“Saya ingin
melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang
mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas
prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai
kebenaran, dan salah sebagai kesalahan”. (Catatan Soe Hok Gie)
Kutipan
sekaligus cita- cita soe hok gie diatas seolah menjadi suatu sindiran terhadap
keadaan mahasiswa sekarang ini. Meskipun catatan tersebut telah lama ia
goreskan yang terlahir dari keprihatinannya terhadap keaadaan mahasiswa pada
waktu itu, akan tetapi jika melihat keadaan mahasiswa hari ini, masih relevan
dan bahkan mungkin lebih parah dibandingkan keadaan pada waktu itu.
Mahasiswa yang
sering disebut sebagai agent of change
kini sudah tak pantas lagi disandang. Karena jika dilihat dari realitas keadaan
mahasiswa pada hari ini, sangatlah memprihatinkan dan sudah lagi tidak
berpegang pada misi suci yaitu melakukan perubahan dinamis dan progresif
berdasarkan nilai nilai kebenaran. Mahasiswa kini semakin apatis terhadap
permasalahan permasalahan sosial disekitarnya yang bahkan sebenarnya
berpengaruh langsung kepada mereka sendiri, namun mereka kini sudah tak sadar
lagi bahwa eksistensinya sebagai mahasiswa yang mempunyai cita-cita perubahan,
telah diperkosa dan dikebiri dengan alasan alasan akademis yang seolah menjadi
senjata bagi para penguasa kampus dengan maksud untuk membungkam daya kritis,
dan sikap politis mahasiswa.
Jika bercermin
kepada pergerakan pergerakan kemahasiswaan masa lampau, kita teringat bahwa
yang menjadi garda terdepan untuk merubah nasib bangsa ini, diretas oleh daya
kritis mahasiswa yang prihatin dan peduli terhadap kondisi sosial politik yang
bergulir dan mempunyai cita – cita suci untuk menegakan kebenaran dan keadilan,
seperti kita tahu sikap sikap politik mahasiswa angkatan 45, angkatan 66, dan
angkatan 98 yang memperjuangkan tegaknya keadilan dan perubahan yang lebih baik,
menyumbangkan torehan sejarah pergerakan kemahasiswaan yang patut menyandang
gelar sebagai agen perubahan. Namun, ruh usaha gemilang para pendahulu untuk
memperjuangkan eksistensi mahasiswa sebagai agen perubahan, seolah telah hilang
dan digantikan oleh generasi penerus yang semakin pragmatis dan bahkan apatis
terhadap nilai nilai perjuangan yang angkatan terdahulu perjuangkan.
Keadaan
mahasiswa pada saat ini sungguh sangat jauh berbeda dengan jaman dahulu.
Paradigma mereka kini sudah sangat pragmatis dan sangat berorientasi kelulusan
saja, padahal tugas perubahan yang dinantikan demi mewujudkan kondisi bangsa
kearah yang lebih baik, sudah sepatutnya disadari oleh mahasiswa untuk segera
dijadikan prioritas sebagai bakti kepada bangsa juga sebagai tanggung jawab
penyandang gelar agent of change.
Cita cita yang
dinantikan tersebut mungkin sekarang hanya tinggal angan yang tak tahu kapan
akan terwujud, kini mahasiswa semakin terbuai oleh arus moderenisasi dan
perkembangan teknologi, mereka lebih disibukkan bermain facebook daripada
melakukan diskusi – diskusi untuk menentukan sikap politik dan berbakti kepada
masyarakat, mereka lebih sering meng-update
status jejaring sosial dibanding membaca buku. Jika dilihat, seolah mereka
tidak bergairah lagi dalam menentukan sikap politik dengan berdasarkan
kebenaran, dan juga tak bergairah lagi melakukan tindakan – tindakan kongkrit
demi memperjuangkan perubahan bangsa ini kearah yang lebih baik.
Keadaan
mahasiswa yang apolitis dan juga apatis terhadap permasalahan sosial
disekitarnya, merupakan suatu kondisi yang sangat memprihatinkan. Bagaimana
jadinya bangsa kita kedepan jika garda terdepan dalam melakukan perubahan sudah
lagi apatis dan apolitis? Hal ini sungguh ironis jika dibandingkan dengan perjuangan
– perjuangan angkatan terdahulu yang diperjuangkan untuk berbakti kepada
bangsa.
Daya nalar
mahasiswa kini semakin dangkal, mereka lebih berorientasi hasil dibanding
memperjuangkan kondisi bangsa yang semakin buruk. Dalam pikiran mereka, duduk
di bangku kuliah dan menjadi mahasiswa hanya sebagai suatu sarana untuk
memperoleh gelar yang akan diandalkannya untuk bekerja. Pikiran mereka, tujuan
mereka yang terpenting ketika mahasiswa adalah cepat menyelesaikan kuliah dan
cepat bisa bekerja. Mungkin paradigma mereka terhadap perguruan tinggi adalah
sebagai “Pabrik Sarjana” yang tujuannya mendapatkan gelar yang akan mereka
pakai di akhir namanya agar mudah untuk mereka segera mendapatkan pekerjaan.
Lantas, masih pantaskah mahasiswa menyandang gelar agent of change jika pemikiran mereka sedangkal itu?