmu. Sedikit tips saja
buat kawan-kawan yang sedang sibuk membuat skripsi atau proposal penelitian,
jika ingin dengan mudah memahami metode penelitian, pelajari dahulu Filsafat
Ilmu. Sehingga kita faham kenapa kita melakukan metode-metode tertentu dalam
penelitian.
Filsafat Ilmu
sebenarnya lahir dari filsuf seperti Aristoteles, dia yang dinyatakan sebagai
peletak dasar prinsip mencari kebenaran ilmiah yang dituangkannya dalam buku Organon Oa Laterpretation dan Prior Asilyteis. Buku itu mengupas
mengenai metodologi dan logika keilmuan. Tapi, as we know bahwa Aristoteles adalah filsuf yunani yang bukan dari Islam.
Kenapa saya menghubungkan hal ini? Ini atas dasar skeptisisme saya mengenai
Aristoteles. Saya rasa, argumentasi-argumentasinya tak pantas kita akui sebagai
kebenaran hakiki. Kenapa? Karena dia hanya bersumber dari
kontemplasi-kontemplasi yang arbitrer.
Meskipun Ilmunya banyak
diadopsi dan diakui, tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia itu sempurna
kebenarannya? Ini juga merupakan telaahan Filsafat Ilmu. Ciri khas orang berilmu
adalah “tidak mudah percaya”. Jadi saya fikir, saya –sebagai seorang Islam,
mempunyai referensi yang lebih otentik dan tak perlu diragukan lagi
kebenarannya: Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab yang bersumber dari firman
sang Maha pemilik Ilmu: Allah S.W.T. Jadi saya tidak perlu ragu lagi akan
kebenarannya, karena wong Dia yang
punya Ilmu.
Kita coba telaah
hakikat keilmuan dari sudut pandang Al-Qur’an. Al-Qur’an dan agama Islam,
adalah satu-satunya kitab dan agama yang mewajibkan untuk mencari Ilmu secara
kritis dan anti taklid (mengikuti tanpa skeptis akan kebenarannya). Jika kita
bandingkan dengan kitab dan agama lain, tidak ada kiranya yang mewajibkan
umatnya untuk mencari Ilmu. Misalkan Kristiani, pada zaman pra-Renaissans,
gereja malah mengharamkan umatnya untuk mempelajari Ilmu secara kritis dan
radikal. Bahkan pada masa itu, sebuah kajian keilmuan yang tak sepaham dengan
gereja akan kena sanksi yakni dibunuh. Umat hanya boleh mengikuti pendapat
gereja tanpa diperbolehkan untuk mempertanyakannya secara kritis.
Lain halnya dengan Islam,
Islam malah mengharamkan umatnya untuk melakukan taqlid, atau hanya mengikuti
pendapat tanpa berusaha mempertanyakan keabsahannya. Dalam Al-Qur’an setidaknya
mengisyaratkan 4 langkah tuntunan dalam
berfikir:
Pertama, Al-Taharrur min quyud al-Urf wa al-Takhalush ‘an Aghlal al-Taqalid.
Al-Qur’an meminta kita untuk berupaya membebaska pemikiran dari belenggu taklid
serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan.
Langkah tersebut merupakan metode ilmiah praktis (Minhaz ‘Ilmu amali).
Kedua, Al-Ta’ammul wa al-Musyahadah. Yakni langkah meditasi pencarian
bukti atau data ilmiah empirik. Kita kenal langkah ini sebagai studi literatur.
Ketiga,
Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra’. Yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi.
Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data-data empirik yang
ditemukan. Kita kenal langkah ini sebagai “analisis data”.
Keempat,
Al-Hukm Mabni ‘ala al-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah keputusan ilmiah yang didasarkan atas
argumen dan bukti ilmiah. Tahap ini kita biasa tempatkan pada Bab Kesimpulan.
Dari
empat metodologi diatas kita dapat aplikasikan bagaimana pencarian sebuah
kebenaran dalam tradisi keilmuan Islam. Kadang kita ragu memilih pendekatan
metode ilmiah yang bersumber dari Ilmu Islam. Bagi yang berfikir sempit,
mungkin merasa phobia mengenai kata “Islami”
dalam konteks keilmuan. Mungkin mereka ini berfikir bahwa Islam dan Al-Qur’an
hanya mengurusi Ibadah, Surga dan Neraka. Padahal, metodologi keilmuan atau
bahkan yang dikatakan sebagai Filsafat Ilmu sudah tertuang dalam Al-Qur’an.
Bedanya, jika Filsafat yunani berasal dari kontemplasi pemikiran dan menemukan
dengan asas “sakapanggihna”
(seketemunya), tapi kalau Al-Qur’an berasal dari si empunya Ilmu: Allah SWT.
Jadi
kita percaya yang mana? Yang “nonsense”
atau yang bersumber dari Allah SWT yang Maha mengetahui?
Namun
terkadang diskusi-diskusi Filsafat Ilmu tidak sampai pada wilayah ini. Yang
dikutip pendapatnya adalah pendapat manusia saja (tokoh-tokoh) dan bahkan
menjadi sebuah paradoks! Betapa tidak, dalam pencarian kebenaran ilmiah, kita
tidak diperbolehkan untuk menerima begitu saja Ilmu, harus skeptis, dan
dibuktikan dengan metode ilmiah. Haram sekali dalam karya ilmiah, kita dengan
mudah mempercayai sebuah teori. Harus dipertanyakan kebenarannya. Tapi,
seringnya kita malah mengadopsi berbagai asumsi dari tokoh-tokoh dan dijadikan
sebagai landasan kuat dalam penelitian Ilmiah. Bukankah itu kita sedang
melakukan taklid? Menerima begitu saja berbagai teori dan asumsi?
Dalam
tradisi keilmuan Islam, metode-metode pencarian kebenaran Ilmiah dijauhkan dari
segala taklid. Tidak diperbolehkan menerima begitu saja teori-teori keilmuan
meskipun dari tokoh Ilmu. Bahkan dalam tradisi keilmuan Islam, Ilmu Allah
(Al-Qur’an) pun harus ditafsirkan secara skeptis dan kritis. Islam tak pernah
menginstruksikan untuk mengikuti (taklid) terhadap sesuatu tanpa Ilmu. Semua
harus difikirkan dengan keilmuan. Namun tentunya jangan berlebihan atau
melampaui batas (Adam tajawuz al-Had).
Misalkan mempertanyakan perihal yang gaib atau ketuhanan (tauhid). Hal ini
Allah hanya meminta kita untuk percaya, karena sebetapapun kita berusaha tidak
mungkin kita dapat menyibaknya. Seperti
dalam Surat Al-An’aam ayat 59, dan Surat Luqman ayat 34. Perihal yang
sifatnya ketauhidan, itu merupakan ayat yang jelas dogmatis. Tak perlu lagi
meragukan, karena bagaimanapun kita tak bisa membuktikannya dalam akal.
Tapi,
untuk hal yang sifatnya Ilmu-Ilmu duniawi, Allah meminta kita untuk tetap
skeptis dan kritis. Saya jadi berfikir, bahwa ternyata budaya kritis itu justru
bersumber dari tradisi keilmuan Islam. Hal ini bisa dibaca dalam Surat
AL-Hujuraat ayat 6. Lantas, larangan taklid yakni diisyaratkan dalam Surat
Al-Qiyamah ayat 16. Silahkan cek masing-masing dalam Al-Qur’an. Allah SWT
menempatkan manusia bukan sebagai Insan al-Nathiq (manusia berfikir) saja,
seperti dalam keyakinan Ilmu psikologi. Tapi Allah menempatkan kita sebagai
Ulul Albab (manusia yang menggunakan akal fikiran dan ketundukan hatinya) atau
ashabul ukul (pemilik akal).
Artinya,
manusia ditempatkan bukan sebagai orang yang dapat menerima–atau memikirkan
begitu saja Ilmu yang ada. Melainkan, Allah dalam Al-Qur’an menempatkan kita
sebagai orang yang berakal yang harus mengkritisi dan mencari kebenaran hakiki
sebuah Ilmu. Bukan sebagai makhluk taqlid, tapi makhluk yang dapat menggerakan
akalnya. Dan saya katakan inilah esensi yang hakiki mengenai Filsafat Ilmu.
Karena kita berikhtiar untuk terus menelusuri segala hakikat Ilmu. Sedangkan Ilmu
yang ada saat ini hanya kita terima saja tanpa kita diperbolehkan berasumsi
secara kritis dan mandiri. Dan saya katakan tradisi keilmuan ini bukan dari Filsafat
Ilmu yang hakiki. Tak pantas disebut Ilmuan, tapi hanya orang yang taklid saja.
Jadi,
benarkah tokoh-tokoh, profesor, doktor, magister dan yang lainnya itu adalah Ilmuan?
Atau hanya tukang gado-gado yang mencampur segala Ilmu saja? Saya katakan bahwa
yang disebut Ilmuan adalah orang yang tak mudah percaya mengenai Ilmu yang ada,
Ilmuan adalah orang yang dapat secara hakiki mengamalkan prinsip-prinsip
al-Qur’an. Semoga kita jadi Ilmuan, bukan seorang yang Taqlid!
Disarikan dari buku yang saya baca
pagi ini : Mantiq, Kaidah Berfikir Islami karya Syukriadi Sambas dan Panorama
Filsafat Modern karya K.Bertens. Ditulis sambil menghisap rokok, segelas kopi
yang telah dingin, perut yang lapar dan sejumput kemauan untuk menulis. Rabu
memang hari yang jarang saya gunakan untuk liburan, meskipun libur.